OPINI
Mencari Solusi Ditengah Mega Skandal Pengelolaan Dana Haji

.
Bicara soal kusutnya regulasi serta buruknya eksekusi penyelenggaraan dan pengelolaan dana haji. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Saya nilai negara ini masih setengah hati memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga negaranya pemeluk Islam. Salah satunya urusan haji.
Kita (daerah) tentu menyambut baik revisi regulasi penyelenggaraan Haji dan Umroh yang sudah berpuluh tahun selalu meninggalkan rapor merah yang tak pernah dievaluasi hingga ke akar persoalan. Termasuk revisi UU Pengelolaan Dana Haji oleh BPKH yang selama ini justru tidak dimanfaatkan se optimal mungkin guna peningkatan fasilitas, layanan dan kenyamanan bagi jema’ah haji Indonesia.
Bicara soal regulasi yang mengatur soal biaya Ongkos Naik Haji (ONH), untuk dapat diketahui hal tersebut tertuang dalam Kepres Nomor 6 Tahun 2025 yang ditandatangani langsung oleh Presiden pada (12/07/25) yaitu rata – rata sebesar Rp. 89.410.258,79, dengan rincian antara lain biaya perjalanan Ibadah Haji (Bipih) Rp. 55.431.750,78 (62% dari total biaya) dan nilai manfaat Rp. 33.978.508,01 (38% dari total biaya).
Biaya tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp. 93.410.286,00. Namun faktanya angka – angka tersebut jauh hari sudah disepakati dalam agenda Rapat Kerja bersama Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI di Gedung kura – kura pada senin (06/12/24), dengan komponen pembiayaan haji antara lain biaya perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan lainnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyelenggaraan ibadah haji saat ini memang sudah menjadi lahan proyek bagi pihak-pihak tertentu. Akibatnya, penyelenggaraan haji dilakukan secara tidak profesional dan biayanya jadi membengkak. Dikutip dari bisnis.com, bahwa pada 2025 BPKH menargetkan dana kelolaan sebesar Rp.188,86 triliun dengan nilai manfaat sebesar Rp.12,89 triliun, dari sini saja sudah tercium aroma bisnis dalam pengelolaan dana haji.
Disisi lain Kerajaan Saudi atas kebijakan Raja Muhammad bin Salman dengan Visi 2030 nya, saat ini hanya bertindak sebagai regulator dan pengawas. Itu artinya penyelenggaraan haji sudah tidak lagi Government to Government (G-to-G), melainkan Business to Government (B-to-G). Didalam negeri, faktanya Pemerintah (G) sudah berbisnis dengan Calon Jemaah Haji, padahal sejumlah regulasi yang mengatur masalah ekonomi keuangan negara jelas jelas melarang hal tersebut.
Artinya Negara mencari keuntungan dari dana haji yang terkumpul dari dari kantong – kantong pribadi calon jemaah haji yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Apakah itu tidak offside namanya ? Disini pemerintah bukan hanya bertindak sebagai regulator, melainkan memanfaatkan dana tabung haji untuk keperluan lain dan terjun langsung mengurus bisnis transportasi, akomodasi, makan minum dan seterusnya. Luar Biasa !
Walaupun ada payung Perpres yang menyatakan tahun 2025 Badan Pengelola Haji (BPH) ikut bertanggungjawab atas penyelenggaraan haji 2025, tetap saja tidak sesuai dengan semangat UU Nomor 5 Tahun 1999 yang melarang adanya praktik monopoli, yang otomatis berdampak terhadap persaingan usaha yang tidak sehat. Parahnya dalam hal ini malah Negara pelakunya.
Pertanyaannya, apakah revisi regulasi haji yang saat ini sedang bergulir di Komisi VIII DPR RI itu masih berbau sentralistik ? Yang jelas monopoli itu dilarang karena dapat membatasi akses pasar dan menghambat persaingan usaha yang sehat, sebab berkontribusi besar untuk kesenjangan ekonomi. Karenanya sentralisasi penyelenggaraan haji dan pengelolaan dana haji dapat dianggap sebagai bentuk monopoli menyalahgunakan kekuasaan, walaupun dibungkus dengan regulasi apapun.
Sementara itu, nilai manfaat kapitalisasi dengan dalih investasi dana haji apaun namanya, faktanya tidak menyelesaikan masalah penyelenggaraan, baik terkait mahalnya biaya ongkos naik haji maupun sederet masalah pelayanan lainnya. Jadi wajar jika masyarakat daerah juga ingin ikut berpartisipasi membenahi segala urusan haji yang kusut,.tidak patut dan tidak pada tempatnya itu.
Jika kemudian partisipasi itu tidak dianggap sebagai masukan yang positif. Maka patut diduga terselip kepentingan Oknum – oknum pelaku bisnis, apakah atas nama Negara ataupun perpanjangan tangannya yang dibungkus dengan berbagai macam dalih yang tidak menginginkan daerah ikut mengambil peran dalam membantu membenahi carut marut urusan haji.
Penulis : Fari Suradji – Tokoh Masyarakat Sunda Riau
.
.
.
.
.
.