Jakarta (31/12/23) – Sebagaimana dalam edisi pertama sudah disampaikan, bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat termasuk hal yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi. Dalam edisi kedua ini akan kami ungkapkan mengenai Janji yang Tidak pernah Ditunaikan pada Masyarakat Adat dan 7 rekomendasi bagi Kepemimpinan Nasional yang baru, sesuai rilies yang disampaikan (10/12/23) yang lalu.
Penurunan skor pada hak atas tanah sebesar -1,5 dibanding Indeks HAM 2019 dan -0,3 dibanding pada Indeks HAM 2022 menjadi implikasi dari masih menjalarnya konflik agraria. Dihimpun berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2021 mencapai 2.498 kasus, melampaui jauh dari masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berjumlah 1.770 kasus.
KPA juga mencatat 73 konflik akibat PSN selama pemerintahan Jokowi dari tahun 2015-2023. Pengaturan dalam UU No. 21/2023 tentang Perubahan UU 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) mengenai pemberian Izin Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi investor di lokasi IKN hanya menjadi pelayan investor dan semakin memperkeruh konflik yang akan terjadi.
HGU selama 190 tahun bagi investor IKN hanya menjadi Pelayan Investor dan semakin Memperkeruh Konflik yang akan terjadi
Selain itu, praktik ketersediaan ragam kanal uji tuntas baik HAM dan Lingkungan oleh negara kepada perusahaan yang masih bersifat voluntary dan tidak konsisten, menjadikan akuntabilitas dan analisis kepatuhan oleh bisnis sulit termonitoring dengan baik.
Percepatan investasi menuntut tanggung jawab penyediaan kebijakan negara yang lebih serius dan bersifat mandatoris untuk pelaporan uji tuntas HAM dan Lingkungan yang mengikat praktik bisnis di Indonesia.
Alih-alih memenuhi 9 janji Presiden Jokowi terhadap masyarakat adat, eskalasi konflik di atas wilayah adat semakin terjadi. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat masih ada 23,17 juta hektar atau sekitar 86,1% wilayah adat yang saat ini masih belum mendapat pengakuan oleh pemerintah daerah.
Regulasi melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat. Pemberian HPL di atas tanah ulayat berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.
Catatan tahunan AMAN pada tahun 2022 menyebutkan bahwa sebanyak 2.400 hektar wilayah adat telah dirampas untuk Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Produksi, dan Kemitraan).
AMAN mencatat bahwa selama sepanjang 2018-2022, setidaknya ada 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah masyarakat adat (Raden Aryo Wicaksono, 2023).
Perampasan Wilayah Adat juga semakin terang terjadi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan Presiden Jokowi.
Dari 161 PSN yang sudah terealisasi hingga September 2023, banyak diantaranya justru dengan merampas wilayah adat. Belum selesainya permasalahan IKN yang dibangun di seluruh wilayah Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, pemerintah kembali merampas wilayah adat demi kepentingan PSN Rempang Eco-City di Pulau Rempang Batam pada September 2023.
Konflik perampasan wilayah adat lainnya akibat PSN di antaranya proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, hingga proyek Geothermal di Manggarai.
1. Presiden Jokowi mengakselerasi adopsi instrumen HAM internasional melalui ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture dan pengesahan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
2. Mengambil tindakan segera untuk mencetak legacy di bidang HAM, di antaranya melalui penghentian Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum terrealisasi dan menimbulkan pelanggaran HAM, akselerasi penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk penuntasan kejahatan pembunuhan atas Munir Said Thalib.
3. Kepemimpinan nasional baru menjadikan HAM sebagai basis penyusunan perencanaan pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dengan indikator-indikator yang presisi dan berbasis pada disiplin hak asasi manusia.
4. Kepemimpinan nasional baru memperkuat dukungan kebijakan yang mengikat sektor bisnis dan dukungan penganggaran yang signifikan untuk pengarusutamaan bisnis dan HAM sebagai instrumen perwujudan kesetaraan akses terutama hak atas tanah untuk mencegah keberulangan kasus pelanggaran HAM pada sektor bisnis.
5. Kepemimpinan nasional baru memastikan perencanaan pembangunan yang inklusif dan memastikan semua entitas warga negara memperoleh jaminan pemajuan kesejahteraan tanpa diskriminasi.
6. Kepemimpinan nasional baru mengadopsi dan memastikan tata kelola yang inklusif (inclusive governance) dalam menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme, guna mewujudkan inclusive society yang memiliki ketahanan atau resiliensi dari virus intoleransi dan radikalisme.
7. Kepemimpinan nasional baru mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Sistem Pendidikan Nasional serta melakukan tinjauan ulang terhadap regulasi dan kebijakan yang kontra-produktif pada pemajuan HAM seperti UU Cipta Kerja dan UU Perubahan Kedua UU ITE.
Source : SETARA Institute for Democracy and Peace & International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)