Connect with us

Headlines

Dalam Sesi ke III Terungkap, ” Serakahnomic ” Pusat Sangat Menyengsarakan Rakyat

Published

on

Dok. Ilustrasi Diskusi Kebangsaan ke 2, Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal ? " / Istimewa

Membumi.com

Pekanbaru – Dalam sesi ke III diskusi tanya jawab soal “ Lebih Baik Mana, Sentralistis atau Federal “ Syaed Lukman dalam pemaparannya menggarisbawahi pembahasan mengenai lingkungan sebagaimana telah disampaikan Okto Yugo dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Koordinator Senarai Made Ali dalam forum Diskusi Kebangsaan ke 2 yang di laksanakan di Anjungan Kampar Bandar Serai Pekanbaru (29/11/25).

“ Sebenarnya tergambar oleh kita gagalnya negara menyejahterakan rakyatnya. Kata kuncinya disitu. Ketika negara gagal menyejahterakan rakyatnya diakibatkan peluang – peluang itu yang ditutup. Sekarang kita dapat istilah baru, yaitu Serakahnomic sebagaimana disampaikan oleh pak Presiden, “ ungkap Syaed Lukman.

“ Ketika istilah itu keluar, ini dimana mukanya ? padahal Serakahnomic itu adanya di dia dibatang hidung dia. Semut diseberangi lautan dia nampak, tapi Gajah dipelupuk mata dia tak nampak. “ sebut Syaed Lukman di depan sejumlah pimpinan organisasi, Aktivis lingkungan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Riau (29/11/25)

Baca : Jikalahari Ungkap Sederet Fakta Kondisi Ruang Hidup Masyarakat Adat dan Tempatan

Lebih lanjut Pembina Forum Aspirasi Negera Federal Indonesia ini menjelaskan sebagaimana yang telah disampaikan dengan mempertanyakan. Kenapa hutan itu tidak nikmati oleh rakyat yang tetap berada dalam garis kemiskinan, dengan memberikan contoh melihat kondisi kehidupan rakyat di Bagansiapi api dan Selatpanjang, dimana warganya masih berpendapatan 50 ribu sehari sebagai tukang becak.

“ Selalu saya mengatakan, bagaimana dia membayar BPJS yang 35 ribu sebulan ? yang mati tetap mati yang mau berobat tidak dapat, karena untuk kehidupan dia sendiri pun tidak cukup, Artinya negara tidak hadir disitu, “ tanya nya.

Dalam diskusi itu Syaed Lukman juga mengungkapkan bahwa, dalam beberapa tulisan dan wawancara pihaknya pernah menyampaikan kepada Presiden, “ Siapapun yang bapak tunjuk menjadi Menteri di Republik ini buat kami di daerah ini tidak akan ada artinya. Karena tidak akan pernah dapat merubah nasib kehidupan masyarakat tempatan, “ sebut Syaed Lukman.

“ Sistem adalah sesuatu arah tujuan yang dapat merubah kita, kalau kita lihat sekarang Jerman itu hanya satu saja Perdana Menterinya, tetapi kemakmurannya luar biasa dengan sistem Federal. Kalau kita lihat sekarang Malaysia itu cuma satu Perdana Menteri nya, tapi dia lebih makmur dari kita, “ sebut Pembina Forum Aspirasi Negera Federal Indonesia ini.

Baca : Diskusi Kebangsaan ke 2 Ungkap Penyebab Krisis Ekologis Sumatera

Tokoh masyarakat Riau ini juga mengungkapkan bahwa Malaysia masih belum ada apa apa pada saat Indonesia sudah merdeka tahun 1945. “ Begitu merdeka tahun 65, guru semuanya dibawa dari kita. Tahun 70 an Malaysia itu belajar pertambangan minyak dari kita, sekarang dia lebih hebat dari kita. Korea juga begitu, China apalagi, China dulu TV tak ada tahun 70 an sekarang kita meng import, “ jelas Syaed Lukman menjelaskan bahwa hal ini terjadi disebabkan Sentralistik dan Serakahnomic yang sudah sangat menyengsarakan rakyat.

Pembina Forum Aspirasi Negera Federal Indonesia ini juga mengungkapkan pengalamannya saat berada di Komisi VIII untuk urusan Desentralisasi Haji, dimana pihaknya menemukan sejumlah guru yang mengadukan nasibnya karena SK nya tidak keluar lebih dari 10 tahun.

“ Artinya apa ? Guru saja SK nya harus dari Jakarta. Ini sesuatu hal yang tidak masuk akal. Kemarin saya menulis, Kekuasaan Gubernur itu sama dengan Pak Camat, Bupati Walikota itu sama dengan RT RW karena fungsinya itu hanya menggunakan anggaran saja, kekuasaan tidak ada, “ jelas Syaed Lukman sambil mengungkapkan bahwa negeri ini seperti tak bertuan.

“ Belum lagi bicara soal Agraria, kita tengah tidur tanah kita bisa hilang, saya beberapa kali menceritakan hal ini, kita berjibaku disana ternyata HGU nya sudah diberikan kepada perusahaan 10 tahun yang lalu, “ sebut Syaed Lukman menceritakan pengalamannya dalam kasus Pulau Rempang.

.


.

.

.