Connect with us

OPINI

Menyoal Defisit Moral Sektor Pendidikan di Riau

Published

on

Dok. Fari Suradji, Pemerhati Sektor Pendidikan di Provinsi Riau

.

Kalau memaknai peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 yang hanya diisi dengan sekedar ucapan dan tampilan baliho saja, maka lebih baik kedepan kita ganti dengan mengheningkan cipta, sebab kondisi pendidikan saat ini wabil khusus di Riau, lebih tepat kita sebut juga dengan Defisit. Kok bisa ?

Berdasarkan hasil rekap survey Tim Perduli Pendidikan Riau, terungkap sejumlah persoalan yang terjadi berdasarkan sidak dengan menggunakan sistim empiris yang dilakukan pada 17 Kepala Sekolah SMA/SMK Negeri dan Swasta, Guru sebanyak 15 orang dan masyarakat 45 orang yang siswa – siswi nya yang tersebar diberbagai Kelurahan di Kota Pekanbaru.

Dimana lebih dari 70 persen hasil survey disektor pendidikan tersebut meminta untuk dilakukannya perubahan total, dengan berbagai alasan kekecewaan, baik tenaga pendidik maupun masyarakat dengan alasan seperti yang dikeluhkan dalam masalah PPDB, gaji guru honor yang tidak menentu, masalah kebutuhan infrastruktur sekolah baru dimana siswa baru terus bertambah, namun fasilitas pendidikan masih terbatas, hingga temuan masalah moral.

Temuan yang paling mengejutkan dalam survey yang dilakukan mulai akhir tahun 2024 hingga awal tahun 2025 tersebut terkuak sebuah fakta penggunaan handphone oleh siswa – siswi bahwa 80 persen hasil survey menyatakan siswa siswi tersebut mengakses situs porno diluar jam pelajaran atau pas “cabut ” sekolah.

Persoalan moral ini kemudian terkuak dalam beberapa kasus yang sempat heboh, diantaranya persetubuhan tidak bermoral oleh para pelajar yang dilakukan bersama salah seorang siswi di Kabupaten Rokan Hulu, dan hubungan antar sesama jenis yaitu guru wanita berpacaran bersama guru wanita di Pekanbaru dan kelompok siswa pelajar LGBT.

Disisi lain walaupun menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Riau tahun 2022 angka anak putus sekolah pada level SMA sederajat saja tercatat sangat fantastis sebanyak 123.240 anak, menurut data BKKBN justru terdapat 167.222 anak putus sekolah by name by address. Yang kemudian saya kategorikan dalam 5 penyebab utama yaitu, masalah ekonomi, lingkungan, geografi, nenikah dini dan soal wawasan pendidikan yang rendah.

Jadi memang benar kata pepatah orang tua tua Melayu, ” lain hulu lain ikannya, ” beda daerah beda pulak masalahnya. Sayapun kemudian teringat disaat mendampingi kawan – kawan aktivis Pendidikan yang turun ke Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis dalam program kejar mutu pendidikan di Provinsi Riau dimasa Pandemi Covid 19 beberapa tahun yang lalu.

Dimana ditengah berbagai keterbatasan, akhirnya kami berfoto bersama sejumlah anak – anak suku akit yang rambutnya pirang alami akibat sering menemani orang tuanya ke laut, lengkap dengan latar belakang sekolah reot yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk dengan bendera merah putih usang yang berkibar setengah hati ditengah lapangan.

Berbagai persoalan itu bukannya tidak pernah saya sampaikan langsung kepada Gubernur Riau terpilih, yang dalam pikiran saya waktu itu seharusnya dapat menjadi bahan bakar gebrakan di 100 hari pertamanya. Namun persoalan tersebut sepertinya tenggelam bersama isu Defisit Anggaran yang kontroversial itu.

Jadi Pak Gubernur, bicara soal Isu defisit anggaran Pemprov Riau yang menjadi trending topik itu, tentunya akan berimbas kebanyak sektor, termasuk sektor pendidikan sebagaimana yang saya sampaikan diatas. Namun terkait kebijakan perbaikan sejumlah jalan di Riau yang konon bernilai fantastis itu sebaiknya kita tunggu hasil audit BPKP, termasuk hutang BUMD yang menurut info orang dalam nilainya Rp. 3,5 Triliun itu.

Fari Suradji : Pemerhati Pendidikan Riau
.

.

.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *