Business

Pemaksaan Vaksinasi Covid 19 adalah Pelanggaran HAM !

Dengan dalih Emergency Use Authorization (UEA) Izin pemakaian Vaksin Sinovac akhirnya dikeluarkan oleh BPOM. Padahal Ketua BPOM pada (16/1/2021) mengatakan, bahwa fase uji klinis fase III belum usai

Published

on

Foto : Ilustrasi

Berawal dari kebijakan persetujuan dini atau terbatas (early or limited approval) yang dilakukan Tiongkok dan Rusia yang telah menyetujui vaksin tanpa menunggu hasil uji klinis III menuai reaksi dari berbagai pihak, sebagaimana menurut para ahli bahwa proses yang terburu-buru bisa menimbulkan resiko yang serius.

Di Indonesia dengan dalih Emergency Use Authorization (UEA) akhirnya Izin pemakaian Vaksin Sinovac akhirnya dikeluarkan oleh BPOM pada 11/1/2021 yang lalu. Penny selaku Ketua BPOM dalam kesempatan webinar Ikatan Alumni ITB pada sabtu (16/1/2021) yang lalu pernah mengatakan bahwa meski uji klinis fase III belum usai, vaksin Sinovac sudah dibuktikan secara ilmiah memiliki mutu, sebagaimana diketahui bahwa menurut ketetapan internasional vaksin boleh digunakan dengan efikasi minimal 50% dan angka efektifitas Vaksin Sinovac adalah 65,3 %.

Bahkan WHO mengakui bahwa Sinovac dan Sinopharm mengurangi risiko rawat inap dan kematian. Namun pada kenyataanya banyak Negara yang telah menggunakan vaksin China terbukti tidak efektif menekan laju penularan Covid-19 terutama untuk Varian baru (Delta) yang saat ini tengah menginfeksi populasi dunia dan saat ini Malaysia sudah memutuskan tak lagi memakai Sinovac untuk vaksinasi nasional. Bagaimana dengan Indonesia ?

Sinovac pemicu krisis di Indonesia.

Sejumlah media luar negeri menuding bahwa Indonesia telah menandatangani pembelian puluhan juta dosis vaksin Sinovac dengan China pada Agustus 2020. Sebagaimana sejak awal program vaksinasi, Indonesia telah menggunakan Sinovac sebagai vaksin utama.

Menurut data Pemerintah per 9 Juli 2021, Indonesia telah menerima 119.735.200 dosis vaksin Covid-19. Sebanyak 108,5 juta di antaranya vaksin Sinovac. Sementara sekitar 8,2 juta dosis adalah vaksin AstraZeneca dari fasilitas COVAX, 1,5 juta dosis vaksin Sinopharm, 998 ribu dosis vaksin AstraZeneca dari Jepang, dan 500 ribu dosis vaksin Sinopharm dari Uni Emirat Arab (UEA).

Dengan dalih Emergency Use Authorization (UEA) Izin pemakaian Vaksin Sinovac akhirnya dikeluarkan oleh BPOM. Padahal Ketua BPOM pada (16/1/2021) mengatakan, bahwa fase uji klinis fase III belum usai

Namun krisis yang terjadi pada saat ini apapun dalihnya kenyataannya sebanyak 95 kabupaten/kota menerapkan PPKM Level 4 di Jawa-Bali dan 45 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali, bahkan beberapa daerah tersebut telah menjalani PPKM level 3 dengan beberapa kali perpanjangan apakah itu bukan krisis ?

Dari data Satgas Penanganan Covid-19 per 10 Juli 2021 menunjukkan, bahwa sebanyak 36.193.076 orang telah divaksinasi dengan dosis pertama, dan 14.969.330 orang telah divaksinasi penuh.

Di antara mereka yang telah divaksin secara penuh adalah tenaga medis yang masuk kelompok prioritas. sebagaimana narasi yang selalu disampaikan kepada masyarakat bahwa dengan di vaksin masyarakat dapat terlindungi dari dampak serius hingga kematian. Namun faktanya hampir seluruh tenaga medis sudah divaksinasi, ratusan dari mereka justru terpapar Covid-19 dan puluhan di antaranya meninggal dunia, ini ada apa ?

Belum lagi fakta yang disampaikan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) Per 16 Mei 2021 yang telah menerima 229 laporan efek samping serius pasca-imunisasi yang menyebabkan sasaran vaksinasi harus menjalani rawat inap, kecacatan hingga kematian, serta menimbulkan keresahan di masyarakat, dengan rincian 211 laporan dari vaksin Sinovac dan 18 laporan dari vaksin AstraZeneca.

Bahkan Pasca kematian 2 orang warga DKI yang sebelumnya mendapatkan suntikan AstraZeneca Batch, Kementerian Kesehatan langsung melakukan Penghentian sementara vaksinasi tersebut dan itu cuma berlaku bagi vaksin AstraZeneca batch CTMAV547 dengan kata lain, tidak seluruh penggunaan vaksin AstraZeneca tersebut di Indonesia yang dihentikan.

Benang Kusut Kebijakan Vaksin

Sebagaimana pertimbangan diterbitkannya Perpres No 99 tahun 2020 dilaksanakan guna percepatan pengadaan Vaksin COVID-19 dan Vaksinasi COVID-19 memerlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) serta pengaturan khusus untuk pengadaan dan pelaksanaannya.

Lebih tegas lagi didalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, soal sanksi tertuang di pasal 13a ayat 4, tertulis bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa: penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda, sebagaimana Kementerian Kesehatan mengatakan, langkah ini diambil agar target kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap virus corona tercapai.

Menanggapi hal tersebut Amnesty International Indonesia menilai, adanya sanksi administratif tersebut menciptakan pemaksaan yang telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Karena seharusnya pemerintah menjamin hak setiap orang dengan persetujuan dan tanpa paksaan sedikit pun dalam proses vaksinasi secara sukarela. “Pemaksaan vaksinasi dengan ancaman hukuman tertentu, termasuk pemberhentian atau penundaan jaminan sosial atau bantuan sosial, merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya.

” Pemaksaan vaksinasi dengan ancaman hukuman tertentu, termasuk pemberhentian atau penundaan jaminan sosial atau bantuan sosial, merupakan pelanggaran hak asasi manusia “

Dengan kenyataan tersebut pada jum’at 9 Juli 2021 yang lalu Menlu Retno Marsudi menyampaikan bahwa tercatat dari 119.735.200 dosis vaksin COVID-19 yang didapatkan Indonesia dari berbagai kerja sama bilateral dan multilateral dengan berbagai negara, yang paling banyak adalah 108,5 juta dosis vaksin Sinovac asal China 1,5 juta dosis vaksin Sinopharm, 8.236.800 dosis vaksin AstraZeneca dari fasilitas COVAX.

Kemudian, 998.400 dosis vaksin AstraZeneca dari Jepang, dan 500 ribu dosis vaksin Sinopharm dari UEA. Sejalan dengan hal tersebut berbagai program vaksinasi massal terus terjadi diberbagai daerah plus berbagai kebijakan paksa dan sanksi bagi masyarakat yang belum di vaksin tidak bakal mendapat pelayanan administrasi. Apakah itu bukan pelanggaran HAM namanya ?

Trus, bagaimana dengan virus Covid 19 yang selalu bermutasi ? Soal Varian Delta ? apakah vaksin yang dimaksud efektif untuk menangkalnya ? jika nyatanya tidak, tentunya tujuan vaksinasi tersebut bukan untuk kesehatan, lantas untuk apa ?

Bahkan dalam keterangan pers secara virtual, Rabu (15/7/2021) Luhut mengatakan bahwa varian delta turunkan kemanjuran semua jenis vaksin covid 19, dan menyatakan bahwa varian delta tidak bisa dikendalikan. Termasuk Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit China, Gao Fu, dikutip dari AP News mengakui bahwa vaksin yang mereka kembangkan tersebut tidak memiliki tingkat perlindungan yang tinggi atau efektivitas rendah dalam melawan virus covid 19. Oleh karena itu pemaksaan vaksin secara masif musti dievaluasi karena terbukti tidak ampuh dan itu merupakan pelanggaran HAM *(thd)

1 Comment

  1. linetogel

    Januari 2, 2024 at 9:58 am

    Wah, blog ini sungguh luar biasa! 🚀 Saya terkesan dengan kontennya yang bersemangat dan edukatif. 🌟 Setiap artikel memberikan pengetahuan baru dan inspiratif. 👏 Saya benar-benar merasa terhubung dengan pembahasan yang menarik dan sesuai. 🤩 Tambahkan selalu konten-konten seru seperti ini! 💯 Jangan hentikan berbagi ilmu pengetahuan dan keceriaan. 🌈 Terima kasih sangat atas kerja kerasnya! 🙌✨ Ayo bertambah berkarya dan buat blog ini sebagai inspirasi bagi semua! 🌟👍 #EnergiPositif #PenuhInspirasi #TheBest

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version