Connect with us

Headlines

Jikalahari Ungkap Sederet Fakta Kondisi Ruang Hidup Masyarakat Adat dan Tempatan

Published

on

Dok. Flyer Diskusi Kebangsaan ke 2 " Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal ? "

Membumi.com

Pekanbaru – Bertempat di Anjungan Kampar Bandar Seni Raja Ali Haji hari ini (29/11/25) Agenda Diskusi Kebangsaan ke 2 dengan Judul “ Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal ? “ yang diraja oleh Forum Aspirasi Negara Federal Indonesia serta didukung oleh 2 organisasi lingkungan Riau diantaranya Jikalahari dan Senarai akhirnya dimulai jam 10.00 Wib dan juga disiarkan secara virtual melalui Zoom Live Streaming.

Hadir dalam kesempatan tersebut narasumber koordinator Jikalahari Okto Yugo, koordinator Senarai Made Ali dan Syaed Lukman. Selain itu Komisi III DPRD Provinsi Riau Abdullah, para perwakilan organisasi kemahasiswaan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di berbagai kampus se Provinsi Riau, Perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Riau, organisasi kemelayuan diantaranya Gerakan Anak Melayu (GAM) Nusantara, Datuk Panglima Said Mahdi, Datuk Bandar, Datuk Zaini dan sejumlah seniman Riau tampak hadir.

Lebih lanjut dalam pemaparannya Koordinator Jikalahari Okto Yugo mengungkapkan bahwa Pemerintah Pusat Menetapkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986 dimana disitu jelas dibagi ada yang HPL dan ada juga HPL / Kawasan Hutan. “ Disitulah dimulai persoalan Tata Ruang, Keadilan ruang Ekologis itu dimulai dan memberikan tekanan yang mengabaikan hak – hak masyarakat adat. Seolah olah masyarakat adat itu tidak ada, dan itu terus berlanjut, “ ungkap Okto.

“ Kalau pertanyaannya bagaimana kondisi hari ini, tentu sudah ada perubahan perubahan semenjak 1986, baik dari sisi luasan, dari sisi fungsi kawasan dan seterusnya itu terus mengalami perubahan, “ ungkap Koordinator Jikalahari menjelaskan bahwa seringkali terdapat perdebatan antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Pusat.

Lebih lanjut Okto Yugo mengungkapkan bahwa terkait Pengelolaan Ruang Hutan dan Tanah di Riau melalui Perda 10 tahun 1994 secara hukum ditolak oleh Pemerintah Pusat sehingga kembali ke TGHK melalui SK SK baru yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.

“ Kemerdekaan Provinsi untuk menentukan sendiri Penataan Ruang daerahnya sendiri sangat ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Kemudian bicara tentang pemanfaatannya ya, bicara tentang kondisi hak masyarakat adat dan tempatan terhadap akses hutan dan tanah di Riau saat ini. Sebenarnya kalau bicara hak untuk masyarakat dari tanah itu sumbernya apa aja ? ini yang kita diskusikan, “ sebut Okto.

Koordinator Jikalahari ini juga menjelaskan bahwa persoalan pertama terkait kadaulatan tanah adalah mengenai diklaim nya hutan tersebut sebagai tanah negara melalui yang namanya hutan negara. “ Pertama yang bisa diserahkan atau digunakan dari kawasan hutan itu adalah pelepasan kawasan hutan. Untuk bisa diakses oleh masyarakat atau pun perusahaan, itu yang namanya Pelepasan Kawasan Hutan dan kemudian menjadi HPL, “ ungkap Okto mempertanyakan siapa yang paling menikmati Pelepasan Kawasan Hutan.

Bersambung..
.


.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *