Business

Diskusi Film di Huma Art Centre, Ini kata Sha Ine Febriyanti

” Karya film tidak lagi ditempatkan diruang khusus, tapi dapat menjadi bagian dari gaya hidup. Sebagai tontonan luar yang masuk diruang publik dengan gaya hidup yang sama sekali baru “

Published

on

Images : Sha Ine Febriyanti dan KAV 22

Membumi.com

Jakarta – Bertempat di Huma Art Centre, Jagakarsa Jakarta Selatan jum’at (13/10/23), acara Diskusi Film yang ditaja secara daring oleh sebuah komunitas film independen yang bernama KAV 22 dan disimak dari berbagai penjuru Indonesia. Dibuka dengan karya film pendek ” Tuhan pada jam 10 malam. “

Hadir dalam diskusi ini beberapa insan perfilman, baik aktor, sutradara, maupun Direktor Of Photography (DoP) antara lain Aria Kusumadewi, Effi Zen, Ensadi Djoko Santoso, Bernhard Uluan, Karsono Hadi, Maruli Ara, Depi Herlambang, Guntoro Sulung, Didien Rochidien, Edward AN, Maya Azzezah, Vivie Mis Royani dan sejumlah seniman film lainnya.

Dalam diskusi tersebut, Kiki Natez selaku moderator mengungkapkan bahwa karya film abad ini tidak lagi menjadi suatu upacara besar. Film bisa dikelola oleh kelompok – kelompok kecil yang lebih demokratis, yang mana komunitas film bisa merupakan gerakan budaya tapi sekaligus menjadi bagian dari pasar kecil yang berhubungan satu sama lainnya.

Images : Pengurus KAV 22 di Huma Art Centre

” Karya film tidak lagi ditempatkan diruang khusus, tapi dapat menjadi bagian dari gaya hidup. Sebagai tontonan luar yang masuk diruang publik dengan gaya hidup yang sama sekali baru “

Kiki Natez

Dalam diskusi tersebut juga disampaikan bahwa saat ini banyak lahir karya baru dari para sineas muda yang ikut menandai lahirnya berbagai karya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi masa kini.

Pada diskusi film ” Dua Sisi Lensa ” Sineas generasi sekarang menemukan hubungan dengan penontonnya sendiri melalui jalur karya film independen. ” mungkin karena itulah saya dulu lebih memilih film independen. Atau teater yang punya kemewahan berproses lebih dalam dibanding ruang seni peran yang lain, ” ungkap Sha Ine Febriyanti.

Dalam diskusi yang juga menayangkan penggalan film ” Bumi Manusia ” sebuah karya dari Hanung Bramantyo yang sukses membuat Sha Ine Febriyanti menerima banyak pujian dalam memerankan Nyai Ontosoroh disampaikan.

” Dalam sebuah karya film independen, agak sulit memang ketika awal dirinya memulai karir, namun proses jauh lebih penting dari pada lainnya, ada baiknya kita berdiskusi dalam berbagai tafsir yang didapat saat proses pencarian karakter dalam peran. Aksi reaksi yang dibutuhkan sebagaimana pandangan sutradara dalam setiap adegan, ” kata Ine.

Lebih lanjut Ine mengatakan bahwa Sutradara dan Pemeran (aktor) adalah dia jalur yang berbeda tapi beririsan. Ketika mendapat kesempatan berperan, dia skaligus mendapat banyak pembelajaran penyutradaraan.

Images : Sha Ine Febriyanti

” Saat ini saya lebih banyak berfokus pada Seni Peran, dan membangun sebuah Art Centre yang terfokus pada Performing Arts dan ke Aktoran. Jika suatu saat diberi rezky, saya akan kembali menyutradarai film, “

Sha Ine Febriyanti

Untuk dapat diketahui, bahwa karir Sha Ine Febriyanti di dunia seni dan pekerja film, berawal dari cover girl majalah mode tahun 1992, kemudian merambah ke seni peran dengan membintangi beberapa sinetron dan film layar lebar.

Sejumlah film karya Sha Ine Febriyanti antara lain, ” Cinderela ” (2021), ” Rumah Khatulistiwa ” ( 2007), ” Tuhan pada jam 10 malam ” (2010) dan ” Selamat Siang, Risa ! ” (2012).

Iya juga pernah membintangi Film Televisi (FTV) ” Siluet ” dan membintangi Film ” Beth ” yang di sutradarai oleh Aria Kusumadewa. Dalam Seni Pertunjukan Ine juga terlibat dalam produksi pementasan Teater ” Miss Julie ” (1999).

Dalam karirnya, Sha Ine Febriyanti juga beberapa kali mendapat penghargaan, salah satunya pemeran wanita terpuji dalam Festival Film Bandung 2016 lewat film ” Nay ” yang disutradarai dan diproduseri oleh Djenar Maesa Ayu. Dan di tahun 2021 Ine mendapat beasiswa Asian Film Academy di Busan Korea Selatan.

” Berkesenian dalam dirinya, adalah bentuk media ekspresi personal terhadap ” point’ of view ” seorang wanita akan kegelisahan terhadap fenomena feminisme sosial budaya dan personalitas diri sendiri. ” ungkap Ine yang sejak tahun 2012 telah mendirikan rumah kreatifitas bernama Huma Rumi.

.

Source : Kiki Natez

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version