Headlines

UU KSDAHE, Komitmen Semu Konservasi Alam dan Pelindungan Masyarakat Adat

Kita menghadapi ancaman krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati

Published

on

Dok. Ilustrasi Hutan / Pixabay

Membumi.com

Jakarta (11/7/24) – Greenpeace Indonesia menilai ada sederet masalah dalam proses formil maupun substansi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 9 Juli lalu. Secara formil, proses pembahasan rancangan UU KSDAHE sangat minim pelibatan masyarakat.
 
“Pembahasan rancangan UU KSDAHE tak berjalan transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan untuk memonitor prosesnya. Pemerintah dan DPR patut ditengarai telah mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Secara substansi, UU KSDAHE juga bermasalah. Undang-Undang Konservasi ini masih menggunakan paradigma lama yang mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pelindungan ekosistem. Pemerintah dan DPR tak mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar memastikan adanya pengakuan, partisipasi, dan pelindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam UU KSDAHE.

Kendati ada pasal yang menyebut peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, proses itu tampaknya hanya dipandang sebagai formalitas belaka. Proses penetapan kawasan konservasi dalam UU KSDAHE bersifat sangat sentralistik karena berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.

Hal ini amat berpotensi memicu konflik dengan masyarakat setempat yang kehilangan ruang hidup dan tempat beraktivitas. Watak yang sentralistik ini diperparah dengan pasal-pasal sanksi pidana dalam UU KSDAHE terhadap perorangan, yang berpotensi menambah deret panjang kriminalisasi warga.

Prinsip konservasi seharusnya mengacu pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity)–yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dalam UU Nomor 5 Tahun 1994. Konvensi ini mengatur bahwa negara mestinya mengakui ketergantungan yang erat dan berciri tradisional sejumlah masyarakat asli dan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Poin bermasalah lainnya dalam UU KSDAHE adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk beberapa hal, seperti panas bumi dan karbon. Ini jelas kontradiktif dengan tujuan konservasi sumber daya alam demi menyelamatkan keanekaragaman hayati tersisa. Sistem operasional ekstraksi panas bumi sangat berisiko, berpotensi mencemari dan merusak lingkungan, dan mengganggu ekosistem dalam area hutan.

“Pembangkit terbarukan skala besar, termasuk hydro dan geothermal, membutuhkan pengawasan yang jauh lebih ketat mengenai analisis risiko dan dampak sosial, ekonomi serta lingkungannya. Pembangunan pembangkit panas bumi yang berada di kawasan taman nasional, hutan lindung, dan masyarakat adat serta area yang berpotensi besar menimbulkan konflik sosial membawa dampak yang jauh lebih besar daripada manfaatnya. Padahal transisi ke energi terbarukan harus memastikan aspek keadilan dan keberlanjutan,” kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Adapun pemanfaatan jasa lingkungan berupa karbon jelas mengindikasikan niat pemerintah berbisnis karbon. Ini memungkinkan perusahaan pencemar lingkungan melakukan praktik greenwashing dengan menggunakan uangnya untuk bisnis konservasi. 

UU KSDAHE juga tak akan cukup untuk mencapai target 30×30 guna melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada 2030, yang telah disepakati dalam Kerangka Kerja Biodiversitas Kunming-Montreal 2022. Apalagi substansi UU KSDAHE juga masih cenderung bias darat, misalnya dalam pengaturan tentang area preservasi yang tidak memasukkan pelestarian di area laut. 

Padahal hingga 2020, lebih dari 54 persen kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung, tapi baru 8,7 persen kawasan penting laut yang telah dilindungi secara hukum. Pemerintah Indonesia berencana menambah luasan kawasan lindung laut hingga 32,5 juta hektare pada 2030 dan secara bertahap menjadi 30 persen di tahun 2045. 

“Kita menghadapi ancaman krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, tapi pemerintah dan DPR masih saja bermain-main dengan komitmen pelindungan lingkungan yang sifatnya semu,”

Sekar Banjaran Aji. 

.

Source : greenpeace indonesia

.

.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version