Entertainment
Diskusi Kebangsaan ke 2 Segera Digelar ! “ Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal ? “

Membumi.com
Bukit Tinggi – Menjawab berbagai pertanyaan dari sejumlah elemen masyarakat yang masih antusias dengan kelanjutan Diskusi Kebangsaan “ Matinya Otonomi Daerah “ yang kemudian bergulir ke gagasan perubahan sistem Berbangsa dan Bernegara yang selama ini bersifat Sentralistik kepada bentuk Negara Federal pada (08/10/25) yang lalu.
Sebagaimana telah disampaikan oleh Prof. Madya H. Husnu Abadi yang sebelumnya didapuk menjadi narasumber dalam Diskusi Kebangsaan yang dikemas secara terbuka mengenai langkah konkrit mewujudkan gagasan perubahan bentuk Negara dari Negara Kesatuan ke sistem Negara Federal disampaikan.
“ Soal ketentuan pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah dan secara spesifik melarang perubahan bentuk Negara Kesatuan. Tentunya Hal itu memerlukan perubahan Konstitusi, “ ungkap Husnu Abadi.
Profesor yang berlatar belakang Hukum Tata Negara ini juga mengatakan, bahwa hal tersebut terjadi karena dimasa lalu sistem Negara Federal itu didokrinkan berengsek, sebab terdapat pengaruh Belanda dalam sejarah pembentukan Indonesia Serikat (RIS).
“ Maka munculah doktrin ‘ Pokoknya NKRI harga mati titik. ‘ Bagi kaum akademis atau mengkin generasi sesudah itu, sistem Negara tidak bisa didoktrinkan seperti NKRI harga mati yang sampai hari kiamat itu, sebab lain generasi lain pulai responnya. Maka forum ini hadir untuk memberikan narasi – narasi yang lebih cair dan lebih terbuka dan tidak terbelenggu oleh doktrin – doktrin mati.
Lebih lanjut Husnu Abadi mengajak kita semua untuk belajar bahwa gagasan bentuk Negara Federal itu hadir menjadi solusi atas kondisi Bangsa dan Negara kita hari ini, semoga kita tidak terbelenggu dengan doktrin – doktrin mati yang mengakibatkan Bangsa dan Negara ini tidak maju dan berkembang.
“ Di Indonesia pasal 37 ayat (5) UUD 1945 mengatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan tidak boleh dirubah. Tapi kalau di Jerman justru bentuk Negara Federal itu yang tidak boleh dirubah. Mengapa ? Negara Kesatuan itu melahirkan Nazi Hitler yang tidak disukai rakyat Jerman, “ ungkap Prof. Husnu.
Prof. Madya Husnu juga mengungkapkan bahwa setelah 20 tahun reformasi bergulir lahirlah opsi perubahan sistem bernegara, karena Konstitusi Indonesia juga meniru Konstitusi Negara lain yang baik – baik. “ Contohnya Mahkamah Konstitusi kita sebelumnya tidak ada, sebab rezim Orde Baru sangat tidak menginginkan UU itu diuji. Namun begitu Soeharto tumbang, UU itu pantas dan layak diuji, “ ungkap Dosen Hukum Tata Negara ini menjelaskan.
Terpisah, Syaed Lukman selaku Pembina Forum Aspirasi Negara Federal Indonesia (FANFI) mengungkapkan sejarah Kongres Rakyat Riau (KRR) ke II dimana Federal salah satu opsi yang diinginkan masyarakat Riau yang dihadiri oleh 2023 delegasi, dari desa dan kelurahan, Kota Madya, utusan pelajar dan mahasiswa, utusan seniman dan budayawan, termasuk berbagai utusan organisasi baik dalam maupun luar negeri.
“ Hampir 25 tahun yang lalu, tepatnya pada 29 hingga 31 Januari tahun 2000, terdapat 3 opsi sistem bernegara yang ditawarkan, yaitu Negara Kesatuan, Federal dan Merdeka. Justru opsi yang dipilih oleh para utusan tersebut yang terbanyak adalah Merdeka, kemudian Federal dan terakhir Negara Kesatuan melalui Otonomi Khusus, “ ungkap Syaed Lukman menjelaskan.
Tokoh Federal ini juga menyayangkan bahwa setelah Kongres Rakyat Riau usai, tidak ada follow up, aspirasi seperti mati suri. Kemudian lahirlah aspirasi Otonomi Khusus seperti Aceh dan Papua yang dimotori almarhum Syarwan Hamid yang juga didukung para tokoh – tokoh Riau namun akhirnya digergaji oleh pusat satu persatu.
Mengutip warisan almarhum Prof. Dr. H. Tabrani Rab sang deklarator Riau Berdaulat untuk generasi penerus sesudahnya, sebagaimana disebutkan bahwa, “ ketidakadilan, dimana Riau dieksploitasi habis habisan dapat menimbulkan kesadaran akan pentingnya kedaulatan dikemudian hari, dan agar orang Riau menyadari betapa pentingnya suatu harga diri berapapun nilai yang harus dibayar untuk itu, “ sebutnya dalam Buku Merah fragmen autobiografinya.
“ Sekarang, tak jelas lagi nasibnya. Makin hari Negara Kesatuan terasa tidak sesuai lagi dengan dasar Negara Pancasila terutama (Sila ke 3 Persatuan Indonesia). Maka sistem Federal lebih pas dengan Pancasila, yang membuat daerah lebih bisa menentukan nasibnya sendiri, bukan seolah dikuasai bahkan lebih tepatnya seperti dijajah oleh segelintir penguasa pusat, “ ungkap Syaed Lukman.
“ Alhamdulillah semakin hari dukungan terus bertambah, termasuk dari berbagai daerah. Saat ini kita masih dalam tahap Konsolidasi menyambut Aspirasi Negara Federal Indonesia, dan untuk yang masih berpaham Sentralistik kami siap untuk adu argumentasi mana yang lebih baik. Insyaallah Diskusi Kebangsaan ke 2 yang akan ditaja dalam waktu dekat, “ sebut Syaed Lukman menjelaskan
Diakhir keterangannya Tokoh Federal Indonesia ini mengajak kita untuk bersama wujudkan Indonesia yang lebih baik, lebih berkeadilan, lebih makmur tanpa penindasan sesuai dengan cita – cita Konstitusi kita, sebut Syaed Lukman menutup keterangan persnya pada (17/10/25).
.
.
.
.
.