Connect with us

Headlines

Amnesty : Usut Tuntas Brutalitas Aparat Dalam Aksi Demo di Sorong dan Manokwari

Published

on

Dok. Ilustrasi brutalitas aparat keamanan dalam merespon aksi demonstrasi di Sorong dan Manokwari / Amnesty International Indonesia

Membumi.com

Sorong – Merespons brutalitas aparat keamanan dalam merespon aksi demonstrasi di Sorong dan Manokwari yang mengakibatkan satu orang warga setempat tertembak dan satu orang meninggal dunia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan :

“ Kami mengutuk secara keras brutalitas aparat keamanan dalam aksi demonstrasi di Sorong dan Manokwari. Tidak ada seorangpun yang boleh kehilangan nyawa ataupun terluka hanya karena mengikuti demonstrasi ataupun ikut menyaksikan jalannya aksi penyampaian pendapat saat berada di sekitar aksi demonstrasi. Negara seharusnya mendengarkan aspirasi keluarga dan masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi menolak pemindahan empat tersangka kasus makar ke Makassar bukan dengan merepresi mereka dengan cara-cara otoriter yang melanggar HAM. ” 

Kematian seorang warga di Manokwari dan juga dugaan penembakan seorang warga lainnya di Sorong saat aksi demo berlangsung harus diinvestigasi dan pelakunya dibawa ke meja hijau. Investigasi yang dilakukan harus bersifat independen dan melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian. Komnas HAM juga harus segera melakukan penyelidikan projustitia untuk menindaklanjuti kasus kematian warga sipil tersebut. Negara harus bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kematian ini dapat dimintai pertanggungjawaban.

Brutalitas aparat keamanan di Tanah Papua yang tidak menghargai HAM seperti ini berdampak buruk bagi upaya penyelesaian konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Oleh karena itu kami meminta aparat kepolisian untuk menggunakan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog dengan pengunjuk rasa di Papua.

Negara harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan keamanan yang diambil polisi dalam menghadapi aksi damai di Papua. Tidak adanya evaluasi semacam ini hanya akan memperburuk situasi HAM di Papua dan juga melanggengkan budaya impunitas yang telah mengakar di tubuh institusi keamanan.

Yang lebih penting juga adalah negara juga harus segera membebaskan empat aktivis politik Papua dari segala tuntutan hukum. Kriminalisasi atas mereka menunjukkan negara terus merepresi hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul Orang Asli Papua. Mereka ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai dengan mendatangi kantor-kantor pemerintah Papua Barat Daya tanpa penggunaan kekerasan. Setiap warga negara, termasuk Orang Asli Papua, tidak boleh dikriminalisasi hanya karena mengungkapkan pendapat atau mengajukan tuntutan politik yang sah, termasuk menyuarakan kekecewaan kepada negara terkait konflik di wilayah mereka.”

Latar belakang

Aksi demonstrasi yang berlangsung di Kota Sorong, provinsi Papua Barat Daya, akhir Agustus lalu direspons aparat keamanan dengan penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan kekerasan. Sumber kredibel Amnesty dan laporan media mengungkapkan bahwa setidaknya 23 orang ditangkap dan seorang warga sipil luka parah, diduga akibat tembakan gas air mata aparat keamanan pada aksi 27 Agustus lalu. Selain itu muncul laporan media adanya korban jiwa di Kota Manokwari pada 28 Agustus lalu.

Aksi massa itu memprotes pemindahan empat orang pengurus organisasi Negara Federal Republik Papua Barat Daya (NRFPB) – berinisial AGG, NM, MS, dan PR – dari Kota Sorong ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka dipindahkan untuk diadili terkait kasus makar hanya karena April lalu mengantar surat undangan ke Kantor Gubernur Papua Barat Daya dan kantor-kantor polisi dan pemerintah di Kota Sorong untuk perundingan damai dalam rangka penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Sumber Amnesty mengungkapkan bahwa massa dan aktivis di Sorong telah melancarkan aksi protes sejak 28 Juni, awalnya ke Polresta Sorong untuk membebaskan keempat tahanan itu, apalagi mengingat kondisi kesehatan mereka yang tidak memungkinkan. Massa juga melancarkan aksi di depan Pengadilan Negeri Sorong (13 Agustus) dan kantor gubernur Papua Barat Daya (20 Agustus) untuk menentang rencana memindahkan lokasi pengadilan para tahanan ke Makassar. Namun pihak berwenang tetap akan memindahkan para tahanan pada 27 Agustus.

Itu sebabnya pihak keluarga dan masyarakat melanjutkan aksi damai pada 27 Agustus dengan mendatangi kantor Polresta Sorong, kantor wali kota dan kantor gubernur, sambil menuntut para tahanan tidak jadi dipindahkan. Namun aksi massa ini direspons dengan pengerahan pasukan gabungan Polri dan TNI dan para tahanan tetap dibawa ke Makassar dengan pengawalan ketat.

Situasi di Sorong pun berlangsung ricuh. Aparat keamanan menanggapi kemarahan massa dengan menembak gas air mata dan peluru tajam. Setidaknya seorang warga luka parah terkena tembakan dan 23 orang ditangkap polisi. Korban yang luka tembak belakangan diketahui adalah seorang pengemudi ojek yang bukan bagian massa aksi. Total 23 orang yang ditangkap telah dibebaskan per 1 September lalu.

Sedangkan empat tahanan kasus dugaan makar menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Makassar pada 28 Agustus 2025.

Aksi massa memprotes pemindahan empat tahanan tersebut juga berlanjut di luar kota Sorong, seperti di Jayapura dan Manokwari. Menurut laporan media, Kabid Humas Polda Papua Barat, Ignatius Benny Ady Prabowo, menyebut seorang warga di Manokwari, Septinus Sesa, meninggal pada Kamis 28 Agustus. Kapolda Papua Barat, Johnny Eddizon Isir, membantah korban tewas akibat tembakan gas air mata, yang diklaim tidak mematikan. Namun tetap akan dilakukan penyelidikan dengan melibatkan Komnas HAM, Ombudsman, hingga Lembaga Bantuan Hukum setempat.

Source : Amnesty International Indonesia

.

.

.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *