Figur

Perjuangan Hak Rakyat Atas Tanah, Berhadapan dengan Negara dan Oligarki

Kedepan regulasi seperti ini berpotensi dibenturkan dengan rakyat dan masyarakat adat

Published

on

Images : Said Lukman

Membumi.com

Pekanbaru – Tahun 2024 kalender Masehi sudah didepan mata, namun berbagai persoalan terkait persoalan tanah dan masyarakat masih menyisakan PR dan tanda tanya besar bagi kita semua. Persoalan ketidakadilan dan persoalan HAM tentunya menjadi bahan introspeksi bagi kita semua yang merasa terdampak.

Bicara soal polemik antara PT. SIR dan masyarakat, di bulan Ramadhan yang lalu saya sempat bersilatumi dengan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) berdiskusi bagaimana LAMR bisa menjadi wadah untuk mengayomi anak kemenakkan yang selama ini berjuang untuk mendapatkan haknya. 

Yaitu Hak hidup di tempat kelahirannya. 

Harapan saya tak banyak – banyak per orang, 2 hektar dan hal ini juga sudah saye sampaikan dengan Gubernur sebelumnya. ” Payah man, apo yang payah pak ? tak mau di kasi 20 % untuk anak kemanakkan. ” Kalau begitu habis izinnya tak usah dikasi rekomendasi untuk per panjang kebun, sebut saya dalam pertemuan singkat tersebut.

Seperti kasus perampasan hak – hak masyarakat adat Desa Pantai Raja, dimana hampir 1000 hektar lahan kebun karetnya dirampas oleh BUMN PTPN V Sei Kampar dan sudah diperjuangkan hampir 40 tahun tidak selesai dan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, bahkan lebih dari penjajah.

Baca : PTPN V Berhenti Rampas Tanah Rakyat !

Jadi persoalan KKPA ini bukan cuma terkuak di kasus PT SIR, tapi juga sudah lama menjadi persoalan di berbagai wilayah di provinsi Riau ini, yang penyelesaiannya hanya isapan jempol belaka karena masyarakat tidak mempunyai kemampuan melawan Negara dan Oligarki, model diktator.

Dalam kesempatan ini juga saya sampaikan, bahwa belum lama ini Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penyediaan Tanah atas nama Pembangunan Nasional menjelang berakhirnya masa kepemimpinan.

Sebagaimana disampaikan WALHI, bahwa Presiden telah gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN) yang membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja yang menambah hak baru pada tanah negara yaitu, tanah dalam pengelolaan pemerintah.

Sebagaimana Pasal 3 ayat (2) yang menganggap Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, atau BUMD memiliki tanah. Hal ini bertentangan dengan beberapa keputusan MK yang menyatakan bahwa Negara tidak dalam posisi memiliki sumber daya alam termasuk tanah, melainkan hadir untuk merumuskan kebijakan (beleid).

Presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Sebagaimana Pasal 4 huruf b Perpres 62/2018 yang memperlihatkan ketidak berpihakan negara pada rakyat di tengah meluasnya konflik agraria dengan ragam kompleksitas masalah.

Baca : Jokowi Rilis Aturan Baru Jamin Ganti Rugi Perampasan Lahan Rempang

Dalam kasus konflik agraria di Pulau Rempang misalnya, bukan rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah, melainkan negara abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak atas tanah yang dikuasai rakyat secara turun temurun.

Regulasi seperti inilah yang kedepan akan berpotensi dibenturkan dengan rakyat dan masyarakat adat atas tanah nenek moyangnya yang sudah diwariskan turun temurun akhirnya tercerabut yang konon katanya atas nama Negara. 

Beleid ini memperjelas karakter kontradiktif Presiden Joko Widodo yang konon katanya ingin menyelesaikan masalah konflik agraria melalui program reforma agraria, disisi lain justru menerbitkan kebijakan yang menghambat programnya sendiri.

Alhamdulillah, sekarang ada Gubernur yang berani untuk memperjuangkan hak rakyat dan anak kemanakkan, namun jika melihat dari konstruksi persoalan, maka niat baik beliau ini haruslah bersama kita perjuangkan, karena yang dilawan adalah Negara dan Oligarki.

Saya pun sudah menepon Ketua LAM agar kita dapat memberikan dukungan atas usaha pak gubernur Edy Natar dalam memperjuangkan hak rakyat. 

Source : Walhi

Penulis : Said Lukman, Pemerhati masalah Politik, Sosial dan Budaya

.

.

1 Comment

  1. Marshal Ahmedy

    Desember 31, 2023 at 12:20 am

    Segala sesuatu yg berhubungan dgn tanah perkebunan terutama kebun sawit, saya sgt setuju bila habis masa HGU nya tdk diperpanjang lagi, lahannya dikembalikan ke masyarakat (utk kemakmuran hidup) yg selama ini hanya jd penonton. Utk mencapai/menegakkan perjuangan ini diperlukan keberanian dari pihak terkait..Salut buat pak Said Lukman sbg sahabat dpt menyalurkan aspirasi ini demi kemakmuran masyarakat yg selama ini teraniaya.
    Wassalam

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version