Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan Akan Perparah Krisis Iklim

Membumi.com

Jakarta, (07/01/25) – Rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyulap 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air–seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni–merupakan alarm bahaya bagi komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia.

Alih fungsi hutan bakal kian merusak lingkungan hidup, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat–khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini hidup bergantung dari alam sekaligus menjaganya. 

“Gagasan kedaulatan pangan dan energi seperti yang diinginkan Prabowo tak akan tercapai dan menjadi omon-omon saja jika dilakukan dengan alih fungsi lahan yang justru akan memperparah krisis iklim, sebab krisis iklim akan memicu krisis multidimensi. “

” Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut. Ujungnya adalah kegagalan pemerintah memenuhi komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keanekaragaman hayati,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Indonesia berjanji menghentikan kepunahan yang disebabkan manusia pada 2030, mengurangi risiko kepunahan, dan mempertahankan keanekaragaman genetik. 

Selain itu, dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Iklim Paris, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 31,89 persen pada 2030 dengan kemampuan sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional. Komitmen NDC Indonesia juga bertumpu dari sektor forest and land use (FoLU), salah satunya dengan pengurangan deforestasi.

Namun, laporan tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang rilis pada akhir 2023 menyebut, emisi global karbon dioksida global pada 2023 terus mengalami kenaikan bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia juga menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dari sektor lahan. Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) baru-baru ini juga memperingatkan kawasan Asia termasuk Indonesia akan ancaman bahaya akibat krisis iklim yang makin parah, termasuk kondisi ekstrem seperti kekeringan, gelombang panas, banjir, dan badai.

“Masalah lainnya, Menteri Kehutanan juga tak transparan membeberkan di mana saja 20 juta hektare lahan yang dia sebut sudah diidentifikasi untuk pangan, energi, dan air tersebut. Berdasarkan analisis kami, kebutuhan lahan seluas itu jelas berpotensi memicu deforestasi di hutan alam Indonesia. Pemerintah seharusnya menyetop deforestasi secara total karena kita tak punya pilihan lagi kalau memang ingin selamat dari bencana iklim,” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Ironisnya, memang sulit bagi kita untuk berharap pada pemerintah. Pemerintahan yang lalu di bawah Presiden Joko Widodo bahkan mengalokasikan kuota deforestasi 2021-2030 sebesar 10,43 juta hektare–seperti tertuang dalam dokumen Rencana Operasional Folu Net Sink 2030. Deforestasi besar-besaran ini, setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera, bisa melepas 10,1 juta gigaton CO2.

Watak pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pun sama. Pernyataan Prabowo baru-baru ini bahwa Indonesia perlu memperluas lahan sawit dan tak perlu khawatir deforestasi sangatlah membahayakan nasib hutan Indonesia. Pandangan itu menunjukkan Prabowo gagal paham akan pengetahuan dasar tentang hutan dan tentang aturan bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR). Narasi kedaulatan pangan dan energi yang digaungkan Prabowo hanyalah retorika alias omon-omon, karena rencana pemerintahannya justru akan membawa Indonesia kian jauh dari cita-cita tersebut.

“Bagaimana publik tak curiga bahwa program pangan ternyata hanya menjadi dalih untuk membuka lebih banyak kebun sawit, seperti yang sekarang terjadi di lahan food estate Gunung Mas yang dulu digarap Kementerian Pertahanan? Bukannya membenahi tata kelola sawit, Prabowo tampaknya malah melanggengkan karut-marut yang ada. Pandangan Prabowo tentang sawit dan deforestasi juga menjadi kabar buruk bagi komunitas adat, seperti masyarakat Awyu yang sekarang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi kebun sawit,” tutup Sekar.

Source : greenpeace indonesia

.

.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version