OPINI
Federal Solusi Lahirnya Pemimpin yang Mengemban Amanat Rakyat

.
Viralnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubri AW yang isu nya kemudian menyeret beberapa Gubri yang juga berhasil tertangkap basah oleh Komisi Anti Rasuah sebelumnya. Maka melihat apa yang beredar didunia Maya, saya nilai isu nya hanya membahas diseputar kulit luarnya saja, soal penyebab dan akar persoalan, justru seolah olah tabu untuk dibicarakan, padahal hal itu sangat penting untuk didiskusikan agar kemudian tak terulang hal serupa.
Dalam sebuah diskusi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat dan beberapa orang mantan Gubernur Riau di Politeknik Caltex Riau (PCR) timbullah sebuah harapan agar kedepan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Riau dapat berkontribusi dalam menentukan pemimpin Riau kedepan.
Belajar dari isu yang berkembang saat kejadian pejabatnya di OTT oleh Komisi Anti Rasuah, justru label melekat di kening para pelaku tersebut adalah pejabat daerah. Soal besarnya ongkos politik termasuk modal kampanye yang menjadi akar persoalan korupsi justru tidak dianggap seksi untuk dibicarakan. Yang jelas jika dianalogikan dalam setiap kasus OTT tersebut, lumpur hitam dan stempel buruk lagi – lagi mencoreng wajah Riau yang tak bersalah itu.
Itulah yang terjadi, maka dalam forum tersebut saya pertanyakan, masih pantaskah kita menyebut daerah ini daerah kita ? Sebab kalau ini daerah kita, maka dalam memilih Kepala Daerah mustinya kita ikut menentukan, bukan cuma Partai Politik yang menjadi perpanjangan tangan DPP itu. Disisi lain ego Partai Politik dalam menentukan Kepala Daerah tersirat pesan bahwa, ” kami yang berjuang kok tuan – tuan yang menentukan ?! ” atau dalam bahasa lainnya, soal memilih Kepala Daerah itu adalah ranahnya Partai Politik.
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jelas disebutkan bahwa kedudukan, peran, dan fungsi Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat. Lantas bagaimana mungkin Kepala Daerah yang dipilih langsung itu dapat memperjuangkan aspirasi rakyatnya jika apa yang dilakukan tidak sesuai dengan telunjuk pusat ?
Sayapun teringat dengan drama kejadian sejumlah pimpinan FKPMR yang dulu sempat mengeluarkan fatwa penolakan terhadap salah satu kontestan Cagubri yang berujung ke persoalan hukum di Polda Riau dengan delik yang konon katanya bermuatan Sara itu.
Kalau faktanya Kepala Daerah itu jadi wakil dari pemerintah pusat, maka otomatis tentunya dia juga bukan wakil dari partai, dan juga bukan wakil dari rakyat yang memilihnya secara langsung itu, lantas apa gunanya digelontorkan biaya Pilkada yang besar itu kalau ujung – ujungnya kemudian jadi Wakil Pemerintah Pusat ?! Bukannya lebih baik pusat tunjuk langsung, tak perlu keluar biaya besar seperti zaman orde baru.
Rasanya ini lah salah satu “ Kebodohan “ yang harus segera diberantas. Saya pun kemudian menawarkan, sepanjang sistemnya tidak dirubah, selama itu juga kita akan menerima apa yang telah disiapkan oleh Partai Politik dengan biaya yang sangat fantastis mencapai 100 milyar itu, dan ketika sudah dilantik alhasil Kepala Daerah terpilih kemudian diborgol dalam kolonialisme gaya baru yang dibungkus dalam regulasi yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat.
Diakhir kata sayapun menyampaikan kepada forum, sudah saatnya kita bersama – sama mengusulkan untuk dapat merubah sistem sentralistik yang hampir 80 tahun dijalankan dan tidak juga terbukti mampu mewujudkan cita – cita konstitusi Indonesia itu. Maka atas nama keadilan mari kita bagi kekuasaan yang saat ini absolut ada di pusat itu, kepada daerah dengan cara sistem Federal.
Penulis : Syaed Lukman – Pembina Forum Aspirasi Negara Federal Indonesia
.
.

.

.

.





