Membumi.com
Jakarta (15/10/24) – Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sektor pertambangan menyumbang realisasi penerimaan pajak terbesar ke-4 sebesar 9,4% (± Rp 175 triliun) dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.869,23 triliun di tahun 2023.
Namun demikian, sektor pertambangan juga seringkali dipandang sebagai salah satu sektor yang menyebabkan berbagai beban sosial. Selain berbagai persoalan kerusakan lingkungan, sektor pertambangan juga rentan terhadap berbagai permasalahan dan kriminalitas lain seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Risiko korupsi korupsi dan konflik kepentingan di sektor tambang tinggi, karena dalam banyak kasus melibatkan oknum-oknum yang memiliki kepentingan tersembunyi dan mengendalikan perusahaan tambang meski tidak secara resmi tercatat dalam dokumen perusahaan.
Dalam rilies kajian Transparency Internasional Indonesia (TII) setebal 62 halaman tersehut dijelaskan, bahwa hal itu lah yang menghambat upaya pemerintah dan masyarakat dalam mengawasi dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Baca : Ini 8 Sektor Penyumbang Pajak Terbesar Indonesia sepanjang 2023
Tidak hanya Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan memiliki situasi korupsi yang semakin memburuk jika dilihat dari penurunan skor Corruption Perception Index (CPI) dalam beberapa tahun terakhir dari skor 40 di tahun 2019 menjadi ke angka 34 di tahun 2023, sektor pertambangan kerap dipandang sebagai lahan basah praktik korupsi.
Berdasarkan hasil survey terhadap para pebisnis, praktik korupsi dan penyuapan di sektor pertambangan dianggap paling lazim terjadi dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya. Survey lainnya terhadap pebisnis sektor pertambangan menemukan hasil bahwa perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) didominasi oleh korporasi yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik dan pemerintahan.
Simpulan yang sama ditemukan berdasarkan hasil penelusuran dokumen dan observasi lapangan mengungkapkan bahwa pemilik perusahaan yang tercantum dalam Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) berbeda dengan fakta yang sebenarnya di lapangan, diantaranya adalah para elite politik dan anggota legislatif.
Baca : Dirty Money States: Illicit Economies and the State in Southeast Asia
Praktik korupsi di pertambangan secara terang-terangan menunjukkan hal tersebut, misalnya pada korupsi perizinan usaha tambang yang menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, pada tahun 2017. Pada kasus ini terlihat bagaimana korporasi dapat dimanfaatkan menyembunyikan kepentingan pribadi Nur Alam untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan usaha pertambangan.
Setelah meminta lahan dari VALE INDONESIA, PT (sebelumnya INCO, PT), tahun 2009, Nur Alam menerbitkan izin usaha pertambangan kepada ANUGRAH HARISMA BARAKAH, PT. Perusahaan yang telah diatur juga bersama beberapa orang lain agar 2 persen saham diantaranya dialihkan untuk Nur Alam melalui pemegang saham atas nama, Ikhsan Rifani.
Tanpa memahami relasi PT AHB dengan Nur Alam, mungkin akan sulit untuk menemukan kejahatan korupsi yang terjadi. Persoalan ini tidak unik terjadi di Indonesia, kajian lain menemukan bahwa dari 100 kasus korupsi perizinan sektor ekstraktif di tingkat global, lebih dari setengah kasus tersebut mengidentifikasi pola umum bahwa orang dengan pengaruh politik (Politically Exposed Person) menjadi pemilik manfaat akhir dari perusahaan yang mendapat izin di sektor ekstraktif.
Baca : Coalruption: Elit Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara
Tidak aneh apabila konglomerat atau elit politik memiliki puluhan perusahaan dan aset yang tersebar di berbagai yurisdiksi, untuk melindungi aset mereka. Bocornya dokumen hukum dan keuangan dari yurisdiksi lepas pantai, mulai dari Panama Papers, Paradise Papers, dan terakhir Pandora Papers tahun 2021, misalnya, mengungkapkan lebih dari 700 ribu nama pejabat publik dan orang-orang dengan pengaruh politik dari seluruh dunia.
Akan tetapi, cara itu sangat mudah disalahgunakan dan berisiko tinggi ketika memberikan peluang pada korporasi untuk mengalihkan aset ilegal atau membiayai berbagai kejahatan, misalnya korupsi. Memang secara umum pun, koruptor dan pelaku pencucian uang sudah banyak terbiasa dengan praktik menggunakan badan hukum sebagai alat untuk menyembunyikan aset ilegal maupun menghilangkan bukti kejahatan.
Untuk Pandora Papers saja setidaknya 11,9 juta dokumen dari yang berisi akta-akta dan perjanjian rahasia atas aset tidak hanya milik politisi dan pimpinan negara, tetapi termasuk juga selebriti, konglomerat, dan pelaku kriminal.
Korporasi atau badan hukum memang merupakan alat yang efektif untuk melakukan hal tersebut, karena memberikan kemungkinan terbentuknya lapisan pembatas informasi bagi pelaku kejahatan, terutama apabila struktur kepemilikan dan kendali perusahaan itu semakin rumit.
Selain menjadi persoalan benturan kepentingan, kemudahan dan keleluasaan untuk menyembunyikan peran dan harta dalam korporasi juga berkontribusi terhadap semakin banyak pejabat publik atau orang-orang dengan pengaruh politik yang tinggi yang namanya ditemukan juga terhubung dengan korporasi-korporasi, baik itu secara langsung maupun melalui perantara.
Di sisi lain, temuan-temuan itu juga menggarisbawahi bahwa mitigasi risiko pencucian uang dan korupsi mensyaratkan instrumen yang efektif untuk mengidentifikasi pemilik manfaat badan hukum dan mencegah praktik anonimitas pemilik manfaat oleh badan hukum.
Penerbitan dan implementasi Peraturan Presiden tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat 2018 di Indonesia oleh karenanya merupakan langkah penting untuk mendukung pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Apalagi kemudian rezim kewajiban pelaporan informasi pemilik manfaat ini kemudian juga dibarengi dengan keterbukaan informasi terhadap data pemilik manfaat secara luas.
Keterbukaan data pemilik manfaat diharapkan dapat secara strategis mengarahkan penegakan hukum untuk berjalan lebih efektif dengan menjerat individu-individu yang dianggap sebagai pemilik manfaat (beneficial owner) dari perusahaan yang melakukan tindak pidana korupsi.
Kerangka Regulasi Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat di Indonesia
Laporan Pemilik Manfaat Perusahaan Tambang di Indonesia|5Kerangka Regulasi Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat di Indonesiaetelah resmi menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF), posisi Indonesia dalam penguatan rezim transparansi pemilik manfaat (beneficial ownership transparency) ditunggu banyak pihak.
“Since then, Indonesia has worked to deliver on an action plan to address the key technical and effectiveness issues identified during the evaluation. Based on the country’s strong political commitment to complete the remaining items on its action plan andthe continuing progress to improve its national AML/CFT/CPF programme, the Plenary agreed to grant Indonesia membership in the FATF, effective at the end of this Plenary. Indonesia will benefit from full membership rights and will be expected to meet the obligations of FATF membership. With Indonesia’s accession to membership, there are now 40 members in FATF, including all G20 countries.”
Setidaknya terhadap dua hal yang menjadi tantangan pelaksanaan keterbukaan informasi pemilik manfaat: 1) penggunaan data informasi pemilik manfaat, dan 2) tingkat akurasi informasi pemilik manfaat. Terutama mengingat Indonesia menjadi salah satu negara yang secara progresif memberikan akses publik terhadap informasi pemilik manfaat, seperti halnya, sejumlah kecil beberapa negara lain seperti Inggris dan Denmark.
Baca : Kala Indonesia Berupaya Akhiri Kongkalikong Korporasi Penghancur Hutan Papua
Di antara negara-negara ASEAN, Asia Tenggara dan Timor Leste, misalnya, hanya Indonesia yang menyediakan akses terhadap data pemilik manfaat secara terbuka kepada publik luas. Informasi ini dapat diakses secara langsung melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi :
Peraturan Presiden tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat 2018 di Indonesia mengatur bahwa semua perusahaan, tanpa terkecuali, baik yang sedang menjalankan bisnis maupun yang masih dalam proses pendaftaran sebagai badan hukum, diwajibkan untuk mengidentifikasi dan melaporkan pemilik manfaat mereka paling lambat pada bulan Maret 2019.
Ketentuan ini berlaku secara universal bagi semua perusahaan yang berdomisili di Indonesia dan harus diperbarui setiap kali ada perubahan pada pemilik manfaat atau setidaknya sekali dalam setahun. Untuk memastikan kepatuhan dan memperjelas persyaratan ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) juga telah mengeluarkan pedoman pelaksanaan pelaporan pemilik manfaat pada tahun 2019.
Pedoman ini berisi panduan yang lebih rinci dan praktis mengenai kriteria mendefinisikan seseorang sebagai pemilik manfaat, cara pelaporan dan pemutakhiran data pemilik manfaat, sehingga perusahaan dapat mematuhi regulasi dengan lebih baik dan transparan.
Saat ini informasi pemilik manfaat badan hukum yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM dapat digunakan untuk penguatan tata kelola dan akuntabilitas di berbagai sektor, termasuk sumber daya alam. Misalnya saja, di sektor pertambangan, peserta lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) juga diwajibkan untuk menyampaikan data pemilik manfaatnya.
Tidak hanya itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) juga mencatat dan membuka data pemilik manfaat, kepemilikan, dan pengurus kegiatan usaha pertambangan di dalam sistem informasi Minerba One Data Indonesia (MODI). Contoh sejenis ini seharusnya dapat ditiru oleh sektor lainnya yang penting, sehingga dapat menjadi uji akuntabilitas yang kritis untuk berbagai sektor sumber daya alam lainnya.
Bersambung…
Source : TI Indonesia
.