Connect with us

Headlines

Diskusi Kebangsaan ke 2 Ungkap Penyebab Krisis Ekologis Sumatera

Published

on

Dok. Diskusi Kebangsaan ke 2, Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal ? "

Membumi.com

Pekanbaru – Di sesi ke 2 koordinator Senarai Made Ali dalam pemaparannya mengungkapkan ketakutannya mengingat peristiwa bencana krisis ekologis yang terjadi di Sumatera saat ini, serta mengingat sejarah perlawanan oleh Gerakan Aceh Merdeka berhenti akibat krisis Ekologi yang ditandai dengan adanya Bencana Tsunami.

“ Kalau kita tarik benang merahnya itu bukanlah bencana, itu memang kesengajaan yang dibikin oleh Pemerintah Pusat, dan mengajak kita untuk mengubah paradigma, bahwa kita bukanlah mahluk sosial. Kalau mahluk sosial kan siap yang paling kuat siapa yang paling kaya siapa yang paling berkuasa dialah mata rantai teratas, ” ungkap Koordinator Senarai.

Lebih lanjut Made Ali mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya, krisis ekologis mengajarkan kita untuk mengubah paradigma berpikir, bahwa kita ini adalah mahluk ekologis yang bermakna sangat bergantung dengan alam, dengan mencontohkan peristiwa asap yang melanda Riau.

“ Mau kaya, mau miskin, mau kere, mau hebat sekalipun gak ada hebatnya, termasuk longsor di Sumatera. Jadi Paradigma ini harus dirubah, kita ini bukan lagi mahluk sosial, kita sangat bergantung dengan ekologis, didepan mata krisis air 20 tahun kedepan kita akan mulai mencari air bersih, “ ungkap Made menambahkan.

Koordinator Senarai ini juga mengungkapkan bahwa pihaknya lebih tepat memberikan istilah terhadap Longsor dan Banjir dengan istilah “ Krisis Ekologis “ karena ada penyebab perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Jika melihat Sumatera Utara, Sumbar Aceh dan sekitarnya di peta dan rilis Walhi se Indonesia itu karena disita ada tambang, ada sawit ada HTI yang itu semua perizinannya dipusat.

Kepala Daerah Gubernur berteriak sekalipun tak ada gunanya kalau pusat tidak mau mencabut izinnya. Mereka akan tetap beroperasi, jadi memandang itu sering kali disebut bencana. Bukan bukan bencana, itu kesengajaan yang dilakukan oleh pusat. Jadi paradigma itu harus dirubah, paradigma kita sebagai mahluk ekologis titik perlawanannya disitu, “ tambah Made Ali.

Made Ali juga mengungkapkan bahwa bicara soal perlawanan kalau dulu Riau disebut sebagai ladang perburuan namun 30 tahun terakhir harus ditambahkan, bahwa Riau bukan hanya sebagai ladang perburuan, tapi dijadikan laboratorium oleh pusat untuk memang di rusak.

“ Misalnya, Karhutla, Kebakaran Hutan dan Lahan kenapa gak pernah selesai di Riau, setiap ada Karhutla Pemerintah Pusat itu senang, padahal sederhana sekali untuk menghentikan Karhutla, cabut izin perusahaan libatkan masyarakat adat untuk menjaga hutan itu tidak akan ada Karhutla, “ sebut Made.

Temuan Jikalahari wilayah – wilayah masyarakat adat yang masih menjaga lahannya di Talang Mamak dan areal – areal yang diberikan perhutanan sosial, itu gak ada Karhutlanya, 30 tahun terakhir Karhutla itu terjadi di areal perusahaan semua ladang perburuan yang dikuasai Perusahaan dan Cukong, tapi kenapa itu dibiarkan oleh pusat ? pokoknya jadi laboratorium untuk di Rusak ! “ ungkap Koordinator Senarai.

Bersambung..

.


.

.

.

.