Headlines
Amnesty Minta Kapolri Hentikan Penangkapan dan Kriminalisasi Pasca Demo Agustus 2025

Membumi.com
Jakarta – Terkait konferensi pers Kabareskrim Polri Komjen Syahardiantono pada rabu (24/9/2025) mengenai penetapan 959 tersangka terkait aksi kerusuhan dalam demonstrasi yang tersebar diberbagai daerah pada 25-31 Agustus 2025 yang lalu.
” Dari seluruh laporan tersebut, Polri telah menetapkan 959 tersangka. Dengan rincian 664 tersangka dewasa dan 295 anak,” kata Kabareskrim Polri Komjen Syahardiantono.
Terkait hal tersebut sebelumnya Amnesty International pada (13/09/25) sudah mengirim surat terbuka yang mengecam penangkapan sewenang-wenang dan kriminalisasi terhadap Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, staf Lokataru Muzaffar Salim; aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein; mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar; dan setidaknya tiga individu lainnya yakni Reyhan, FL, dan LF. Penangkapan dan kriminalisasi juga dilakukan Kepolisian Resor Kediri terhadap aktivis Kamisan Kediri, Saiful Amin.
Berdasarkan informasi Amnesty International, Bareksrim Polri menjemput paksa Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Syahdan Husein, Khariq Anhar, Reyhan, FL, dan LF di tempat masing-masing antara tanggal 1 – 2 September 2025. Sedangkan Saiful Amin ditangkap aparat Polres Kediri pada 2 September 2025 di tempat tinggalnya. Saat ini, polisi sudah menetapkan kedelapannya sebagai tersangka.
Polisi mengenakan berbagai tuduhan pidana mencakup Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang ujaran kebencian, serta Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Perlindungan Anak tentang larangan merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa, Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (1) dan/atau Pasal 48 ayat (2) jo. Pasal 32 ayat (2) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo. Pasal 35 UU ITE tentang pengubahan materi elektronik milik orang lain.
Selain itu, aparat kepolisian di berbagai wilayah Indonesia juga melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap setidaknya 3.192 orang terkait demonstrasi yang dilakukan antara tanggal 25 – 31 Agustus 2025.
Lebih lanjut Amnesty International menilai aparat kepolisian telah melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan mengabaikan prinsip peradilan yang adil (fair trial), misalnya adanya beberapa penangkapan tanpa surat perintah penangkapan, memaksakan proses BAP saat demonstran dalam kondisi kelelahan, dan penahanan serta penetapan tersangka tanpa proses penyidikan yang memadai sesuai KUHAP.
Beberapa contoh pengabaian prinsip fair trial, antara lain, pihak kepolisian melarang Delpedro untuk menghubungi keluarga dan pendamping hukum secara langsung . Mereka juga menggeledah kantor Lokataru tanpa ada surat penggeledahan yang ditunjukkan.
Salah satu bukti yang dijadikan alasan penangkapan Delpedro adalah unggahan media sosial Lokataru Foundation. Unggahan tersebut merupakan foto yang memuat informasi tentang nomor hotline posko aduan bagi pelajar yang mendapatkan sanksi karena mengikuti demonstrasi pada 28 Agustus 2025.
Unggahan tersebut bertuliskan “Anda pelajar? Ingin demo? Sudah demo? Diancam sanksi? Atau sudah disanksi? Kita lawan bareng! #jangantakut”. Unggahan ini jelas tidak menyalahi aturan hukum. Hal tersebut justru merupakan bentuk kebebasan berekspresi secara damai yang harus dilindungi karena hanya pemberitahuan kepada publik mengenai pembukaan posko aduan yang dilakukan oleh Lokataru sebagai lembaga pendampingan hukum yang menyediakan layanan gratis bagi para pendemo yang ditangkap.
Sementara dalam penangkapan yang dialami Khariq Anwar, polisi tidak menunjukkan surat tugas, tidak memberikan penjelasan dasar hukum, serta menggunakan kekerasan fisik. Selama pemeriksaan, Khariq tidak didampingi kuasa hukum dan dipaksa menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam kondisi kelelahan dan mengalami luka memar. Konten yang diunggah Khariq merupakan kritik satir yang diberi penjelasan “timpa teks”, namun dijadikan dasar kriminalisasi.
“ Kami mengingatkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, yang dalam Pasal 9 menegaskan larangan penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang. “
Penangkapan dan penetapan tersangka secara sewenang-wenang terhadap delapan orang tersebut merupakan pelanggaran kebebasan sipil. Tindakan ini berpotensi melanggengkan iklim ketakutan, swa-sensor, membatasi partisipasi publik, dan memperlemah perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia di Indonesia. Untuk itu, Amnesty International mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk :
1. Membebaskan delapan orang tersebut tanpa syarat, serta menghentikan seluruh proses kriminalisasi terhadap mereka;
2. Membebaskan seluruh tahanan yang ditangkap sewenang-wenang terkait unjuk rasa damai di berbagai wilayah di Indonesia;
3. Menghentikan penggunaan pasal-pasal bermasalah , termasuk Pasal 160 KUHP dan UU ITE, untuk membungkam kebebasan berekspresi, dan berkumpul secara damai;
4. Menjamin bahwa aparat kepolisian dalam setiap proses penyidikan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan internasional; dan
5. Memastikan perlindungan terhadap aktivis, mahasiswa, dan pembela HAM dari praktik intimidasi, kriminalisasi, maupun ancaman dalam bentuk apa pun.
Demikian surat terbuka tersebut disampaikan Amnesty Internasional Indonesia. Selain itu pihaknya menantikan langkah nyata dari Kepolisian Republik Indonesia untuk segera mengusut tuntas peristiwa tersebut.
Source : Amnesty International Indonesia
.
.
.
.