Connect with us

OPINI

Ketentuan PBB P2 itu Melanggar Prinsip Dasar Regulasi Perpajakan

Published

on

.

Dalam beberapa diskusi menanggapi gejolak ditengah masyarakat yang meluas ke berbagai daerah, dapat saye simpulkan bahwa hal itu lebih dominan dipicu oleh berbagai faktor ketidakadilan, yang mustinya membuat kita kembali berpikir, apa sebenarnya tujuan dari sebuah arti kemerdekaan itu. Yang pasti membebaskan rakyat dari belengu kejamnya penjajahan.

Ketika berbagai foto dan video tentang kemarahan rakyat yang berserakan dijagat dunia maya, yang paling mewakili makna 80 tahun Indonesia merdeka adalah hasil jepretan netizen tanpa nama. Dimana seorang ibu berbaju lusuh dengan mimik wajah penuh amarah memegang bambu yang diatasnya diikat bendera merah putih berhadap – hadapan dengan blokade sekelompok polisi anti huru – hara yang dilengkapi dengan body protector bersenjata lengkap.

Disaat itu bau bubuk mesiu dan gas air mata yang menyesakkan dada selalu melindas diberbagai moment ketidakadilan, salah satu diantaranya adalah isu panas mengenai beban Pajak Bumi dan Bangunan P2 yang saat ini terasa seperti zaman penjajahan dan terkesan seperti membayar upeti kepada penguasa, dan parahnya tagihannya itu selalu berulang setiap tahunnya. Apa seperti itu arti sebuah kemerdekaan ?

Baca : ICW : Rp. 3,8 Triliun Pajak Rakyat Digunakan untuk Kekerasan

Usut punya usut pajak yang selalu berulang yang juga disebut dengan pajak berganda itu ternyata bertentangan dengan prinsip dasar regulasi perpajakan, yang mana tujuan pemungutan pajak dan pungutan lain nya itu mustinya dilakukan secara adil, transparan, dan tidak bertentangan dengan semangat yang tertuang dalam UUD 1945.

Jika Pajak Bumi dan Bangunan P2 yang selama ini berganda dan mengandalkan Perda itu justru bertentangan dengan prinsip dasar regulasi perpajakan yang mustinya berkeadilan, bahkan dalam proses legislasinya faktanya juga tidak memberikan ruang bagi partisipasi publik. Pertanyaannya, apakah penerapan yang bertentangan dengan asaz dan prinsip dasar UU perpajakan itu dapat dikategorikan sebagai pungutan liar ? yang dilakukan secara berjemaah ?!

Saya pikir, jika PBB P2 itu bertentangan dengan asaz dan prinsip yang tertuang dalam regulasi perpajakan, maka upaya pembatalannya tentulah melalui PTUN, revisi Perda hingga MK yang memakan waktu dan belum tentu berpihak kepada rakyat. Namun untuk meredam polemik dan gejolak ditengah masyarakat, faktanya pada (24/08/25) dihadapan wartawan Pak Wamen dengan gagah perkasa mengungkapkan bahwa Kemendagri sudah menerbitkan Surat Edaran untuk mencabut kenaikan PBB-P2 yang melebihi 100%. Nah.

Baca : Kemendagri Terbitkan SE Cabut Kenaikan PBB-P2 yang Melebihi 100%

Walaupun sudah terlanjur basah, setau saye pungutan pajak berganda itu tidak diperbolehkan dalam sistem perpajakan yang baik, sebab hal itu dianggap tidak adil karena rakyat harus membayar pajak lebih dari sekali untuk objek pajak yang sama. Tentunya hal itu tidak membuat rakyat merasa nyaman sehingga kemudian timbul kecenderungan seperti pemerasan, dan berakhir dengan ketidakpastian hukum.

Belum lagi bicara soal keputusan Ijtima Ulama melalui Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 yang mengamanatkan pemerintah hendaknya menerapkan pungutan pajak yang adil dan se ringan mungkin terhadap masyarakat yang berpendapatan rendah. Untuk dapat diketahui, para ulama juga mendorong pemerintah untuk dapat mencari sumber – sumber pendapatan negara yang lain selain pajak agar rakyat tidak terbebani dengan pajak yang tinggi. Nah

Penulis : Said Lukman – Tokoh Masyarakat Riau

.

.

.

.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *