Headlines

Jelang Satu Dekade Jokowi, Persoalan HAM Stagnan Tanpa Kemajuan (I)

Bukan saja soal demokrasi yang telah dicederai, namun negara juga tengah melakukan pembangkangan pada nomokrasi.

Published

on

Images " Ilustrasi Kekerasan dalam Kerusuhan Pemilu 2019 "

Membumi.com

Jakarta – Dalam rilies yang diterbitkan Setara Institute (10/12/23) yang lalu disebutkan, bahwa pemenuhan hak atas tanah, jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hal yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi yang hampir menuju satu dekade.

Jika membandingkan rata-sata skor nasional sejak 2019, data SETARA Institute menunjukkan bahwa kepemimpinan Jokowi tidak pernah mencapai angka moderat yakni 4 dengan skala 1-7. Di tahun 2019 skor Indeks HAM sebesar 3,2, lalu 2020 di angka 2,9, tahun 2021 di angka 3, tahun 2022 di angka 3,3 dan di tahun 2023 ini kembali turun menjadi 3,2.

Memasung Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Disebutkan juga bahwa terjadi pengkerdilan ruang – ruang sipil yang semakin masif terefleksi pada skor indikator kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang selalu menjadi indikator dengan skor paling rendah di tiap tahunnya, bahkan selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun, termasuk di tahun ini yang mengalami penurunan tajam skor sebesar – 0,6 dibanding pada Indeks HAM 2019.

Kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik, hingga kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender adalah rentetan peristiwa yang selalu dijumpai sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, dengan kecenderungan jumlah kekerasan yang terus meningkat dari tahun 2014 hingga 2023.

Baca : Kontras: Ada 45 Tindakan Represif Polisi Saat Aksi Massa, Mayoritas Korban Mahasiswa

Kekerasan terhadap jurnalis pada pemerintahan Jokowi yang mencapai 81 kasus di tahun 2016 dan 84 kasus di tahun 2020 sebagai puncak dari pemasungan kebebasan. Pasal karet dalam UU ITE menjadi alat pembungkaman terhadap suara-suara yang vokal dan kritis terhadap jalannya pemerintahan.

Bahkan sejak UU ITE disahkan di tahun 2008, kriminalisasi berdasar UU ITE paling banyak ditemukan di tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, yaitu sebanyak 97 kasus di tahun 2022. Represifitas terhadap massa yang berekspresi melalui demonstrasi juga masih sangat masif ditemukan.

Kriminalisasi masyarakat adat Poco Leok di Manggarai, represi terhadap masyarakat Rempang, hingga kriminalisasi petani di Air Bangis menjadi potret pemberangusan freedom of expression di balik beragam eksekusi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan pemerintah.

Selain itu SAFEnet (2023) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah UU ITE. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat menjelang momentum politik Pemilu 2024.

Baca : KOALISI SERIUS Mendesak Penundaan Pengesahan Revisi Kedua UU ITE

Merusak Demokrasi, Mengabaikan Nomokrasi

Selain hal tersebut, skor pada indikator hak turut serta dalam pemerintahan di tahun 2023 mengalami regresi yang sangat signifikan, menurun sebesar -1,0 dibanding dengan skor pada Indeks HAM 2019 dan – 0,6 apabila dikomparasikan dengan skor tahun lalu.

Disrupsi legislasi dan autokratik legalisme yang dipraktikkan sepanjang empat tahun terakhir telah merampas ruang partisipasi yang berkualitas.

Presiden Jokowi pada 31 Maret menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Alih-alih membuka proses deliberatif dalam rangka meaningful participation bagi masyarakat luas untuk melakukan perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden justru membuat Perppu untuk untuk menyiasati Putusan MK tersebut.

Setara Institute mengartikan, Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sengaja dibuat Presiden Jokowi untuk menghindari aspirasi demokrasi di balik dalih kegentingan memaksa.

Kualitas partisipasi juga dilangkahi oleh lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi, yang melahirkan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Kritik masif dari masyarakat luas terhadap MK untuk bersikap adil dan konstitusional dalam memutus perkara No. 90/PUU-XXI/2023 telah diabaikan.

Baca : KPU Didesak Tunda Terima Pendaftaran Prabowo-Gibran

Mengabaikan suara publik adalah sama dengan mematikan ruang partisipasi. Kondisi demikian mempertontonkan bahwa bukan saja soal demokrasi yang telah dicederai, namun negara juga tengah melakukan pembangkangan pada nomokrasi.

Derogasi terhadap hak turut serta dalam pemeritahan juga tergambar dalam proses elektoral menuju Pemilu 2024.

Sekalipun secara nasional keterwakilan perempuan dalam calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari seluruh parpol telah di atas 30%, namun pada faktanya, dari 84 dapil anggota DPR dan 18 partai politik peserta pemilu, hanya satu parpol yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% pada semua daftar caleg tetap (DCT) di 84 dapil.

Sementara, 17 parpol lainnya tidak mencapai syarat 30% pada seluruh DCT di 84 dapil (Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, 2023).

Fakta ini merefleksikan bahwa syarat minimal 30% keterwakilan perempuan hanyalah retorika semata dan hanya sebagai alat checklist pelibatan perempuan,  namun tidak sungguh-sungguh memberikan ruang partisipasi substantif bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar diakomodir dalam berbagai rencana kebijakan yang akan dirumuskan di parlemen.

Source : SETARA Institute for Democracy and Peace & International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Bersambung…

.

.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version