Headlines
Krisis ! Walhi Riau Serukan Evaluasi Izin – Izin Tambang

Membumi.com
Pekanbaru (02/06/2025) – Setiap tanggal 29 Mei, Hari Anti Tambang (HATAM) diperingati sebagai momentum perjuangan rakyat untuk melawan dominasi industri ekstraktif yang merampas ruang hidup dan merusak lingkungan. Tahun ini, tema “ Melawan Ekstraktivisme, Merawat Hidup, Menyatukan Perlawanan ” menjadi seruan nasional yang relevan dan mendesak, terutama bagi masyarakat di Provinsi Riau.
Saat ini Provinsi Riau bukan hanya disesaki oleh perkebunan kelapa sawit skala besar dan Hutan Tanaman Industri (HTI), tetapi juga terus dibebani oleh perluasan izin tambang, terutama di kawasan pesisir dan gambut. Kehadiran industri tambang merupakan kombinasi yang akan meningkatkan laju kerusakan ekologis, memperluas konflik agraria, dan akan semakin meminggirkan hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alamnya.
Berdasarkan analisis spasial WALHI Riau, beberapa kabupaten di Provinsi Riau dalam kepungan tambang. Di Kabupaten Indragiri Hulu terdapat tujuh IUP dan satu WIUP di sektor pertambangan dengan luas total 31.752,24 ha. Di Kabupaten Indragiri Hilir, ada sembilan perusahaan tambang yang memegang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan total luas 4.646,14 ha.
Di Kabupaten Kampar, seluas 4 ha telah digarap untuk aktivitas tambang mineral galian golongan C dan Batubara. Di Kabupaten Bengkalis, meskipun Izin Usaha Pertambangan Pasir Laut telah dicabut, faktanya wilayah perairan Bengkalis masih terancam oleh adanya tiga perusahaan tambang pasir laut yang sedang dalam tahap pencadangan per Januari 2025. Lalu, di Kabupaten Rokan Hulu, terdapat tujuh pemegang izin WIUP dengan luas 726,67 ha.
Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, menilai data tersebut merupakan fakta nyata bahwa Provinsi Riau telah menjadi ladang eksploitasi dan kehadiran industri tambang tidak dapat dilihat sebagai persoalan tunggal. Menurut Ahlul, kehadiran tambang di beberapa kabupaten tidak ada yang benar-benar bersih. Kehadirannya selalu memicu persoalan yang kompleks dari hulu ke hilir.
“ Di Pulau Rupat misalnya, meskipun akivitas penambangan pasir laut oleh PT Logomas Utama hanya dilakukan beberapa bulan, namun nelayan tradisional perlu waktu lama untuk memulihkan ekosistem laut yang rusak. Lalu di Desa Batu Ampar Indragiri Hulu, ledakan tambang oleh PT Bara Prima Pratama menimbulkan kerusakan pada bangunan yang masyarakat tinggali, aktivitas ini juga mencemari air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga izin perusahaan tersebut perlu dievaluasi ”, jelas Ahlul.
Dalam momentum peringatan Hari Anti Tambang, WALHI Riau mendesak Gubernur Provinsi Riau untuk mengevaluasi seluruh izin tambang yang telah ada dan akan beroperasi di Provinsi Riau.
Desakan ini berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan Pasal 35 ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2020 dan Pasal 6 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 yang secara jelas memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam urusan perizinan, pengawasan, serta pembinaan dan penjatuhan sanksi administratif terhadap kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (3), (5), (9) Perpres 55/2022, Gubernur Provinsi Riau mempunyai kewenangan untuk (1) memberikan izin terhadap komoditi mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; (2) melakukan pengawasan; dan (3) melakukan pembinaan atau pemberian sanksi administratif.
Selain melakukan penertiban terhadap perusahaan yang berada di bawah kewenangannya, Gubernur juga harus berperan aktif mengawasi perusahaan tambang yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.
Di tengah krisis ekologis yang terus memburuk di Riau di mana industri ekstraktif menjadi salah satu penyebab utama, tidak ada alasan bagi Gubernur Riau untuk abai. Kewenangan yang diamanatkan Perpres 55/2022 harus digunakan secara maksimal untuk menghentikan kerusakan, memulihkan lingkungan hidup, dan menjamin hak masyarakat atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan.
Ahlul mendorong agar peringatan Hari Anti Tambang dijadikan sebagai momen refleksi mendalam bagi pemerintah di Provinsi Riau dan daerah-daerah lain di Indonesia. “ Kehadiran tambang yang kerap dibungkus narasi pertumbuhan ekonomi tak bisa dibenarkan jika justru melanggengkan perampasan ruang masyarakat adat, merenggut ruang penghidupan kelompok perempuan, dan memperparah krisis ekologis. Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Riau mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan perlindungan hak-hak rakyat sebagai fondasi utama dalam setiap arah kebijakan pembangunan,” tutup Ahlul.
Source : Walhi Riau
.
.
.
.
.