Connect with us

FEATURED

Negara Harus Jamin Kebebasan Berekspresi dan Kemerdekaan Berpikir

Published

on

Dok. Lukisan Pramoedya Ananta Toer (© JR Utami via Shutterstock) / Amnesty International

Membumi.com

Jakarta – Momen peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, pada 6 Februari 2025 kemarin, mustinya menjadi momentum untuk memastikan bahwa negara tidak lagi memenjarakan warga negara hanya karena berkarya atau bersuara secara damai seperti yang pernah dialami oleh Pram.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Pram adalah simbol kemerdekaan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya. Karya-karyanya pernah dibredel oleh negara sembari memenjarakan sastrawan besar Indonesia tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya, termasuk di Pulau Buru.

“Separuh hidup Pram dihabiskan di penjara, separuhnya lagi di luar penjara dengan stigma negatif yang tak berdasar. Kebebasan Pram saat itu bukan merupakan hadiah negara, tapi desakan banyak pihak yang menyuarakan pembebasannya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Perjuangan Pram adalah perjuangan meraih kehidupan manusia yang bermartabat dan memelihara kemerdekaan berpikir dan juga berkarya, tapi dirampas oleh negara,” kata Usman.

“Anak-anak muda menyukai dan terinspirasi oleh karya-karya Pram. Mereka harus terus melanjutkan perjuangan Pram dengan terus bersuara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Kebebasan Pram dirampas oleh negara. Ini menandakan betapa kuatnya menulis sebagai ekspresi dari kebebasan asasi yang mestinya dilindungi oleh negara,” tambah Usman.

Amnesty International adalah salah satu lembaga internasional yang aktif mengkampanyekan pembebasan Pram semasa pemenjaraannya di Pulau Buru.

Salah satu kampanye yang dilakukan Amnesty International adalah dengan memasukkan Pram dalam daftar prisoner of conscience atau tahanan nurani dalam Newsletter Amnesty yang berjudul Prisoner of Conscience pada edisi 12-19 September 1972.

“Newsletter tersebut memuat profil Pram sebagai tahanan nurani atau mereka yang dipenjara hanya karena bersuara secara damai,” kata Usman.

Dokumen tersebut berisi penjelasan mendalam terkait kasus yang dialami oleh Pram bersama bersama dengan prisoner of conscience lainnya dari Afrika Selatan, Spanyol, Taiwan, Kuba, Tanzania, Ceko, Paraguai Namibia, Turkiye dan Hungaria.

Pada tahun 1972, Amnesty mengirimkan surat kepada anggota gerakan Amnesty di seluruh dunia dan memasukkan kasus Pram sebagai kampanye utama organisasi tersebut.

Amnesty International mengupayakan pembebasannya dengan meminta ratusan ribu anggotanya di berbagai belahan dunia untuk mendasak pemerintah Indonesia membebaskan Pram. Pram akhirnya bebas pada tahun 1979.

Pram bahkan sempat akan dibunuh di luar hukum oleh negara selama menjalani masa tahanan di Pulau Buru. Pada saat Pram akan dibunuh, seorang tahanan politik lainnya memberitahu keluarga Pram untuk menyampaikan kabar tersebut kepada Amnesty International. Pram pada akhirnya selamat dari upaya pembunuhan di luar hukum tersebut.

Dalam sebuah wawancara dengan media massa, anak perempuan Pram Astuti Ananta Toer bercerita bahwa Basuki Effendy, seorang aktor-sutradara yang juga menjadi tahanan politik saat itu, memberitahu dia bahwa ayahnya mau dibunuh. Dia meminta agar Astuti segera menghubungi Amnesty International terkait rencana pembunuhan Pram tersebut.

Tak hanya dipenjara. Selama di Pulau Buru Pram juga dilarang menulis, setidaknya hingga tahun 1973. Akses kepada pensil, pulpen dan kertas dihilangkan. Amnesty International sempat mengirimkan mesin ketik ke Pulau Buru untuk Pram agar ia bisa kembali menulis.

“Amnesty mendapat informasi bahwa mesin ketik pertama yang diberikan oleh seorang filosof Perancis yaitu Jean-Paul Sartre kepada Pram rusak. Oleh karena itu Amnesty International mengirimkan mesin ketik kepada Pram yang waktu itu dibawa ke Pulau Buru melalui seorang petugas Palang Merah Internasional atau ICRC,” tambah Usman.

Pada saat itu hanya ICRC yang memiliki akses masuk ke Pulau Buru.

Lewat peringatan seabad lahirnya Pramoedya ini negara juga harus membebaskan semua tahanan yang dipenjarakan hanya karena ekspresi damainya termasuk mereka yang telah dijerat UU Pidana terjerat UU ITE, UU Penodaan Agama, UU Makar, maupun UU Pornografi.

Menurut data Amnesty International Indonesia, dari Agustus 2019 hingga April 2024 terdapat 128 tahanan nurani (PoC) dari 82 kasus di Indonesia.

“Hanya dengan membebaskan semua tahanan nurani, negara baru bisa dikatakan telah belajar dari masa lalu nya yang kelam. Kami akan terus menyuarakan pembebasan para tahanan nurani seperti yang pernah kami lakukan untuk Pram,” kata Usman.

“Meminjam pesan Pram, generasi muda saat ini juga harus adil sejak dalam pikiran dan harus terus menulis agar tidak hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Adil dalam pikiran dan aktif menulis untuk menegakkan hak asasi manusia di Indonesia,” tutup Usman.

Source : Amnesty International


.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *