Entertainment

Pengakuan Agus Rahardjo Menyingkap Dugaan Intervensi dalam Kasus E – KTP

Dugaan tindakan ” Obstruction of Justice ” ini adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Published

on

Agus Rahardjo Images Ilustrations

Membumi.com

Jakarta (2/12/23) – Dalam rilies yang keluarkan YLBHI terkait pengakuan Agus Rahardjo, Ketua KPK periode 2015-2019 dalam program wawancara Rosi di Kompas TV (1/12/23) yang lalu disampaikan bahwa Presiden Joko Widodo diduga pernah memerintahkan KPK untuk menghentikan kasus korupsi E-KTP.

Pernyataannya tersebut menyingkap dugaan kuat adanya intervensi Presiden Joko Widodo atas penanganan kasus mega korupsi E-KTP oleh terpidana Ketua mantan DPR RI Setya Novanto beserta berbagai politisi dan pengusaha.

Jika ini benar, maka patut diduga bahwa Presiden Jokowi melakukan penghalang – halangan penegakan hukum (Obstruction Of Justice) terhadap kasus tindak pidana korupsi.

Tindakan Presiden Jokowi yang diduga menghalang – halangi penyidikan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana serius. Sebagaimana pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa Obstruction of Justice adalah,

” Tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. “

Baca : Sosok Agus Rahardjo Eks Ketua KPK yang Bongkar Intervensi Jokowi di Kasus Setya Novanto

Hal ini diduga merupakan tindakan penghinaan pada pengadilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum. 

Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus E-KTP yang merugikan negara sebanyak Rp 2 triliun. Maka, seiring dengan terbukanya kasus ini, KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait adanya dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam Korupsi E–KTP.

Dugaan tindakan ” Obstruction of Justice ” ini adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Terlebih jika hal tersebut diduga dilakukan secara langsung oleh Presiden sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan, maka perbuatan tersebut dapat mengarah pada pelanggaran Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945, yaitu,

“ Melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan / atau pendapat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ” 

Baca : Agus Rahardjo Diadukan ke Bareskrim, Jokowi: Saya Belum Tahu

Pengakuan Agus Raharjo ini juga menyingkap dugaan upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Sebagaimana diketahui bahwa pelemahan dan penghancuran KPK secara konsisten diduga telah dilakukan sejak Presiden Jokowi berkuasa, diantaranya,

Pada 2015 terjadi kriminalisasi para pimpinan KPK (Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan puluhan penyidik) namun Presiden mendiamkan, kemudian pada 2017 terjadi penyerangan Novel Baswedan dan Angket KPK oleh DPR yang sangat erat kaitannya dengan Kasus korupsi E-KTP.

Pada 2019 Presiden Jokowi mengangkat Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang diduga bermasalah yang sejak awal dikritik keras oleh masyarakat sipil, mereka adalah: Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H. ditunjuk sebagai Ketua merangkap anggota dan Prof. Dr. Indriyanto Senoadji, S.H., M.H. sebagai Wakil Ketua merangkap anggota. 

Sedangkan ketujuh anggota lainnya adalah Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Hamdi Moeloek, Dr. Diani Sadia Wati, S.H., LL.M., Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H., Hendardi, S.H., dan Al Araf, S.H., M.T.

Pansel inilah yang akhirnya meloloskan Irjen. Firli Bahuri, Lili Pintauli dan calon-calon Pimpinan KPK yang diduga bermasalah dan diserahkan ke Presiden RI.  

Atas nama-nama tersebut kemudian Presiden Jokowi menyetujui, walaupun publik menolak dan KPK sudah mengingatkan kepada Pansel dan Presiden untuk menyerahkan ke DPR terkait pelanggaran etik berat Firli Bahuri selama menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK agar dikembalikan ke Institusi asalnya. 

Baca : Soal Rekaman Pelemahan KPK, Ini Penjelasan MK

Pada 2019 Presiden Jokowi juga menyetujui Revisi UU KPK dengan mengirimkan Surat dan mengirimkan Menterinya untuk membahas Revisi UU a quo.

Pembahasan Revisi UU KPK yang sangat kilat, tertutup, bahkan tidak melibatkan KPK sebagai pelaksana UU ini. Kemudian diusulkan oleh 6 anggota DPR sebagai UU Usulan DPR pada tanggal 3 September 2019, dan kemudian disepakati di Paripurna pada tanggal 17 September 2019, semuanya hanya dalam waktu 12 hari proses. 

Gelombang Aksi besar penolakan dari segenap elemen masyarakat sipil tidak menggoyahkan Presiden Jokowi dan DPR untuk menghentikan pembahasan. Setelah disahkan, para tokoh senior anti korupsi bertemu dengan Presiden Jokowi dan diberikan harapan akan ada PERPU, tapi itu harapan itu tidak pernah terwujud.

Pada 2021 terjadi pemberhentian yang diduga illegal kepada 75 lebih Pegawai KPK berintegritas dengan dalih tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan untuk menjadi Aparat Sipil Negara (ASN), tes yang dibuat-buat itu diduga hanya untuk menyingkirkan para pegawai yang Jujur, berani, berintegritas dan terbukti berani mengungkap kejahatan-kejahatan korupsi yang besar tanpa pandang bulu.

Dalam rilies tersebut juga disampaikan bahwa hingga saat ini, Harun Masiku dibiarkan bebas dan tidak juga ditangkap, yang mana diduga akan menyeret nama-nama politisi lain yang lebih besar dari partai politik penguasa. 

Kemudian pada 2022 komisioner KPK Lili Pintauli melanggar etik akibat menerima gratifikasi namun tidak dipecat. Dan pada 2023 terjadi perpanjangan masa jabatan KPK yang seharusnya sudah ada pemilihan melalui putusan MK yang diduga bermasalah, hingga persoalan yang baru – baru ini terjadi, yaitu penetapan tersangka terhadap mantan Ketua KPK Firli Bahuri karena diduga melakukan pemerasan dalam kasus SYL.

Baca : Ternyata Ini Alasan Dewas KPK Tak Lapor Pidana Dugaan Gratifikasi Lili

Terhadap seluruh rangkaian peristiwa pelemahan dan penghancuran KPK tersebut, maka YLBHI berpendapat penting untuk segera dilakukan upaya hukum terhadap Presiden Jokowi dan juga Pemulihan kembali Institusi KPK agar menjadi Independen. 

Atas dasar tersebut YLBHI menuntut agar pengusutan tuntas kasus korupsi E – KTP,  terlebih dengan temuan baru yang diduga melibatkan Presiden Jokowi, agar dilakukan Penyelidikan dan Penyidikan terkait tindak pidana Obstruction Of Justice.

YLBHI juga menuntut kepada MPR / DPR untuk menetapkan Presiden Jokowi yang diduga sudah melakukan perbuatan tercela, diproses melalui DPR kemudian ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

YLBHI juga meminta agar tidak memperpanjang jabatan Pimpinan KPK periode ini, dimana seharusnya sudah ada pemilihan, dan mengembalikan Independensi, Kekuatan, dan posisi KPK, yaitu dengan mengembalikan UU KPK ke UU sebelumnya.

YLBHI juga menuntut agar menetapkan seluruh kebijakan yang dikeluarkan Firli Bahuri bersama dengan pemerintah, seperti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diduga merupakan produk cacat hukum dan harus dibatalkan, serta memandang kecacatan tersebut diduga bersumber dari Kebijakan Pemerintah Jokowi.

Source : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

.

.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version