OPINI
Jadi Ladang Berbagai Skandal Korupsi, PHR Lebih Baik Diusir dari Riau

.
Walaupun masih misteri dan penuh tanda tanya berdasarkan hasil penelusuran bahwa realisasi lifting minyak dan gas bumi di Provinsi Riau selama 2023 mencapai 181.650 barel oil per hari (barel oil per day/BOPD) lebih atau telah menyumbang sebesar 30 persen dari lifting nasional.
Sesuai dengan SKK Migas, disebutkan bahwa Provinsi Riau selalu menjadi backbone produksi Migas teratas dengan capaian produksi minyak sekitar 30% nasional dengan aktifitas pengeboran masif sebanyak 606 sumur pengeboran, mencapai sekitar 60% target nasional.
Tah iyo tah tidak, amin kan ajelah dulu data tu, yang jelas bende tu tak pernah diaudit secara independen.
Bahkan sangking besarnya hasil yang dikeruk pusat dari bumi Riau ini, pada 2022 Dirut Pertamina pernah menyebut bahwa wilayah kerja Blok Rokan telah menyumbang penerimaan negara melalui PNBP dan pajak sekitar 30 Triliun setelah satu tahun alih kelola dari Chevron. Catat ya, Itu baru pajak saja.
Sementara berdasarkan penelusuran Dana Bagi Hasil (DBH) yang akan didapat se Provinsi Riau untuk tahun 2025 hanya 2,63 Triliun, saye ulang balek, hanya 2,63 Triliun, padahal total produksi 180.000 barel / hari, atau sekitar 65.700.000 barel / tahun kalau dikalikan Rp. 990.000 harga per barel pendapatan kotor atas penjualan minyak Riau sekitar 650 Triliun lebih / tahun.
Itu belum dihitung dengan pajak dari hasil Sawit, Batu Bara, Emas dan Pelabuhan Dumai dan lain lain. Apakah pantas dengan pembagian segitu ? Apakah betul Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ?
Sementara nasib saudara mare kita di Selatpanjang, yang berharap akan bagi hasil PI 3 persen sebagaimana kesepakatan yang diteken antara Pemkab Meranti dengan konsorsium PT RPMS dan PT ITA pada (07/02/25) kemarin nyatanya kuncup sebelum berkembang alias amsiong kate Koko, ape tidak kate Yong.
Sementara nasib proses belajar mengajar 787 siswa sekolah legend SMAN 1 Selatpanjang yang pada (30/9/2025) kemarin hangus terbakar, menurut pemerhati arah peradaban Indonesia diprediksi akan dilakukan perbaikan jauh lebih lambat dari kecepatan kapal jelatik yang melaju hanya 1 km / 2 jam.
Disisi lain gaji guru bantu di Inhu 5 bulan tak dibayar bayar hingga akhirnya berhutang. Untuk menutupi utang tersebut, para guru bantu harus meminjam uang dari teman maupun saudara yang kemudian dihadapkan pada tekanan untuk segera mengembalikan pinjaman tersebut. Nasiblah.
Bahkan Ketua Komisi III DPRD Riau Edi Basri pada (6/5/2025) mengatakan bahwa kondisi jalan Provinsi Riau sekarang memerlukan biaya perbaikan dengan perhitungan sekitar 22 Triliun.
Jadi kalau Dirut Pertamina kemarin melaporkan ade temuan cadangan Migas baru di Wilayah Kerja (WK) Rokan yang diperkirekan memiliki total cadangan sebesar 724 juta barel setara minyak (BOE) sebagaimana disampaikan dalam RDP dengan Komisi VI di Gedung DPR RI pada (11/9/2025) yang lalu, bagi kami itu bukan kabar gembira.
Sebab apa ? semenjak Chevron cek out, berbagai skandal korupsi mulai menyeruak, seperti tender Supply Geomembrane dengan nilai proyek ratusan miliar rupiah, skandal korupsi Tender Construction Services Work Unit Rate Earthwork (CS WUR EW) – Non Well Development General Package hingga triliunan rupiah, skandal pengadaan mobil disinyalir cacat prosedur.
Bahkan lebih parahnya lagi jika dulu dizaman Chevron kontraktor bisa langsung berurusan, sekarang dizaman PHR para kontraktor disebutkan harus menjadi sub kontraktor dari anak usaha BUMN dulu, semakin suram kate Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman (5/11/2022).
Maka dengan berbagai fakta itu, kate kawan saye kehadiran PHR lebih tepat disebut Penjajah yang bergelimang dengan berbagai skandal korupsi ! jika kehadiran perusahaan plat merah ini tak bermanfaat membantu berbagai persoalan keuangan di Riau, maka lebih baik PHR lekaslah berambus dari Riau, sebelum kenak Nepal kan orang.
Penulis : Said Lukman – Pembina Forum Aspirasi Negara Federal Indonesia.
.
.
.
.
.