Headlines
IDEI 2025 : Memerangi Impunitas adalah Tanggung Jawab Bersama

Membumi.com
Setiap 2 November, Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tergabung di dalamnya–dan organisasi afiliasinya di seluruh dunia memperingati Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis (International Day to End Impunity for Crimes against Journalists, disingkat IDEI).
Sejak peringatan IDEI ini diresmikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 12 tahun silam, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis terus berulang bahkan meningkat. Mulai dari kekerasan fisik, psikososial, hingga belakangan bertransformasi menjadi kekerasan di ranah digital. Jurnalis juga tak luput dari serangan berupa perusakan atau perampasan alat kerja, penghapusan hasil liputan, penuntutan hukum, kekerasan seksual, penahanan, hingga pembunuhan.
Jurnalis yang meliput demonstrasi dipukuli, disemprot gas air mata, ditembak dengan peluru karet–meski mereka jelas teridentifikasi sebagai pers, hingga diserang menggunakan air keras pada pers mahasiswa. Kantor berita dirusak atau digeruduk sekelompok orang tak dikenal–atau jika di Indonesia oleh kelompok tertentu.
Jurnalis perempuan terutama, menjadi target ujaran kebencian secara daring, ancaman perkosaan dan pembunuhan dan, doxxing atau pengungkapan informasi identitas seseorang secara daring. Dalam kasus ekstrem–jurnalis yang meliput kejahatan terorganisir atau korupsi hilang atau ditemukan tewas dalam keadaan yang mencurigakan. Banyak pula jurnalis yang menjadi sasaran langsung ketika mereka menjalankan kerja-kerja peliputan perang.
Berdasarkan data IFJ, sejak awal 2025, sedikitnya ada 99 jurnalis dan pekerja media tewas saat menjalankan tugas. Kebanyakan kasus berada di zona perang: 50 kasus di Gaza, 8 kasus di Ukraina, dan 6 kasus di Sudan.
Menurut UNESCO, hanya satu dari sepuluh kasus pembunuhan yang diselidiki. IFJ menggambarkan sebagai situasi yang mengerikan. Adapun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendokumentasikan 77 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak Januari hingga Agustus 2025. Kasus terbanyak terjadi ketika peliputan aksi demonstrasi pada 25-31 Agustus yang meluas di berbagai daerah.
Dari sekian banyak kasus tersebut, tren impunitas pelaku kejahatan terhadap jurnalis pun masih berlangsung. Catatan akhir tahun AJI 2023 misalnya, menangkap gambaran dari total 89 kasus, sebanyak 20 di antaranya telah dilaporkan polisi. Tapi sebagian besar yakni 13 kasus belum ada tindak lanjut, tidak ada keterangan dan, belum ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.
Di tengah memanasnya gejolak sosial-politik beberapa tahun belakangan, tantangan jurnalis bukan saja perkara kekerasan melainkan juga praktik pelarangan juga pembatasan yang dilakukan baik individu maupun lembaga pemerintah. Tren pelaku kekerasan masih didominasi aparat penegak hukum. Sedikitnya ada 74 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak 2023 hingga 2025 yang pelakunya anggota Polisi dan TNI.
Angka-angka tersebut sebatas laporan kasus yang diterima AJI. Sedangkan AJI memperkirakan jumlah kekerasan yang terjadi di lapangan berpotensi lebih tinggi. Di Sumatera Utara, sudah setahun berlalu, anggota TNI yakni Koptu HB yang diduga menjadi dalang pembunuhan jurnalis Rico Sampurna Pasaribu belum juga diseret ke meja hijau. Di Papua, polisi dan TNI juga belum rampung mengungkap kasus teror bom molotov yang menarget kantor redaksi Jubi.
Pembiaran berbagai kasus kekerasan jurnalis dan praktik pengabaian–cenderung melindungi–para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar serangan individu. Sesungguhnya serangan tersebut merupakan ancaman bagi pelaksanaan hak publik untuk tahu. Sebab publik berhak atas informasi yang akurat, independen, dan bisa dipercaya.
Jika pelaku teror dan kejahatan terhadap jurnalis tidak dihukum, ini sama saja mengirimkan sinyal bahwa kekerasan terhadap jurnalis dapat ditoleransi, pembungkaman pers dianggap hal lumrah, bahkan dilakukan oleh aktor negara.
Praktik impunitas hanya akan memperburuk iklim kebebasan pers. Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya soal angka yang terus meningkat. Melainkan hilangnya akses dan perampasan terhadap informasi masyarakat.
Itu mengapa, tugas memerangi impunitas adalah tanggung jawab universal. Perjuangan melawan impunitas bukan hanya milik jurnalis, melainkan kita semua. Sebab ketika jurnalis mati dibunuh, maka berita yang dibawa pun ikut mati; dan ketika berita itu mati maka kemampuan kita untuk menuntut pertanggungjawaban penguasa pun ikut terkubur.
Source : Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
.
.

.

.

.





