Membumi.com
Pekanbaru – Dalam bincang “sersan” membahas berbagai isu lingkungan bersama Dr. Muhammad Yani Bas yang merupakan 1 dari 5 orang penggerak World Enviromental Partnership (WEP) dibawah payung United Nation Enviromental Program (UN EP) sabtu (24/12/22) diCoffe Shop disalah satu hotel dijalan Sudirman mengatakan,
” Banjir seperti itukan penyebabnya bad weather, yang naik menjadi cuaca ekstrem kemudian menimbulkan El Nino, persoalan tersebut bertambah parah ketika emisi karbon yang dilepas ke udara terlalu banyak, sehingga berubah menjadi La Nino. Jadi, tanpa disadari, Itu semua tidak terlepas dari ulah manusia itu sendiri, ” ungkap Dr. Yani sepulang dari lawatannya dari Kabupaten Batang Hari.
Kamipun bertiga terkekeh ketawa membaca sejumlah pemberitaan media online dengan sudut pandang yang sibuk menyalah nyalahkan kepala daerah dengan berbagai macam dalih, padahal tanpa disadari yang menyalahkan juga salah satu manusia penyumbang persoalan tersebut.
Baca : Perubahan Iklim Memicu Banjir Bandang di Jerman ?
Dalam keterangan Persnya Cik Yani (sapaan akrabnya) yang didampingi oleh Eno Ridarto Ketua Regional Sumatera Komnas PKLH juga mengungkapkan, bahwa yang menghadapi persoalan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim bukan hanya Kota Pekanbaru, akan tetapi persoalan tersebut sudah menjadi Global Issue saat ini.
” Bangkok, New Delhi, Jerman dan sejumlah kota besar lainnnya di dunia malah lebih parah dari Kota Pekanbaru, bahkan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim disana bukan hanya merusak pemukiman warga, malah sudah menimbulkan banyak korban jiwa, ” ungkap Eno.
Lebih lanjut Dr. Yani juga menyinggung program konversi energi batu bara ke bahan jemputan padat bernama Co Firing untuk PLTU terbukti tidak berhasil menekan emisi karbon, sebagaimana dampak lingkungan yang terjadi, berimbas pada kesehatan masyarakat sekitar PLTU Indramayu.
Baca : Co-Firing Biomassa disebut Memperburuk Lingkungan Sekitar PLTU
Pembahasan pun kemudian mengalir ke program Co Firing berbahan baku sampah yang saat ini sedang dalam tahap penelitian, dalam penjelasannya Dr. Yani mengungkapkan bahwa sampah tersebut terdiri atas berbagai macam komposisi seperti kain, plastik, karet, kertas, tulang ikan dan lain sebagainya.
” Perlu diingat, sampah itu sifatnya basah, ketika menggunakan Mechanical Bio Treatment (MBT) dalam mengeringkan yang hasilnya kemudian dibakar, maka emisi – emisi yang keluar atas komposisi tersebut dapat berdampak serius untuk kesehatan, karena ada karet, pampers dan sejenisnya yang juga mengeluarkan kontaminasi logam berat, ” ungkap Dr. Yani.
” Saya menyarankan agar 118 PLTU tersebut baiknya dilakukan retrovit atau penambahan teknologi pada PLTU yang sudah ada, ” ungkap Dr. Yani.
Menyinggung wacana Pemerintah mempensiunkan 118 Pembangkit Listrik Batu Bara lebih awal, Puak Melayu yang berlatar belakang PhD bidang Applied Material Sciences jebolan UPENN USA ini menyarankan pengambil kebijakan di Indonesia juga mempertimbangkan dampak ekonomi serta masalah sosial tenaga kerja yang bakal terjadi.
Baca : Analisis : Indonesia Butuh $37 Miliar Tuk Pensiunkan PLTU Batubara
” Saya menyarankan agar 118 PLTU tersebut baiknya dilakukan retrovit atau penambahan teknologi pada PLTU yang sudah ada, dengan lebih menekankan lagi kepada rekayasa material baru, sehingga value added PLTU dapat beroperasi dengan emisi karbon yang rendah dan menghasilkan listrik yang lebih murah, ” ungkap Dr. Yani.
Sebagaimana biaya transisi energi yang konon katanya diperkirakan mencapai $37 Milyar atau sekitar Rp. 576,6 T tersebut, Dr. Yani mengungkapkan bahwa PLTU Tenayan dapat menjadi pilot project transisi dari energi kotor ke energi yang lebih bersih yang diawali dengan kajian teknologi yang tepat guna.
Diakhir diskusi kecil padat makna bersama Dr. Yani selaku pemegang Intellectual Property (IP) Technology yang telah berhasil mengatasi sejumlah isu lingkungan dibeberapa kota besar dunia tersebut, kemudian mengalir ke dasar terbentuknya secular economy, yang ternyata sudah lama menjadi prinsip dalam falsafah kebudayaan Melayu itu sendiri.
Baca : Sri Mulyani Sebut RI Bisa Hentikan PLTU Hingga 2040, Ini Syaratnya
” Yaitu yang biasa disebut ‘ Tuah Sakti Payung Negeri, Patah Tumbuh Hilang Berganti, ‘ jadi prinsip itu jangan hanya digunakan untuk memupuk rasa nasionalisme, tapi juga digunakan untuk membangun ekonomi yang selama ini linear menjadi secular economy sehingga mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat, ” tutup Dr. Yani.