Headlines
Hakim Tetap Putuskan Menolak Prapradilan Khariq Anhar Cs

Membumi.com
Jakarta – Menanggapi vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas permohonan praperadilan sejumlah aktivis atas tindakan hukum Polda Metro Jaya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan :
“ Hakim tunggal praperadilan di PN Jakarta Selatan kurang adil dalam menimbang bukti-bukti yang diajukan para tersangka. Hakim juga kurang memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Putusan ini dapat menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Hakim itu pengawas terakhir atas dugaan adanya proses hukum yang menyalahi asas peradilan yang adil.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengungkap banyak pelanggaran prosedur, dari penetapan tersangka tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hingga penyitaan tanpa izin pengadilan.
Fakta-fakta ini seharusnya cukup menjadi dasar hakim untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun, hakim justru memperkuat pengabaian prinsip due process of law. Penolakan ini memperlihatkan represi negara atas aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat. Padahal itulah hak asasi yang dijamin UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM. Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara. Polisi harus segera menghentikan proses hukum atas seluruh aktivis yang ditangkap hanya karena bersuara secara damai saat aksi demo Agustus lalu.”
Latar belakang
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang putusan praperadilan hari ini (27/10) menolak permohonan empat aktivis yang ditangkap pasca-aksi massa di akhir Agustus 2025. Para aktivis itu adalah Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim (dua pegiat HAM dari Lokataru Foundation), Syahdan Husein (aktivis Gejayan Memanggil), dan Khariq Anhar (aktivis Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau).
Hakim juga menolak permohonan praperadilan terkait sah atau tidaknya penyitaan, demikian pantauan Amnesty International Indonesia di PN Jakarta Selatan.
Keempat aktivis tersebut mengajukan praperadilan sebagai pihak pemohon untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya, sebagai pihak termohon, dalam kasus dugaan penghasutan berkaitan dengan unjuk rasa yang berujung kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) sebagai kuasa hukum para aktivis, membeberkan beberapa pelanggaran prosedur oleh kepolisian dalam menangkap dan menahan para aktivis tersebut. Di antaranya, penetapan tersangka oleh polisi tidak sah karena keempat aktivis itu tidak pernah diperiksa sebagai “calon tersangka,” sebagaimana merupakan syarat penetapan tersangka dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Lalu tidak sahnya polisi melakukan penyitaan barang-barang milik para aktivis karena dilakukan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. TAUD juga mendapati tidak sahnya penangkapan para aktivis tersebut karena mereka sebelumnya belum pernah dipanggil atau diperiksa polisi.
Menurut pantauan Amnesty, sidang putusan praperadilan empat aktivis tersebut digelar terpisah. Pagi hari, hakim memberi putusan atas permohonan Khariq Anhar, lalu dilanjutkan pada siang hari atas permohonan Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, dan Syahdan Husein.
Suasana sidang praperadilan Khariq pagi tadi sempat ricuh saat petugas keamanan pengadilan berupaya melarang pengunjung di luar ruang sidang membentangkan poster-poster dukungan bagi para aktivis. Tampak pula seorang polisi berseragam merebut selembar poster, lalu melemparnya sambil berteriak “ Ambil, Ambil ! ” Hal tersebut mengundang protes dari para pengunjung.
Setelah hakim memutuskan menolak permohonan mereka, kini keempat aktivis tersebut tetap berstatus tersangka kasus dugaan penghasutan terkait aksi unjuk rasa dan harus menjalani proses hukum selanjutnya. Amnesty International Indonesia mencatat, keempat aktivis yang mengajukan praperadilan tersebut merupakan bagian dari 12 aktivis yang ditahan sebagai tersangka kasus penghasutan pasca-demo akhir Agustus lalu.
Sebagai tersangka, para aktivis dijerat Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Source : Amnesty Internasional Indonesia
.

.

.

.





