Jakarta – Penerbitan Surpres RUU Polri menunjukkan arogansi Presiden Joko widodo dalam penyusunan regulasi. Lagi-lagi Presiden Jokowi kembali mengabaikan prinsip konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam penyusunan undang-undang.
Proses perencanaan dan penyusunan RUU Polri oleh DPR yang sembunyi-sembunyi, tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik yang jelas-jelas melanggar aturan main demokrasi dan konstitusi justru disambut mesra oleh Presiden dengan dukungan surat Presiden.
Pada akhirnya, proses pembahasan RUU Polri di DPR hanya akan mengukuhkan praktik Legislasi Otoriter dan melegitimasi kepentingan politik pemerintahan jokowi untuk memperkuat kekuasaan dan kendali terhadap ruang publik masyarakat.
Koalisi menilai RUU ini jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kepentingan kekuasaan. RUU ini juga bukan untuk melakukan koreksi terhadap institusi kepolisian yang bermasalah dan gagal dalam mereformasi institusi paska reformasi.
Jika nantinya disahkan hanya akan menjadi legitimasi upaya paksa negara melalui aparat kepolisian kepada rakyat seperti penyadapan, memata-matai rakyat bahkan kriminalisasi termasuk politisasi dan multifungsi kepolisian.
Betapa tidak, ditengah brutalitas dan buruknya kinerja kepolisian untuk melindungi rakyat yang nampak dalam berbagai kasus. DPR RI dan Presiden yang akan berakhir masa jabatannya pada Oktober 2024 nanti justru akan memberikan berbagai hadiah kewenangan baru kepada Kepolisian RI, bahkan tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang memadai. Padahal, kewenangan besar tanpa kontrol hanya akan melahirnya korupsi dan kesewenang-wenangan.
Selasa, 8 Juli 2024. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa pihaknya telah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), salah satu di antaranya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). Meski belum menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) beleid, Dasco menyampaikan bahwa proses pembahasan akan segera dilanjutkan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa diterbitkannya Surpres RUU Polri tersebut lagi lagi adalah wujud penelantaran terhadap berbagai kritik publik yang gencar menyorot proses legislasi yang sembunyi-sembunyi dan bermasalah. Terlebih substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elit.
Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ini patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi. Langkah Presiden dan DPR RI selain telah mengerdilkan cara-cara demokratis dengan memaksakan terbitnya Surpres dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU Polri ini, juga dipastikan sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik dan tidak memiliki intensi untuk melakukan perbaikan fundamental bagi Polri.
Hal tersebut ditandai dengan proses yang terburu-buru, di masa lame duck (politikus yang segera berakhir masa jabatan), hal mana RUU ini tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, tidak melalui perencanaan dan penyusunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga pada gilirannya mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).
Sebelum mengirimkan Surpres ke DPR RI, seharusnya Presiden Joko Widodo membuka mata dan telinga terhadap kritik dan penolakan terhadap RUU Polri yang disuarakan berbagai elemen masyarakat sipil. Semestinya, Presiden meninjau kembali rancangan undang-undang usulan DPR yang sarat masalah baik formil maupun substansi dengan mengakomodasi tuntutan publik, bukan justru bersikeras menerbitkan Surpres.
Terlebih lagi RUU Polri ini akan memberi kewenangan yang demikian besar dan luas kepada institusi yang dalam beberapa tahun terakhir justru tengah ramai disorot publik dan sarat dengan masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Sehingga langkah Presiden ini justru hanya kian menunjukan praktik-praktik legislasi otoriter “unjuk kuasa” dengan mengabaikan kritik publik.
Merujuk pada berbagai pertimbangan diatas, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian berpandangan sebagai berikut:
Pertama, RUU Polri digarap secara senyap, tidak transparan, terburu-buru, nir-urgensi, tanpa memberi ruang partisipasi yang bermakna bagi publik. Dalam konteks ini, jelas proses pembentukan tersebut telah mengabaikan kaidah konstitusional yang telah digariskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation) dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahkan RUU Polri sebelumnya tidak termasuk dalam Prolegnas DPR RI 2020-2024. Ini menunjukkan bahwa RUU Polri merupakan bentuk penyelundupan legislasi.
Apabila nantinya disahkan, RUU Polri hanya akan menambah daftar panjang praktik dan produk legislasi yang antidemokrasi dan anti kepentingan rakyat selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Penyelundupan legislasi ini memiliki daya rusak yang serupa dengan revisi UU KPK yang telah terbukti melemahkan penegakan hukum tindak pidana korupsi, maupun RUU Minerba, revisi UU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang melegitimasi perusakan lingkungan, perampasan lahan, pelemahan perlindungan buruh, marginalisasi masyarakat adat, dan rakyat pada umumnya.
Kedua, substansi dalam RUU Polri yang saat ini beredar, sama sekali tidak menyentuh persoalan fundamental di tubuh Polri. Beleid tersebut bahkan hanya fokus pada pasal-pasal baru yang justru akan memperbesar dan memperluas kewenangan Polri dengan mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap kepolisian (oversight mechanism) yang efektif, serta menegasikan pengarusutamaan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pemolisian.
Apabila nantinya disahkan, substansi yang ada di dalam rancangan tersebut dikhawatirkan hanya akan memperburuk atau kian memperparah kondisi yang telah ada sebelumnya, yakni institusi Polri yang menurut kajian dan catatan berbagai elemen masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara independen (state auxiliary bodies) menempatkannya sebagai aktor dominan pelanggaran HAM, maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga praktik-praktik korupsi.
Ketiga, dikeluarkannya Surpres tentang RUU Polri menunjukkan tidak adanya sensitivitas (insensitivitas) Presiden atas permasalahan-permasalahan kewenangan dan kultur Polri yang mengemukat, terutama yang berlangsung belakangan ini. Sejak RUU Polri ini dibahas pada Mei 2024, sejumlah tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan Polri masih kerap terjadi di masyarakat.
Sedikitnya misal, di Padang, polisi bertanggung jawab atas kematian seorang anak berusia 13 tahun bernama Afif Maulana yang ditengarai menjadi korban penyiksaan termasuk belasan anak-anak lainnya yang telah dipastikan mengalami penyiksaan oleh anggota kepolisian.
Dalam prosesnya pun, polisi cenderung menutup-nutupi kasus tersebut dengan mengaburkan fakta, menyembunyikan rekaman CCTV, dan bahkan memburu orang yang membuat viral kasus ini alih-alih memproses serius kasus penyiksaan tersebut.
Ketiadaan pengawasan yang komprehensif sehingga menyebabkan rentannya rekayasa kasus juga terlihat di kasus Pegi Setiawan yang dituduh menjadi dalang pembunuhan kasus Vina di Cirebon. Pada hari Senin, 8 Juli, Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan praperadilan dan menyatakan bahwa penangkapan dan penyidikan Pegi Setiawan tidak sah.
Hal ini menunjukkan bahwa, bahkan dalam penyidikan kasus yang sudah berjalan delapan tahun pun, polisi bertindak sembrono sehingga melakukan salah tangkap. Belum termasuk deretan momok dan “riwayat hitam” kepolisian.
Semisal tragedi pembunuhan Brigadir “J” yang kerap dikenal sebagai “Kasus Sambo”, keterlibatan Irjen Teddy dalam perdagangan gelap narkotika, kematian massal ratusan warga di tragedi Kanjuruhan, skandal “konsorsium 303”, brutalitas kepolisian sepanjang aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, tragedi di Rempang Batam, peristiwa di Bangkal Seruyan, dan deretan tragedi kemanusiaan serta praktik-praktik koruptif lainnya yang melibatkan kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kami mendesak agar Presiden RI dan DPR RI segera menghentikan proses pembentukan RUU Polri dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Presiden RI segera menarik Surpres terkait dengan RUU Polri;
2. Presiden dan DPR RI segera menghentikan pembahasan tentang RUU Polri, khusus rancangan usul inisiatif Badan Legislasi DPR saat ini;
3. Presiden dan DPR RI harus memprioritaskan perbaikan-perbaikan krusial dan fundamental yang selama ini menjadi permasalahan Polri sebagai bagian dari ikhtiar reformasi kepolisian yakni persoalan luasnya kewenangan serta transparansi dan akuntabilitas pengawasan terhadap kewenangan kepolisian;
4. Presiden dan DPR RI memprioritaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara dan/atau ketentuan penegakan hukum, dengan tetap memastikan adanya proses legislasi yang demokratis, transparan dan membuka lebar ruang partisipasi publik yang bermakna.
5. Presiden dan DPR RI berhenti untuk mempertontonkan praktik otoritarianisme dalam penyusunan legislasi;
.
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK REFORMASI KEPOLISIAN
AJAR (Asia Justice and Rights), AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen), Amnesty Internasional Indonesia , Centra Initiative, ELSAM, HRWG (Human Rights Working Group), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), IJRS (Indonesia Judicial Research Society), IM57+ Institute, Imparsial, KontraS, Kurawal Foundation, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), Lokataru Foundation, PBHI Nasional, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), Themis Indonesia, TII (Transparansi Internasional Indonesia), Yayasan Pikul, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Remotivi, WeSpeakup.org – Jakarta, 9 Juli 2024
Dok. Flyer Seminar AArtificial Inteligent (AI) Artificial Inteligent (AI) dengan pembicara diantaranya Prof. Dr. Chairy yang merupakan Guru Besar President University Kampus Pekanbaru, kemudian Prof. Dr. Saktioto Guru Besar Universitas Riau, yang dimoderatori Dinarti T, BBA, MBA, Ameera Hotel Pekanbaru, Sabtu (02/11/24).
Membumi.com
Pekanbaru (28/10/24) – Empat hari jelang Seminar Artificial Inteligent (AI) dengan tema : ” Literasi Digital untuk Guru : Mempersiapkan Pendidikan Masa Depan di Riau ” yang menghadirkan nama besar selaku pembicara diantaranya Prof. Dr. Chairy yang merupakan Guru Besar President University Kampus Pekanbaru, kemudian Prof. Dr. Sakioto Guru Besar Universitas Riau yang dimoderatori Dinarti T, BBA, MBA, yang akan dilaksanakan Sabtu (02/11/24).
Dalam keterangan persnya Benny Rio Denaldi Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA Negeri Pekanbaru (MKKS) mengungkapkan bahwa AI merupakan terobosan baru di dunia pendidikan, AI akan mempermudah guru dan murid dalam melakukan pembelajaran dimanapun dan kapan pun.
” AI sangat membantu guru dalam proses administrasi penilaian dan pelaksanaan pembelajaran, dan bagi murid hal ini sangat mendukung dalam mempermudah memahami aspek pembelajaran bersama para pendidik disekolah, ” ungkap Benny.
Lebih lanjut Benni mengungkapkan, bagi para guru mata pelajaran yang akan mengikuti kegiatan seminar Artificial Inteligent ini keuntungannya tentunya bagaimana guru dapat memahami posisi AI akan dipakai dalam proses pembelajaran.
” AI ini dapat dimaksimalkan dalam pembelajaran sehingga guru dapat berkolaborasi bersama siswa dalam pembelajaran berbasis AI, ” sebut Ketua MKKS.
Fari Suradji selaku pemerhati pendidikan Riau sangat mengapresiasi Seminar Artificial Inteligent (AI) yang ditaja oleh President University, mengutip laporan Programme for International Student Assessment (PISA) dari Organisastion untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2022, disebutkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia mengalami penurunan.
” Hal itu terlihat dari skor tiga kompetensi terkait dengan literasi, numerasi dan sains yang sama-sama lebih rendah dibandingkan dengan penilaian pada periode tiga tahun sebelumnya, yakni 2018. Ditinjau dari skor literasi atau membaca, Indonesia memiliki nilai rata-rata sebesar 359 pada 2022, ” ungkap Fari Suradji.
Selain persoalan itu, hari ini kita semua dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang sangat luar biasa yang bernama Artificial Inteligent (AI). Oleh karena itu sangat penting bagi kita semua terutama generasi penerus bangsa untuk bisa bertransformasi menuju era Society 5.0.
” Di posisi ini guru guru dan para pegiat pendidikan berfungsi menjadi ujung tombak masa depan bangsa dalam melahirkan bintang – bintang agar Indonesia tidak cuma komoditas pasar melainkan menjadi SDM yang handal dalam bidang teknologi, ” tutup pemerhati pendidikan riau ini bersemangat.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa setelah pertemuan dengan Fari Suradji dikediaman Gubernur Riau (26/10/24), Pj. Gubernur Riau Rahman Hadi sangat antusias dan akan mengupayakan untuk hadir membuka acara Seminar AI tersebut.
Untuk dapat diketahui bahwa Seminar Artificial Inteligent (AI) yang akan dilaksanakan di Ameera Hotel jalan A Yani Pekanbaru sabtu (02/11/24) hingga hari ini (28/10/24) jumlah peserta yang sudah melakukan registrasi sebanyak 170 orang, dan kuota seminar masih tersisa 80 peserta.
Untuk registrasi dapat dilakukan di link https://bit.ly/seminar_literasidigital atau melalui scan Barcode flyer dibawah ini. Dapatkan fasilitas berupa Sertifikat, makan siang, voucher, dan hadiah menarik lainnya. Buruan ! Kuota terbatas.
TII Ungkap Modus Kejahatan Dibalik Bisnis Tambang di Indonesia (II)
Periode Juni – Agustus 2024 ditemukan 182 nama orang yang terhubung dengan berbagai perusahaan tambang baik sebagai pengurus, pemegang saham, maupun pemilik manfaat.
Dok. Ilustrasi Oknum Elit Politik dan Penguasa dibalik Bisnis Tambang di Indonesia.
Membumi.com
Jakarta – Lebih lanjut Transparancy International Indonesia juga mengulas mengenai definisi dan kewajiban mengenali pemilik manfaat. Dimana ruang lingkup pemilik manfaat badan hukum di Indonesia diatur dengan cukup luas, meliputi kategori kepemilikan berbasis saham dan pengendalian terhadap operasional perusahaan.
Pengaturan yang luas ini memang baik untuk mengantisipasi berbagai bentuk pengendalian badan hukum oleh individu orang tertentu yang disebut sebagai pemilik manfaat utama (ultimate beneficial owner, UBO).
Dengan demikian, pun jika pemilik manfaat yang mengatur perusahaan dan atau aset dari perusahaan tidak tercatat sebagai pemegang saham, maka tetap dapat diidentifikasi dan dilaporkan berdasarkan bentuk pengendalian lainnya.
Bentuk pengendalian ini pun diatur cukup luas dan luwes, meliputi tidak hanya mengatur pengangkatan pengurus (corporate executives), tetapi juga berbagai bentuk lain termasuk mendapatkan manfaat langsung dari perusahaan. Asumsinya, korporasi yang memiliki itikad baik untuk mendaftarkan pemilik manfaatnya tidak terhalang oleh kriteria dan definisi dalam regulasi untuk melaporkan pemilik manfaatnya.
Tantangan dari bentuk pengaturan definisi pemilik manfaat yang demikian adalah adanya kebutuhan untuk verifikasi akurasi yang memadai. Walaupun, definisi yang luas seperti pengendalian dengan bentuk non kepemilikan atau tanpa basis legal, pada praktiknya tidak mudah untuk diuji.
Tanpa proses verifikasi yang memadai, ditambah lagi dengan kriteria yang luas, badan hukum dapat melaporkan pihak-pihak yang bukan pemilik manfaat sebenarnya, sembari tetap memenuhi kewajiban identifikasi pemilik manfaatnya.
Persoalan seperti ini telah beberapa kali menjadi temuan organisasi masyarakat sipil ketika mencoba melihat data pemilik manfaat di sektor lain, seperti perkebunan dan serat kayu, yang misalnya, menemukan bahwa perusahaan yang terafiliasi dengan grup-grup besar tidak jarang menggunakan nama-nama pengurus perusahaan untuk didaftarkan sebagai pemilik manfaat, meski patriark pendirinya diketahui publik luas.
Sebagai contoh Analisis di sektor serat kayu (pulp), oleh Transparency International Indonesia (TII), Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), Publish What You Pay (PWYP), dan Woods and Wayside International (WWI) pada awal 2024 lalu, menemukan bahwa dari total 284 perusahaan yang dianalisis, sebanyak 229 perusahaan (atau 80%) telah mematuhi dan melaporkan informasi pemilik manfaat mereka.
Meski demikian, angka kepatuhan ini masih menjadi persoalan, karena dibarengi dengan temuan bahwa beberapa perusahaan yang melaporkan pemilik manfaat sebagai perusahaan luar negeri atau eksekutif senior perusahaan, yang seharusnya mengindikasikan individu perorangan.
Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam akurasi dan verifikasi laporan pemilik manfaat. Beberapa nama penting, seperti Sukanto Tanoto dari APRIL Group, tidak tercantum dalam laporan pemilik manfaat, meskipun secara luas diketahui sebagai pengendali utama.
Praktik ini sebenarnya menjadi perhatian Financial Action Task Force (FATF) sehingga kemudian pada Maret 2022 lalu mengusulkan perubahan Rekomendasi No. 24 terkait dengan identifikasi pemilik manfaat, utamanya dengan menekankan perlunya cara-cara untuk mencegah penyalahgunaan praktik pinjam nama atau nominee terhadap pemegang saham dan pengurus perusahaan untuk aktivitas tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal ini maksudnya, mencegah tidak ada modus pinjam nama untuk menyembunyikan pemilik manfaat yang sebenarnya. Merespon konsultasi publik terhadap usulan perubahan rekomendasi FATF tersebut, Transparency International menyampaikan pentingnya memastikan ketersediaan sistem pendaftaran data pemilik manfaat sebenarnya yang dapat diakses publik luas.
Catatan ringkas ini mengumpulkan data pemilik manfaat di sektor pertambangan terhadap 120 perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan. Pemilihan 120 perusahaan pertambangan ini dilakukan berdasarkan data laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia terkait dengan pembayaran pajak dan sumbangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terbesar ke Indonesia pada tahun 2021.
Setidaknya 95% kontribusi PNBP di sektor pertambangan dihasilkan dari 120 perusahaan itu menurut data EITI. Berdasarkan informasi yang terangkum di dalam sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini tercatat setidaknya 7.225 perusahaan tambang, sehingga meski kontribusi penerimaan negaranya tinggi, 120 perusahaan yang dikaji merepresentasi 1,7 persen total perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha pertambangan.
Keseluruhan data pemilik manfaat diperoleh dengan mengakses piranti keterbukaan informasi pemilik manfaat yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui alamat elektronik: https://ahu.go.id/pencarian/profil-pemilik-manfaat. Berdasarkan pengumpulan data itu teridentifikasi setidaknya, 110 nama yang terdaftar sebagai pemilik manfaat. Seluruh pelaporan pemilik manfaat tersebut tercatat sebagaimana Lampiran 1.
Laporan pemilik manfaat merupakan laporan yang disampaikan oleh perusahaan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana kewajiban dalam Perpres Pemilik Manfaat 2018.
Perlu diperhatikan bahwa pelaporan pemilik manfaat dapat berubah-ubah tergantung pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan. Data pemilik manfaat dikumpulkan pada periode Juni 2024 sampai dengan Agustus 2024.
Sehingga data ini dipandang valid pasca periode pengumpulan data setidaknya sampai kemudian perusahaan melakukan perubahan laporan pemilik manfaat ke dalam sistem yang dikelola oleh Kemenkumham. Selain itu, pada beberapa perusahaan tambang, terhadap data yang telah dikumpulkan juga dilakukan pembersihan misalnya dengan menyeragamkan nama maupun memperbaiki kesalahan input data terhadap nama-nama yang diidentifikasi merupakan orang yang sama.
Selain mengidentifikasi informasi pemilik manfaat berdasarkan data yang dilaporkan ke dalam sistem informasi pemilik manfaat, terhadap 120 perusahaan juga dilakukan analisis terhadap pengurus dan pemegang saham perusahaan. Data-data itu dikumpulkan dengan mengakses sistem informasi Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pengumpulan data dari MODI dilakukan pada periode waktu Juni 2024 hingga Agustus 2024. Berdasarkan pengumpulan data-data tersebut ditemukan 182 nama orang yang terhubung dengan berbagai perusahaan–perusahaan tambang baik sebagai pengurus, pemegang saham, maupun pemilik manfaat.
Pemilahan dilakukan terhadap data-data itu terhadap orang perorangan yang memiliki kualifikasi sebagai orang dengan pengaruh politik (politically exposed person, atau lazim dikenal sebagai PEP).
Berdasarkan pengumpulan informasi yang dilakukan, teridentifikasi setidaknya 97 nama sebagai orang dengan pengaruh politik, 2 diantaranya juga dilaporkan sebagai pemilik manfaat, yang terhubung dengan 102 perusahaan tambang dari daftar.
Pemilahan profil orang dengan pengaruh politik tinggi dianggap penting karena posisi, status, dan pengaruhnya dalam pemerintahan yang signifikan sehingga memiliki kerentanan korupsi dan pencucian uang yang lebih tinggi ketimbang individu tanpa jabatan.
Identifikasi orang dengan pengaruh politik dilakukan berdasarkan definisi yang terangkum dalam Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Nomor: PER-02/1.02/PPATK/02/15 tentang Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu sebagai:
“Orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggara negara, dan/ atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun asing.”
Di dalam aturan itu juga lebih lanjut diuraikan klasifikasi orang dengan pengaruh politik, meliputi 5 jenis meliputi pejabat publik dari Presiden hingga eselon dua kementerian dan lembaga, aparatur sipil strategis, aparat penegak hukum, dan pengurus atau anggota partai politik.
Untuk keperluan dalam catatan ini, data orang dengan pengaruh politik termasuk juga meliputi orang-orang yang pernah menduduki jabatan tersebut, maupun merupakan anggota keluarga atau orang yang terlibat secara signifikan dalam kegiatan usaha yang dimiliki oleh orang dengan pengaruh politik tersebut.
Perluasan PEPs termasuk meliputi orang yang dekat atau terhubung dengan PEPs itu sendiri, sebenarnya diatur secara spesifik di negara lain, misalnya seperti dalam Undang-Undang Kejahatan Keuangan 2017 di Inggris.
Seturut dengan PPATK yang telah mengembangkan aplikasi Politically-Exposed Person (PEP) agar memudahkan penyedia jasa keuangan untuk melakukan identifikasi, verifikasi, dan pemantauan terhadap PEP, EITI pun juga telah mendorong hal yang serupa di sektor ekstraktif.
Persyaratan EITI nomor 2.5 mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) mewajibkan perusahaan ekstraktif yang menjadi anggota EITI untuk turut mengidentifikasi Politically Exposed Person (PEP) di internal perusahaan.
Jakarta – PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) sebagai perusahaan digital telekomunikasi di Indonesia turut mengambil peran inisiatif dalam upaya pelestarian lingkungan di tengah isu krisis lingkungan yang saat ini semakin meningkat.
Komitmen ini diimplementasikan melalui program Bumi Berseru Fest yang merupakan wadah kolaborasi inisiatif Telkom untuk organisasi dan penggiat lingkungan dalam menciptakan gerakan inovasi dan kreativitas demi keberlangsungan lingkungan yang berkelanjutan.
Kompetisi Bumi Berseru Fest terbuka untuk masyarakat sejak tanggal 14 Oktober hingga 15 November 2024. Melalui Bumi Berseru Fest, Telkom mengajak masyarakat bergerak untuk kelestarian lingkungan dengan cara yang kreatif dan inovatif. Program ini terbagi ke dalam tiga kategori kompetisi, yaitu Panggilan Aksi untuk Bumi, Alam dalam Lensa, dan Inovasi Eco Produk.
Panggilan Aksi untuk Bumi adalah kompetisi proposal program atau kegiatan lingkungan yang bisa diikuti oleh organisasi maupun komunitas penggiat lingkungan (mapala, sispala, komunitas, dan lainnya). Kompetisi ini terbagi ke dalam tiga sub-kategori, yaitu Pelestarian Ekosistem Darat dan Laut, Reforestasi dan Rehabilitasi Lingkungan, dan Konservasi untuk Keanekaragaman Hayati.
Setelah melalui beberapa proses seleksi, nantinya pemenang terpilih akan mendapatkan bantuan pendanaan program mulai dari Rp10.000.000 hingga Rp25.000.000.
Kemudian kategori Alam dalam Lensa. Kategori ini merupakan kompetisi fotografi pada platform media sosial Instagram sebagai bentuk kampanye peduli lingkungan. Setiap satu unggahan foto yang diikutsertakan sama dengan menyumbangkan satu bibit pohon untuk reforestasi hutan Indonesia.
Alam dalam Lensa, terbagi ke dalam dua sub-kategori, yaitu Pesona Kharismatik Biodiversitas Indonesia dan Selaraskan Alam, Hidup dalam Keseimbangan. Melalui kompetisi ini, Telkom mengajak masyarakat untuk membagikan keindahan alam Indonesia beserta interaksi manusia dengan alam. Bagi pemenang terpilih akan mendapatkan apresiasi sebesar Rp2.000.000 hingga Rp5.000.000.
Ketiga, kategori Inovasi Eco Produk, yaitu kompetisi inovasi dan kreasi produk lokal yang menerapkan prinsip ramah lingkungan dan keberlanjutan. Melalui kompetisi ini, Telkom mengajak para masyarakat dan pelaku usaha lokal untuk menciptakan inovasi produk yang ramah lingkungan.
Kompetisi terbagi dalam tiga sub-kategori, yaitu Produk Daur Ulang dan Pemanfaatan Kembali, Bahan Ramah Lingkungan dan Produk Sirkular Ekonomi. Bagi pemenang terpilih akan mendapatkan apresiasi sebesar Rp7.500.000 hingga Rp20.000.000.
Hery Susanto menyampaikan, “Selaras dengan komitmen dalam penerapan prinsip ESG dalam menjaga kelestarian alam, Telkom mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk terlibat dalam gerakan Bumi Berseru Fest. Harapannya, gerakan ini dapat menjadi wadah kolaborasi untuk berkreasi dan berinovasi demi masa depan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Bumi Berseru Fest juga selaras dengan komitmen Telkom dalam pencapaian Sustainable Development Goals di tahun 2030, khususnya pada SDG 8, 11, 12, 13, 14, 15 di pilar pembangunan ekonomi dan lingkungan, ” tutup SGM Social Responsibility Telkom.