Connect with us

Headlines

Revisi UU Minerba Dinilai Jauh dari Komitmen Perlindungan Lingkungan

Published

on

Dok. Greenpeace Indonesia / Istimewa

Membumi.com

Jakarta (20/02/25) – Gerakan #BersihkanIndonesia mengecam pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh DPR RI. Alih-alih membawa perbaikan dalam tata kelola sektor pertambangan, revisi ini justru memperkuat dominasi industri ekstraktif, mengabaikan hak masyarakat terdampak, serta semakin menjauhkan Indonesia dari agenda transisi energi yang berkeadilan.

Pemerintah berdalih bahwa perubahan UU Minerba akan meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi dan industrialisasi. Namun kenyataannya, pasal-pasal dalam revisi ini justru memperpanjang ketergantungan pada industri batubara dan memfasilitasi ekspansi pertambangan tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosialnya.

Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah pengutamaan kebutuhan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), yang berpotensi menghambat upaya percepatan transisi ke energi bersih dan malah memperpanjang usia penggunaan energi kotor.

Selain itu, keputusan untuk tidak mengubah tata ruang dan kawasan bagi pemegang izin tambang (IUP, IUPK, IPR) menunjukkan bahwa UU ini lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Padahal, banyak izin tambang yang berada di kawasan hutan atau tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat dan petani, yang seharusnya dipulihkan demi keadilan ekologis dan sosial.

Greenpeace menyoroti lemahnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan dalam revisi UU ini. Persyaratan audit lingkungan dalam perpanjangan kontrak karya dan PKP2B tidak disertai dengan sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.

“ Pengalaman menunjukkan bahwa banyak perusahaan tambang mengabaikan pemulihan lahan bekas tambang, meninggalkan lubang-lubang tambang yang membahayakan masyarakat dan ekosistem sekitar, ” ucap Bondan Andriyanu, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dan Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Proses kilat dan ugal-ugalan UU Minerba sekali lagi cerminan rakusnya kepentingan jangka pendek segelintir elit, mengabaikan urgensi mengatasi bencana krisis iklim. “Jika dalihnya membuka kesempatan kepada masyarakat melalui BUMD, UMKM, Koperasi, Badan usaha Ormas Keagamaan hingga Perguruan Tinggi maka seharusnya Energi Terbarukan berbasis Masyarakat yang lebih didorong dengan perbaikan regulasi yang memudahkan”, ungkap Sisilia Nurmala, Team Leader 350 Indonesia.

“ Energi Terbarukan yang potensinya sangat besar (Energi Surya 3.294,4 GW yang baru dimanfaatkan 0,01%, Energi Angin 154,9 GW dan baru dimanfaatkan 0,1%, Energi Air 94,5 GW dan baru dimanfaatkan 7%) dan tersebar di seluruh Indonesia akan membuka kontribusi masyarakat lebih besar untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi kita dalam jangka panjang, ” jelasnya.

RUU EBET yang diharapkan dapat menjadi landasan bagi pengembangan energi terbarukan terus mengalami penundaan karena tarik-menarik kepentingan, sementara revisi UU Minerba yang jelas-jelas mempertahankan dominasi energi kotor dapat disahkan dengan cepat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR lebih berpihak pada industri batubara dibandingkan komitmen terhadap pengurangan emisi dan keadilan energi.

Ketentuan baru dalam Pasal 169A yang memungkinkan perpanjangan izin hingga 10 tahun bagi perusahaan batubara tanpa mekanisme evaluasi ketat semakin mengukuhkan dominasi oligarki energi kotor. Selain itu, Pasal 51B yang membuka peluang pemberian WIUP prioritas untuk hilirisasi hanya akan memperdalam ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap batubara, alih-alih mendorong diversifikasi energi terbarukan.

ICW menilai Pasal 51 masih kental dengan nuansa politik patronase, walaupun di ketentuan yang sudah disahkan kampus tidak lagi diberi kewenangan sebagai pengelola izin tambang, itu tidak serta-merta menyempitkan ruang potensi praktik korupsi. Kampus akan kehilangan daya kritisnya karena akan menghamba pada manfaat yang nanti akan diberikan oleh korporasi tambang, korporasi juga dapat memegang kendali kampus dengan memasukkan agenda-agenda yang menguntungkan elite. 

Masih di pasal 51, yang mengatur pemberian prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Pasal ini membuka celah korupsi yang besar di mana berpotensi menjadi alat pejabat untuk melakukan favoritisme, suap, dan gratifikasi. Tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel, WIUP hanya akan jatuh ke tangan pihak-pihak berkepentingan yang dekat dengan kekuasaan.

“ Skema ini juga rentan disalahgunakan oleh pengusaha besar yang menyamar sebagai UMKM atau koperasi demi mengamankan izin tambang tanpa proses lelang yang adil. Alih-alih memberdayakan ekonomi rakyat, kebijakan ini justru memperkuat oligarki dan memperparah eksploitasi sumber daya alam. Parahnya lagi, tanpa evaluasi ketat terhadap kapasitas teknis dan finansial, pemberian WIUP secara serampangan ke berbagai pihak dapat menyebabkan eksploitasi tambang berkepanjangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” ujar Egi Primayogha, Peneliti ICW.

“ Revisi UU Minerba yang baru disahkan, akan semakin memberikan kemudahan bagi perizinan dan semakin memperpanjang izin operasi tambang batubara. Hal ini tentu akan semakin memperparah dampak lingkungan bagi rakyat yang bermukim di sekitar PLTU, sektor hilir industri fosil ini. Sebagai catatan, bahwa ketergantungan pada energi fosil tidak hanya meningkatkan pencemaran udara dan risiko kesehatan bagi rakyat, tetapi juga menghambat upaya transisi energi bersih dan berkeadilan. Revisi ini merupakan potret sebuah kebijakan yang menunjukkan bahwa kepentingan industri batubara lebih diutamakan dibandingkan perlindungan lingkungan dan kesehatan rakyat, ” kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur. 

Ali Akbar, konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Terbarukan (STUEB) menekankan bahwa revisi UU Minerba ini akan mempertajam konflik horizontal antara masyarakat korban pertambangan dengan mereka institusi masyarakat seperti ormas, UMKM dan koperasi.

“ Tidak dapat dibayangkan bagaimana tata kelola tambang dengan mengacu UU ini, ketika hanya korporasi saja yang diberi kuasa atas pertambangan, kondisinya sudah karut marut, apa lagi ketika organisasi berbasis massa besar seperti ormas juga menjadi pengelolaan tambang. Rakyat korban akan sangat sulit untuk mendapatkan keadilan atas lingkungan hidup yang baik dan bersih. Potensi konflik horizontal dari rakyat korban dengan massa ormas akan semakin tinggi. Sementara perguruan tinggi yang akan menjadi pemain tambang juga akan menggeser peran mereka sebagai dunia pendidikan, ” ujarnya.

Dalam revisi ini, kita juga melihat adanya peningkatan risiko kekerasan dan pelanggaran HAM serta konflik horizontal. Industri pertambangan selama ini telah mengakibatkan pelanggaran HAM, mulai dari perampasan lahan masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga konflik sosial. Ditambah lagi dengan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, mahasiswa dan akademisi yang menentang kebijakan ini berisiko menjadi sasaran represi.

Kekerasan terhadap masyarakat terdampak tambang juga akan semakin meningkat seiring dengan perluasan eksploitasi sumber daya alam. Revisi UU Minerba ini tetap mempertahankan ormas keagamaan sebagai subjak yang bisa mendapatkan IUPK. Situasi di lapangan, konflik yang muncul dalam gerakan penolak tambang sering terjadi antara negara-perusahaan vs warga. Pemberian IUPK akan memperluas subjek yang dapat berkonflik dengan warga, yaitu anggota-anggota ormas keagamaan.

Selain itu, revisi ini juga dapat meningkatkan angka kriminalisasi. “Revisi UU Minerba seharusnya mengubah pasal-pasal bermasalah dalam UU sebelumnya. UU Minerba yang baru saja disahkan masih mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya serta sistem perizinan yang ditarik ke pusat, yang justru menjauhkan akses layanan publik dari masyarakat terdampak. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam yang merugikan mereka”, ungkap Muhamad Isnur, Ketua umum YLBHI. 

Di sisi lain, revisi yang baru ini juga memudahkan perampasan tanah. Di sini DPR memasukkan pasal baru mengenai pertimbangan tata ruang. Pasal 17A menyebutkan: “Dalam hal belum terdapat penetapan tata ruang dan/atau kawasan, penetapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menjadi dasar bagi penetapan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan. ”

Pasal ini akan mengacak-acak prinsip penataan ruang harus sesuai dengan kepentingan umum. Dengan adanya pasal ini, penataan ruang suatu wilayah/daerah dapat disesuaikan dengan titik-titik tambang, tidak peduli apakah titik itu berada di area pemukiman atau lahan warga. “ Ke depan, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah dilakukan atas dasar “area ini tidak cocok untuk pemukiman atau kegiatan bertani karena terdapat kandungan batubara di bawahnya”, tambah Isnur. 

Gerakan #BersihkanIndonesia menuntut Presiden untuk segera membatalkan pengesahan UU Minerba yang telah disetujui DPR RI. Kami juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU EBET dengan memasukkan prinsip-prinsip keadilan energi, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mengakhiri ketergantungan pada industri batubara dan berinvestasi pada energi terbarukan serta ekonomi yang lebih berkelanjutan.

“ Kami juga menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas terdampak untuk terus mengawal dan menolak regulasi yang hanya menguntungkan elite bisnis dan mengorbankan masa depan lingkungan serta generasi mendatang,” tutup Bondan.

Source : Greenpeace Indonesia
.

.

.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *