Connect with us

Headlines

Dianggap Inkonstitusional, 5 PSN Diuji Di Mahkamah Konstitusi

Published

on

Dok. Ilustrasi Simbol Keadilan / Istimewa

Membumi.com

Jakarta (23/09/2025) – Transparency International Indonesia (TI Indonesia) telah mengajukan Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi terkait perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

Dalam rilisnya TI Indonesia mengungkapkan bahwa Amicus ini disusun dengan berbasis kepada riset yang dilakukan oleh TI Indonesia selama kurun waktu 2023 – 2025 terkait Proyek Strategis Nasional (PSN). Adapun PSN yang dimaksud adalah ;

1. Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
2. Proyek Rempang Eco City.
3. Proyek Makan Bergizi Gratis.
4. Proyek Kawasan Industri Weda Bay (Indonesia Weda Industrial Park).
5. Proyek Kawasan Industri Takalar (KITA).

Lebih lanjut TI Indonesia tentu memahami tujuan pemerintah untuk mendesain PSN sebagai instrumen untuk mempercepat pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun dalam praktik implementasinya menunjukkan adanya masalah terkait tata kelola, ketidakadilan sosial, serta potensi beban fiskal jangka panjang yang perlu dikritisi.

Maka dari itu pengujian konstitusionalitas atas ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi dasar hukum status PSN semata-mata dilakukan agar setiap aktivitas pembangunan dalam bentuk apapun mesti memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas, keadilan, partisipasi publik, perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan.

“ Amicus ini diharapkan menjadi masukan bagi majelis hakim di Mahkamah Konstitusi dalam menilai apakah kebijakan yang melekat pada PSN benar-benar sejalan dengan prinsip konstitusional, atau justru berpotensi melemahkan fondasi negara hukum, demokrasi, dan perlindungan warga negara ”, ujar Danang Widoyoko, Sekjen TI Indonesia.

Karena itu TI Indonesia menyatakan bahwa terdapat beberapa persoalan yang mengemuka terkait PSN ;

Pertama, penetapan PSN seringkali dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Munculnya konflik sosial berkepanjangan dan penggunaan kekerasan dengan menggunakan aparat negara mengindikasikan bahwa proses konsultasi dan partisipasi publik sangat minim.

Label PSN seringkali digunakan sebagai tameng untuk melegalkan praktik pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Bahkan dalam banyak kasus ditemukan bahwa PSN selalu terafiliasi dengan kelompok elit politik dan oligarki.

Kedua, label PSN menjadi alat legitimasi negara untuk memberikan “privilege” kepada korporasi berupa kelonggaran regulasi, memotong rantai perizinan, keringanan pajak, jaminan ketersediaan lahan meskipun berhadapan dengan hak warga, hingga jaminan secara politik. Seluruh keistimewaan itu diberikan atas nama PSN meskipun seringkali mengabaikan prinsip-prinsip antikorupsi, partisipasi, dan keadilan.

Ketiga, PSN menjadi simbol kekerasan negara terhadap warganya. Praktik perampasan lahan dan ruang hidup warga dilakukan atas nama keberlangsungan PSN. Bahkan dalam kasus tertentu terjadi apa yang disebut sebagai “etnogenosida”, dimana Masyarakat adat dipaksa menyingkir dari tanah nenek moyang mereka demi PSN. Ketika terjadi perlawanan warga, upaya kriminalisasi dilakukan melalui tangan aparat penegak hukum dengan tuduhan menghambat investasi.

Keempat, penganggaran dan pengadaan “ instan ” seringkali dilakukan ketika negara ikut membiayai PSN. Pendanaan PSN melalui APBN dilakukan tanpa pengawasan yang memadai, baik dari sisi pengawasan politik, akuntabilitas keuangan maupun secara hukum. Aktivitas pengadaan yang diberi label PSN sudah pasti dilakukan dengan prosedur “pengadaan khusus” yang seringkali mengabaikan aspek-aspek keterbukaan, partisipasi, dan antikorupsi.

Kelima, beban ekonomi, sosial dan lingkungan jangka panjang tidak menjadi concern negara dalam penepatan PSN. Skema PSN telah menimbulkan beban jangka panjang bagi keuangan negara yang dapat mengancam keberlangsungan fiskal dan pemenuhan terhadap hak-hak warga. Apalagi jika dikaitkan dengan dampak sosial dan lingkungan yang akan terjadi dimasa depan.

Atas dasar kajian inilah, TI Indonesia mendukung pengujian terhadap UU Cipta Kerja yang menjadi alas hukum PSN. Pelaksanaan PSN tidak boleh semata- mata dijadikan instrumen percepatan pembangunan yang mengabaikan prinsip partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.

Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini tentu akan menjadi penanda penting arah pembangunan Indonesia ke depan: apakah tetap berpijak pada fondasi konstitusi dan prinsip negara hukum, atau justru memberi ruang bagi praktik yang berpotensi merugikan Masyarakat, lingkungan dan mengancam keberlanjutan negara.

Source : TI Indonesia

.

.

.

.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *