Jakarta – Bicara tentang revisi UU ITE, YLBHI memandang bahwa DPR dan Pemerintah telah gagal dalam merevisi secara demokratis. Kedua Institusi tersebut tidak mau belajar dari kesalahan dalam praktik menyusun dan merevisi UU yang elitis.
Karena tertutup, tidak transparan dan akuntabel dengan mengabaikan partisipasi masyarakat yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi, sebagaimana disampaikan dalam rilies (6/12/23).
Ironisnya, sampai dengan saat di sahkan pada paripurna DPR 4 Oktober 2023 yang lalu, publik tetap tidak dapat mengakses dokumen resmi RUU tersebut. Situs resmi DPR bahkan tidak menyediakan informasi yang dimaksud dari awal hingga pengesahannya.
Merujuk pada pemberitaan media dan sumber terbatas lainnya terkait materi revisi, YLBHI melihat masih dipertahankannya pasal bermasalah dalam revisi UU ITE, diantaranya Pasal 27 ayat (3) yang mestinya terdapat pengurangan hukuman untuk pencemaran nama baik dan dirumuskan menjadi delik aduan absolut.
Juga soal ditambahkannya pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja yang sebelumnya juga terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Termasuk pengaturan Pasal 40 yang berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik.
YLBHI juga menyebut bahwa kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal tersebut dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik.
Dengan masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE tersebut, tentu menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada didalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara.
Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk menghapus pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
YLBHI mencermati bahwa masih terdapat pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Diantaranya pasal 26, pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), pasal 29, Pasal 36, pasal 40 ayat (1) dan (2), dan pasal 45 terkait pemidanaan.
Sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran Hak Kebebasan Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat.
Diantaranya kasus-kasus tersebut adalah Pemutusan Ilegal oleh Kemenkominfo terhadap akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktifis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua.
Dari seluruh kasus tersebut YLBHI menilai, bahwa UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis.