Headlines
GERAK MASA Ungkap Dosa Rezim Jokowi dan Tuntut Pengesahan UU Masyarakat Adat
Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah rakyat seluas 6,30 juta H dirampas
Published
3 minggu agoon
By
TaufiqMembumi.com
Jakarta (11/10/24) – Satu dekade rezim Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan dosa-dosa kepada Masyarakat Adat. Rezim ini telah berkhianat kepada UUD 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat. Tak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk kepentingan dan keberpihakan Masyarakat Adat.
Bahkan sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki sebagaimana siaran pers yang disampaikan Walhi.
Lebih lanjut disampaikan, bahwa masalah di atas dibuktikan dengan adanya berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya (AMAN, 2023).
Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral.
Dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan Masyarakat Adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah. Artinya Presiden Joko Widodo dan Kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.
Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, di mana DPR sendiri sebagai pembentuk Undang-Undang selama ini telah dikontrol para pengusaha. Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha di mana 26% di antaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023).
Baca : Tim Advokasi Kasus Rempang Ungkap Sejumlah Fakta Ketidakadilan
Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha.
Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi. Kita sedang menghadapi fakta politik di mana kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi.
Dampaknya segala hal yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah diabaikan atau bahkan ditolak dengan berbagai modus politik penaklukan. Akhirnya satu dekade Pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.
Berikut ini kejahatan rezim pemerintahan Jokowi sepanjang tahun 2014-2024 kepada Masyarakat Adat :
Pertama, Rezim Jokowi secara terang-terangan membegal RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan bagi seluruh Masyarakat Adat di nusantara dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, artinya Presiden Joko Widodo sengaja membiarkan masyarakat adat hidup tanpa jaminan hukum demi pengakuan, perlindungan, pemenuhan hak konstitusional masyarakat adatnya.
Selain itu janji politik Enam NAWACITA Jokowi terkait Masyarakat Adat bahkan tidak diingat sama sekali. Sebaliknya, demi pengusaha dan elit politik, Presiden Joko Widodo memaksakan pembentukan dan pengesahan UU CILAKA.
Padahal ratusan ribu Mahasiswa, Masyarakat Adat, Buruh, Petani, Nelayan dan Perempuan di Republik ini turun ke jalan menolak hal tersebut. Pengesahan UU CILAKA yang penuh kecacatan ini disahkan dengan diam-diam, mengindahkan seluruh penolakan rakyat. Isinya bahkan menghidupkan pasal-pasal bermasalah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Kedua, Perampasan wilayah adat demi memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kab. Kutai Kartanegara (Kukar). IKN yang dibangun hanya atas keinginan pribadi Joko Widodo dan segelintir pengusaha ini merenggut hak partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat yang akan terdampak langsung.
Bahkan, Penetapan lokasi IKN pada Agustus 2019, dilakukan tanpa persetujuan pemilik wilayah adat, bahkan di lapangan terdapat banyak konflik agraria yang tidak pernah diselesaikan pemerintah.
Penetapan lokasi IKN secara ugal-ugalan juga diikuti dengan pengesahan UU IKN yang hanya memakan waktu singkat, praktis hanya dibahas dalam waktu 17 hari saja. Tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga serupa. Kajian yang dipublikasikan pemerintah justru merupakan KLHS cepat. KLHS ini adalah kajian yang dibuat setelah ibu kota baru ditetapkan di Kalimantan Timur, bukan kajian yang melatarbelakangi mengapa Kalimantan Timur dan bukan wilayah lain yang dipilih sebagai lokasi IKN.
Sebanyak 51 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) hingga saat ini mengalami ketidakjelasan nasib dan masa depannya karena tidak adanya jaminan hukum pengakuan dan perlindungan hak- hak atas wilayah adat yang mereka telah tempati secara turun-temurun. Bahkan seluruh wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kab. Penajam Paser Utara seluas 40.087,61 hektar secara keseluruhan masuk dalam wilayah pembangunan IKN.
Hal ini mendudukkan Masyarakat Adat Balik Sepaku sebagai Komunitas Masyarakat Adat yang terancam punah akibat pembangunan IKN (AMAN, 2022). Sebaliknya para pengusaha diberikan keistimewaan oleh negara untuk merampas dan memonopoli tanah-tanah Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan Peladang tradisional di IKN melalui pemberian 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB.
Baca : UU KSDAHE, Komitmen Semu Konservasi Alam dan Pelindungan Masyarakat Adat
Ketiga, Perampasan tanah terjadi sangat cepat selama pemerintahan Joko Widodo, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar (AMAN, 2024). Korban akibat perampasan wilayah adat ini lebih dari 925 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang Masyarakat Adat direpresi dan tidak sedikit yang harus meninggal dunia.
Kejahatan pemerintahan Joko Widodo juga dialami kelompok Petani, Buruh Tani, Nelayan dan Perempuan. Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah-tanah rakyat seluas 6,30 juta hektar dirampas demi dijadikan pusat bisnis pengusaha (KPA, 2023). Celakanya penanganan konflik agraria semacam ini masih bersifat represif, akhirnya 1.054 orang yang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya dikriminalisasi oleh Kepolisian (WALHI, 2024).
Konflik agraria di atas juga dampak dari pengingkaran pemerintahan Joko Widodo terhadap TAP MPR No.IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Pemerintah yang ditugaskan untuk peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, peladang, perempuan, dan nelayan, menyusun kebijakan untuk penyelesaian konflik, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor SDA yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Keempat, menyesatkan pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial. Meskipun tujuan perhutanan sosial untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tetapi secara nilai dan prinsip perhutanan sosial tidak dapat disetarakan dengan pengakuan penuh atas wilayah adat.
Sebab hutan adat merupakan hutan dengan status hutan hak milik Masyarakat Adat berada di dalam wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK 35 Tahun 2012.
Lebih dari itu, perhutanan sosial justru digunakan Kementerian LHK untuk merampas wilayah adat seluas 240 ribu hektar dengan alasan telah dijadikan lokasi perhutanan sosial (AMAN, 2021). Lebih parah lagi perampasan tanah-tanah rakyat atas nama perhutanan sosial di Jawa, kini 1,1 juta hektar tanah, kampung dan desa diklaim sepihak oleh Menteri LHK sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK).
Perhutanan sosial (HD, HKm, HTR, Hutan Desa, Hutan Kemitraan) merupakan skema perizinan, yang menjadikan masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan sebagai penyewa tanah kepada Kementerian LHK, sekaligus mengakui klaim ilegal kawasan hutan.
Kementerian LHK yang menempatkan pengakuan hutan adat melalui perhutanan sosial justru menyebabkan diskriminasi dan mempersulit pengembalian serta pengakuan hak Masyarakat Adat terutama hutan. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat di dalam wilayah adat.
Dalam Pasal 29A dan 29B UU CK, status perhutanan sosial diperkuat dari Peraturan Menteri menjadi selevel Undang-Undang. Sementara UU CK tidak mengubah Pasal 67 UU Kehutanan yang mensyaratkan pengakuan Masyarakat Adat dengan Peraturan Daerah (Perda).
Baca : Ekspor Pasir Laut Menambah Dosa Ekologis Rezim Jokowi di Penghujung Jabatan
Kelima, Menghidupkan praktik kolonialisme baru melalui klaim Hak Pengelolaan (HPL). Sumber tanah HPL yang diatur dalam PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dapat berasal dari tanah yang belum bersertifikat bahkan Tanah Ulayat sebagai Tanah Negara. Akibat kekacauan berpikiran ini, Kementerian ATR/BPN yang mengesahkan Permen ATR/BPN 14/2024 tentang tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat (Hukum) Adat.
Aturan sebagai dasar penerbitan HPL di atas tanah ulayat ini memperparah pengaturan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan kewenangan/hak ulayat. Padahal Konstitusi dan UUPA jelas mengatur bahwa Masyarakat Adat memiliki hak dan kewenangan penuh pengaturan tanah-tanah di atas tanah ulayatnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 194, Pasal 2 UUPA dan Putusan MK 35.
Dengan penerbitan sertifikat HPL terhadap tanah ulayat dan wilayah adat tanpa kehendak murni masyarakat adat, maka semakin mudah pengusaha menguasai dan memperjual belikan tanah dan wilayah adat dalam pasar tanah liberal.
Keenam, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim melalui pasar karbon. Paket kebijakan untuk mengatasi krisis iklim tersebut tercermin di dalam dokumen RPJMN 2020-2024, perdagangan karbon menjadi salah-satu program prioritas pemerintah Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan izin lingkungan dan perizinan berusaha di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor lain dengan cara memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk secara langsung mendapatkan wewenang pengelolaan karbon/emisi dari aktivitas bisnisnya.
Hal yang sama tercermin dalam politik hukum UU Cipta Kerja.
Pemerintah sama sekali tidak menjadikan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam upaya mengatasi krisis iklim. Berbagai kebijakan yang dilahirkan seperti Perpres No. 98/2021, UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, dan peraturan turunan lainya justru digunakan untuk memberikan impunitas bagi korporasi perusak alam dan lingkungan hidup untuk merampas ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Padahal sepanjang tahun 2013-2017, hutan alam Indonesia hilang seluas 23,5 juta hektar justru disebabkan karena berbagai konsesi perizinan, seperti pertambangan, perkebunan, izin usaha kehutanan, dan infrastruktur (FWI, 2019). Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).
Ketujuh, menjalankan solusi palsu penyelamatan lingkungan. Pemerintahan Jokowi masih mengutamakan bahan bakar energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik. Industri pertambangan bahkan diberikan karpet merah melalui revisi UU Minerba. Seluas 1.919.708 hektar wilayah adat yang menjadi ruang hidup Masyarakat Adat dirampas untuk konsesi pertambangan (AMAN, 2019).
Di tengah wacana transisi energi pasca penandatanganan perjanjian Paris 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan di atas adalah satu dari banyaknya kebijakan yang digunakan pengusaha untuk mengekspansi bisnis dan menginvasi tanah-tanah rakyat untuk dijadikan proyek strategis nasional (PSN) seperti PLTU batubara, ekstraksi dan hilirisasi nikel, biodiesel, bioetanol dll. Akhirnya gagasan FOLU Indonesia hanya menjadi kesempatan untuk semakin memperkuat bisnis pengusaha dengan kedok kebijakan hijau.
Baca : Elit Politik dalam Pusaran Oligarki Nikel : Korupsi dan Dampaknya bagi Halmahera
Bukan hanya PLTU batubara Captive yang dibangun demi menyokong bisnis energi, tetapi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar seperti di Poso, juga dibangun untuk menjaga pasokan listrik industri tambang terutama pemurnian tambang. Kawasan Industri Hijau dengan total mencapai 30.000 hektar disiapkan sebagai pusat sektor industri yang bermuara pada hilirisasi barang-barang tambang, dengan klaim sebagai kawasan penopang IKN. Kawasan “industri hijau” tidak lebih dari sekadar jargon, sebab kawasan industri ini dibangun di atas ekstraksi dan pembakaran fosil.
Proyek geothermal di Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok Kab. Manggarai NTT dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan bahan bakar kayu oleh Medco Group telah membongkar area cukup luas hutan alam Papua untuk membangun perkebunan HTI, secara nyata merampas dan melanggar hak-hak Masyarakat Adat Poco Leok di NTT dan Orang Marind di Merauke Papua.
Berbagai fakta mengenai transisi energi yang diperbincangkan dan diimplementasikan saat ini tidak lebih dari tipu muslihat para pemodal untuk tetap terus mengekstraksi fosil untuk menopang industrialisasi. Transisi energi, Zero emisi, netral karbon, dekarbonisasi hanyalah kata kunci bisnis yang dipakai untuk mengekstraksi sebesar-besarnya fosil dan melepaskan emisi guna tetap bisa menghidupi industri bisnis energi itu sendiri. Energi diletakkan dalam bingkai bisnis, sehingga apa yang disebut dengan energi hijau, energi yang adil, sesungguhnya tidak akan pernah ada.
Kedelapan, memperkuat ancaman perampasan wilayah adat melalui klaim kawasan konservasi. Alih-alih menata ulang kawasan konservasi yang selama ini banyak berkonflik dengan Masyarakat Adat. UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2024, justru semakin memperkuat sentralisasi penunjukan dan penetapan kawasan konservasi secara sepihak oleh negara.
Masyarakat Adat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ini. Padahal bagi Masyarakat Adat praktik konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari landscape kehidupannya.
Bahkan di dalam UU KSDAHE yang baru, disebutkan bahwa areal preservasi, yaitu areal di luar KSA, KPA, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKPWP2K). Penambahan kriteria kawasan atau areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap orang pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya apabila tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE.
Kebijakan ecofascism ini adalah ancaman nyata yang sewaktu-waktu dapat menggusur Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang dari wilayah tempat mereka tinggal. Situasi ini memposisikan Masyarakat Adat, petani, nelayan dan peladang sebagai kelompok yang rentan dihadapkan dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi atas nama konservasi.
Baca : GI : ” INDONESIA IS NOT FOR SALE ! MERDEKA ! “
Kesembilan, memperkuat kontrol pengusaha atas kekayaan alam Indonesia melalui Food Estate dan Bank Tanah. Akibat kejahatan pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan UU CILAKA, para elit politik dan pengusaha dijamin oleh hukum untuk menguasai tanah.
Sebagai lembaga yang dilahirkan dari desakan pemodal, Bank Tanah sudah pasti akan menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Melalui Bank Tanah 7,4 juta hektar tanah rakyat yang berasal dari bekas HGU akan dikuasai Bank tanah sebelum dijual kembali kepada pemodal.
Nasib serupa masyarakat adat di berbagai daerah yang menghadapi perampasan tanah demi pembangunan industri pangan atau food estate. Bukannya memperkuat masyarakat adat, nelayan dan petani sebagai produsen pangan yang utama, Presiden Joko Widodo memilih pengusaha menggantikan kewajiban tersebut. Kini tanah dan pangan semakin dikomoditisasi, dilengkapi berbagai perangkat hukum yang tidak berpihak pada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan, dan Perempuan. Bank Tanah dan food estate sama-sama melemahkan agenda Reforma Agraria sekaligus menjauhkan pengakuan penuh atas tanah dan wilayah adat.
Kesepuluh, Kooptasi hukum adat dalam hukum negara melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dihadirkan oleh Pemerintahan Jokowi untuk membuat eksekutif memiliki otoritas yang besar. Pendokumentasian hukum adat dalam KUHP pada dasarnya dapat dibaca sebagai bagian dari upaya “mengkooptasi” hukum adat dan akan berakibat pada : matinya karakter dinamis hukum adat; mencerabut hak asal-usul Masyarakat Adat untuk menjalankan peradilan adat yang telah dijalankan secara turun-temurun sebab kewenangan untuk menjalankan hukum adat bukan lagi milik Masyarakat Adat, tetapi sepenuhnya telah berada dalam otoritas negara.
Kesebelas, transisi kekuasaan dilakukan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Keberpihakan Presiden Jokowi pada pemilihan Presiden 2024 memberikan sinyal yang sangat kuat untuk melanggengkan kekuasaannya dengan berkolaborasi dengan pemodal-pemodal besar yang akan bekerja untuk menerus merampas wilayah adat di berbagai sektor dengan kedok proyek strategis nasional.
Tak hanya itu, era Presiden Jokowi yang dilahirkan dari proses demokrasi justru merusak demokrasi. Hal tersebut dapat dilihat pada upayanya melakukan nepotisme secara terang-terangan, menggerakkan aparatur negara untuk kepentingan pribadi, melemahkan kewenangan KPK, mengintervensi kewenangan lembaga peradilan hingga berpihak pada oligarki dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
Baca : Jelang Satu Dekade Jokowi, Persoalan HAM Stagnan Tanpa Kemajuan (II)
Pada selasa, 1 Oktober 2024, para wakil rakyat yang dihasilkan dari proses Pemilu 2024 resmi ditetapkan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menurut data Indonesian Parliamentary Center (IPC) (2024) komposisi keanggotaan DPR RI periode 2024-2029 sebagian besarnya masih didominasi oleh incumbent yakni dari total 580 kursi anggota parlemen, 327 di antaranya adalah incumbent.
Serta menurut temuan IPC terdapat 11,6% anggota DPR terpilih yang terafiliasi dengan dinasti politik dan 16,9%-nya adalah pengusaha. DPR memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintah. Oleh karena itu, Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang atau kolusi yang dapat merusak kepercayaan rakyat.
Berdasarkan pandangan di atas Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) menuntut pertanggungjawaban Presiden Jokowi terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional Masyarakat Adat, dan juga mendesak kepada pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran agar dalam masa pemerintahannya lebih tegas dan konsisten dalam mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, dengan mengambil tindakan nyata sebagai berikut:
1. Mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran agar mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahannya. UU ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
2. Mempercepat pengakuan hak atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria yang selama ini tersandera di meja Kabinet Presiden Joko Widodo, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
3. Mendesak agar Presiden Prabowo berani mencabut UU Cipta Kerja, UU KSDAHE, UU Minerba, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya.
4. Mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.
5. Mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.
6. Mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompok masyarakat lainnya dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak langsung pada Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan dan kelompok masyarakat lainnya.
7. Mendesak pemerintahan Prabowo Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
8. Meminta kepada Pemerintahan Prabowo untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas kami dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi. Bukan sekedar simbolisasi dengan penggunaan pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan.
Demikian pernyataan sikap politik Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) yang disampaikan (11/10/24), Nah.
Source : WALHI
.
.
You may like
-
PWI Pusat Gelar Kick-Off HPN 2025 Riau di Anjungan TMII
-
Presiden Prabowo Akan Luncurkan Gerakan Solidaritas Nasional
-
TII Ungkap Modus Kejahatan Dibalik Bisnis Tambang di Indonesia (II)
-
Telkom Ajak Masyarakat Lestarikan Lingkungan melalui ” Bumi Berseru Fest “
-
KIT Global Dorong Bisnis Berkelanjutan Berbasis Data & AI
-
TII Ungkap Modus Kejahatan Dibalik Bisnis Tambang di Indonesia (I)
Business
Luar Biasa ! Ratusan Guru – Guru Antusias Ikut Seminar AI President University – MKKS
” Boleh kita menggunakan AI, tapi tidak meninggalkan cara – cara manual ” – Prof Dr. Saktioto Guru besar Universitas Riau
Published
3 hari agoon
November 2, 2024By
TaufiqMembumi.com
Pekanbaru (02/11/24) – Bertempat di Ballroom Ameera Hotel jalan Ahmad Yani Lantai 3, sesuai jadwal mulai jam 08.30 Wib seluruh kursi undangan terlihat mulai dipenuhi peserta yang mengikuti Seminar Artificial Inteligent (AI) Literasi Digital untuk Guru : ” Mempersiapkan Pendidikan Masa Depan di Riau ” yang sudah diagendakan jauh hari.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Mariana dan Sarkawi dari Yayasan Peputra Manggala Nusantara, Ali Nenalice selaku Guru Besar Universitas Indonesia, Firdaus, SPd MPd dari LLDIKTI 17, perwakilan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Benny Rio Denaldy selaku Ketua MKKS SMA Riau, H.EM Surahcmat selaku Ketua Umum Paguyuban Mitra Sunda Riau, H Djailani dari Adzkia Kedinasan, Zulham, Fahmizan M.Pd dan Fari Suradji selaku Pegiat Pendidikan Riau dan ratusan guru – guru serta kepala sekolah dari berbagai wilayah Provinsi Riau.
Setelah sambutan disampaikan Sarkawi selaku pimpinan Yayasan Peputra Manggala Nusantara yang tidak lupa menyisipkan sebait pantun, Firdaus selaku pimpinan LLDikti 17, Dinarti T BBA, MBA dan Benny Rio Denaldi Pimpinan MKKS SMA Riau ikut membakar semangat para peserta Seminar yang sudah duduk rapi ingin menyimak penyampaian materi.
Pada sesi pertama Guru Besar President University Pekanbaru Prof. Dr. Chairy dalam presentasinya diawal membahas mengenai Literasi Digital dengan mengungkapkan bahwa menjadi literasi secara digital berarti memiliki pengetahuan yang tepat untuk digunakan dan menavigasi teknologi digital.
Lebih lanjut disampaikan bahwa terdapat 2 pengelompokan yaitu, Traditional AI dan AI Generative yang saat ini sedang berkembang pesat seperti Chat GPT-4, model prediksi bahasa Open AI yang menghasilkan teks seperti buatan manusia yang hampir tidak dapat dibedakan, yang kemudian dapat membantu menghasilkan musik baru, menulis skrip, atau bahkan membuat Deepfake.
Selain mengulas pemahaman konsep literasi digital, hingga kesiapan menghadapi tantangan digital, dalam materinya Prof. Dr. Chairy juga membahas mengenai masa depan Artificial Inteligence diantaranya yang memprediksi, bahwa pada tahun 2030, AI akan memungkinkan untuk deteksi beberapa penyebab utama penyakit, dan akan melihat lebih banyak penggunaan perangkat pemantauan kesehatan di rumah.
Baca : Expert Predict 4 Major Ways Artificial Inteligence
Hingga penggunaan AI soal transparansi data laporan yang bertanggung jawab atas pelanggaran kepercayaan, hingga prediksi bahwa pada tahun 2050, teknologi AI akan membaca emosi untuk mempersonalisasikan setiap pengalaman pelanggan, dan interaksi sehari-hari akan menjadi campuran manusia, mesin dan hibrida yang mendukung AI.
Dalam Sesi kedua Prof Dr. Saktioto selaku Guru besar Universitas Riau yang baru kembali dari kunjungan kerjanya di Kazakhstan mengungkapkan bahwa Artificial Inteligent (AI) sudah lama ada, cuma baru booming sekarang, sebagaimana penghargaan Nobel Prize in Physics 2024 diberikan kepada Jhon J. Hopfield dan Geoffrey E. Hinton yang mengungkap penemuan dasar yang memungkinkan mesin pembelajaran dengan jaringan saraf buatan.
Lebih lanjut dikutip dari materi Prof. Dr. Saktioto disebutkan bahwa Artificial Inteligence (AI) adalah Kemampuan komputer digital atau robot yang dikendalikan komputer untuk melakukan tugas yang biasa dikaitkan dengan makhluk cerdas. Istilah ini sering diterapkan pada proyek pengembangan sistem yang diberkahi dengan proses intelektual karakteristik manusia, seperti kemampuan untuk bernalar, menemukan makna, generalisasi, atau belajar dari pengalaman masa lalu.
Sejak berkembang di tahun 1940 -an, komputer digital telah diprogram untuk melakukan tugas -tugas yang sangat kompleks, seperti menemukan bukti untuk teorema matematika atau bermain catur dengan kemahiran yang luar biasa. Meskipun kemajuan berkelanjutan dalam kecepatan pemrosesan komputer dan kapasitas memori, belum ada program yang dapat mencocokkan fleksibilitas manusia penuh pada domain yang lebih luas atau dalam tugas yang membutuhkan banyak pengetahuan sehari -hari.
Baca : Are artificial intelligence and machine learning the same ?
Di sisi lain, beberapa program telah mencapai tingkat kinerja pakar dan profesional manusia dalam melaksanakan tugas -tugas spesifik tertentu, sehingga kecerdasan buatan dalam pengertian terbatas ini ditemukan dalam aplikasi yang beragam seperti diagnosis medis, mesin pencari komputer, pengenalan suara atau tulisan tangan, dan chatbots.
Selain itu Prof Dr. Saktioto dalam sesinya juga membahas mengenai masa depan Artificial Inteligence (AI), yang intinya agar kita tidak perlu takut akan kemungkinan – kemungkinan buruk yang terjadi. ” Boleh kita menggunakan AI, tapi tidak meninggalkan cara – cara manual, ” tutupnya.
Mejelang siang, Seminar Artificial Inteligence (AI) Literasi Digital untuk Guru : ” Mempersiapkan Pendidikan Masa Depan di Riau ” kemudian ditutup dengan menjawab pertanyaan peserta, pemberian door prize, sesi foto narasumber bersama peserta yang datang dari berbagai wilayah di Provinsi Riau dan kemudian makan bersama.
.
.
.
Headlines
PWI Pusat Gelar Kick-Off HPN 2025 Riau di Anjungan TMII
HPN 2025 “Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas”
Published
3 hari agoon
November 2, 2024By
TaufiqMembumi.com
Jakarta – Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 sudah semakin mendekat. Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat sudah menggelar beberapa kali rapat pleno memastikan puncak peringatan HPN 2025 diselenggarakan pada 9 Februari 2025 di Riau.
Kepastian penyelenggaraan HPN 2025 di Riau, sudah disampaikan sejak beberapa bulan lampau oleh Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang.
Terbaru, Zulmansyah Sekedang memberi penegasan tentang kick-off HPN 2025 akan diselenggarakan pada 10 November 2024 di Anjungan Riau, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Peluncuran peringatan HPN 2025 kita lakukan bertepatan dengan Hari Pahlawan, Ahad, 10 November.
“Peringatan Hari Pahlawan menjadi momentum yang baik bagi kita untuk melakukan berbagai kegiataan yang bermanfaat dalam rangkaian peringatan HPN 2025 tersebut,” ujar Zulmansyah Sekedang di Markas Sekretariat PWI Jaya, Kamis (24/10/2024)
Saat kick-off itu pula ditegaskan tema dari HPN 2025, yakni “Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas”. Berbagai kegiatan dalam rangkaian peringatan HPN 2025 akan mengacu pada tema tersebut.
Zulmansyah Sekedang disertai jajaran pengurus teras PWI Jaya membahas acara peluncuran atau kick-off HPN 2025 bersama Kepala Badan Penghubung Provinsi Riau, Ridho Adriansyah, dan Kepala Sub Bidang Pengelola Anjungan Riau di TMII, Zulfikar.
Dilakukannya kegiatan kick-off HPN 2025 di Anjungan Riau di TMII menjadi simbol dari dukungan dan sekaligus partisipasi aktif Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dalam menyukseskan peringatan HPN 2025.
Zulmansyah Sekedang menjelaskan, rangkaian acara puncak HPN 2025 digelar 5 hingga 10 Februari 2025 di Pekanbaru, Kampar dan Siak.
Pengurus PWI Riau, PWI Kampar dan PWI Siak serta PWI Kabupaten/Kota se-Riau juga sudah mempersiapkan sumberdaya untuk menyukseskan HPN 2025.
“Komunitas pers di Riau sangat bersemangat menyukseskan HPN 2025 di Bumi Melayu. Apalagi Pemerintah Provinsi Riau juga sudah menyatakan dukungan penyelenggarakan HPN melalui surat Gubernur Riau Nomor: 500.12/Diskominfotik/1518,” jelas Zulmansyah.
Sementara PWI Pusat sendiri telah membentuk panitia inti untuk HPN 2025. Ditetapkan sebagai ketua panitia adalah Marthen Selamet Susanto, Bendahara Umum PWI Pusat yang juga ketua panitia HPN 2024, di Jakarta.
Wakil ketua, Raja Isyam Azwar, ketua PWI Riau. Sekretaris, Novrizon Burman, wakil sekjen PWI Pusat, sementara wakil sekretaris dijabat oleh Doni Dwi Putra, yang juga sekretaris PWI Riau. Untuk bendahara sudah ditetapkan Herlina, wakil bendum PWI Pusat. ***
.
.
.
Figur
Presiden Prabowo Akan Luncurkan Gerakan Solidaritas Nasional
Peluncuran Gerakan Solidaritas Nasional akan dilangsungkan pada 2 November 2024
Published
5 hari agoon
Oktober 31, 2024By
TaufiqMembumi.com
Jakarta – Ketua Umum Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) Rosan Roeslani sore ini (29/10/24) mengundang media dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam acara DEKLARASI GSN pada tanggal 2 November di Indonesia Arena.
Menurutnya Presiden Prabowo selaku Ketua Dewan Pembina akan meresmikan peluncuran GSN ke masyarakat di hadapan lebih dari 15 ribu orang perwakilan seluruh golongan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Peluncuran GSN menjadi rangkaian acara strategis Presiden Prabowo segera setelah pelantikan dan penataran para anggota kabinet Merah Putih yang digelar selama empat hari sampai Minggu kemarin di Magelang, Jawa Tengah, guna membangun semangat perjuangan, persatuan, dan solidaritas nasional.
Melalui GSN, Presiden Prabowo Subianto sebagai Ketua Dewan Pembina bersama Rosan Perkasa Roeslani sebagai Ketua Umum GSN bermaksud untuk menyatukan semua kekuatan, gagasan, dan sumber daya yang dimiliki Indonesia untuk satu tujuan yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan maju dengan lebih cepat.
Rosan membandingkan peran strategis GSN dengan kebebasan pers dalam alam demokrasi modern. “Kebebasan pers yang dilindungi oleh negara awalnya lahir sebagai anti tesis dan kemudian sebagai pelengkap terhadap konsep demokrasi Trias Politika. Itulah sebabnya media disebut Pilar keempat demokrasi. Demikian juga GSN kami harap bisa menjadi Pilar Kelima atau sintesis dari empat pilar demokrasi yang sudah ada. Dimana gagasan-gagasan besar bisa segera dimatangkan, diperjuangkan dan akhirnya diwujudkan dengan dukungan penuh dari negara dan partisipasi penuh dari masyarakat,” ujar Ketua Umum GSN Rosan Roeslani di acara Konferensi Pers GSN, Plataran Dharmawangsa, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Oleh karena itulah, menurut Rosan, kolaborasi sejak awal antara GSN dan media massa adalah syarat mutlak untuk mensukseskan dan menyebarkan tujuan mulia Presiden Prabowo Subianto untuk menyatukan seluruh elemen bangsa.
“Visi GSN adalah menjadi organisasi yang merekatkan seluruh rakyat Indonesia. Dengan cara menampung dan mewujudkan gagasan-gagasan besar menjadi solusi-solusi konkrit bagi kehidupan masyarakat dan kemajuan bangsa. Baik rakyat Indonesia di dalam negeri maupun yang menjadi diaspora di seluruh dunia,” tambah Rosan yang sekaligus adalah Menteri Investasi dan Hilirisasi di Kabinet Merah Putih.
Rosan kemudian mencontohkan gagasan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dalam proses singkat sejak Pilpres 2024, dapat langsung diwujudkan menjadi sebuah kebijakan nyata, sekaligus gebrakan dalam pemerintahan Prabowo – Gibran. Itu adalah gagasan yang tidak lain berangkat dari hasil dialog antara para ahli di dalam Tim Kampanye Nasional (TKN). Demikian juga gagasan untuk membebaskan jutaan petani dan nelayan dari hutang yang sudah membebani selama bertahun-tahun.
“Kita saksikan sendiri bagaimana proses yang dilalui bisa sangat singkat. Dari gagasan, menjadi dialog para ahli, hingga akhirnya dituangkan dalam kebijakan nyata pemerintah yang didukung penuh sumber daya, kelembagaan, dan anggaran yang dibutuhkan,” tambah Rosan.
Saat ini sudah didirikan Badan Gizi Nasional dalam waktu tidak sampai satu tahun sejak gagasan Makan Bergizi Gratis diusulkan. Hal ini menginspirasi Presiden Prabowo Subianto untuk melembagakan proses identifikasi dan realisasi gagasan itu sendiri dalam satu paguyuban yang disebut GSN.
“Misi GSN adalah menghasilkan resolusi-resolusi serupa untuk direalisasikan secara nyata oleh pemerintah, dengan dukungan pemerintah, atau melalui sumber daya GSN sendiri. Supaya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung dan cepat oleh masyarakat,” terang Rosan Perkasa Roeslani. Singkatnya, tegas Rosan, ada tiga keunikan dan keunggulan GSN yang akan membuat GSN tumbuh dan berkembang pesat, serta berdampak nyata dan positif bagi masyarakat dan negara.
Pertama, GSN disusun sedemikian rupa untuk punya kemampuan dan kekuatan besar untuk mewujudkan gagasan-gagasan besar dari Putra Putri terbaik bangsa. Selain karen dibina langsung oleh Presiden RI ke 8, juga karena GSN berisi seluruh eleman kekuatan bangsa.
“Melalui GSN, kekuasan menjadi kekuatan baik dan besar bagi kehidupan masyarakat dan kemajuan bangsa,” jelas Rosan. Kedua, kekuatan utama GSN ada pada kekuatan gagasan. Karenanya membutuhkan lingkungan yang mengedepankan kebebasan berpikir dan bersuara.
“Karena prinsip utama GSN adalah kekuatan gagasan dan jaringan, kami berharap GSN dengan sendirinya menjadi organisasi yang bersifat otonom dalam menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan dan harapan masyarakat,” kata Rosan.
Ketiga, GSN akan tumbuh mengakar dan tersebar. Artinya GSN akan memperjuangkan gagasan yang mengakar kepada kearifan budaya, sejarah dan tradisi lokal yang notabene sangat beragam dan tersebar di seluruh Indonesia.
“Hal ini penting untuk memastikan gagasan dan inisiatif GSN ke depan akan didukung partisipasi masyarakat dan dampaknya berkesinambungan (sustainable),” tambah Rosan
Ditanya mengenai kenapa dinamakan Gerakan Solidaritas Nasional, Sekretaris Jenderal (Sekjen) GSN Bobby Gafur Umar menjelaskan bahwa Gerakan Solidaritas Nasional bukan terdiri dari tiga kata melainkan dua frase yaitu Gerakan dan Solidaritas Nasional yang merupakan sikap dan kesadaran untuk mengesampingkan perasaan dan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan masyarakat dan bangsa.
“Artinya GSN bukan sekedar memperjuangkan kerukunan dan persatuan, melainkan menyatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu tujuan dan kesadaran yang sama yaitu: mendahulukan kepentingan orang lain dan orang banyak demi keutuhan dan kemajuan bangsa. GSN adalah gerakan untuk menyebarkan Solidaritas Nasional sebagai nilai dan budaya khas Indonesia ke depan,” kata Bobby menjelaskan.
Melanjutkan penjelasan tersebut, Sekjen GSN Bobby Gafur Umar mengajak peran aktif media massa untuk bersama-sama menyukseskan peluncuran GSN, agar dapat menjadi wadah bersama bagi seluruh elemen masyarakat dalam memberikan yang terbaik untuk negeri.
“Peluncuran Gerakan Solidaritas Nasional akan dilangsungkan pada 2 November 2024 di Indonesia Arena dengan perkiraan jumlah massa yang akan hadir mencapai lebih dari 15 ribu peserta,” jelas Bobby Gafur Umar.
Tentang Gerakan Solidaritas Nasional
Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) merupakan sebuah paguyuban yang bersifat independen namun memiliki komitmen kuat untuk berperan aktif dalam mendukung kepemimpinan nasional, khususnya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. GSN hadir sebagai sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Sebagai bagian dari komitmen kami untuk menciptakan dampak nyata, GSN membuka diri untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai elemen bangsa. Kami berencana untuk melibatkan stakeholders terkait melalui berbagai aktivitas yang bertujuan mendukung keberhasilan pembangunan yang efektif dan berkelanjutan.
Dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas, GSN yakin bahwa kolaborasi dapat membawa perubahan positif bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Source : pressrelease.id
.
Trending
-
General10 tahun ago
Post Format: Gallery
-
Entertainment2 tahun ago
Baca, Ini Catatan Penting bagi Para Penerus Kesultanan, Masyarakat Adat dan Para Kepala Daerah
-
Notes1 tahun ago
-
Business1 tahun ago
Closing Ceremony di Health Summit 2023, Arfan Awaloeddin Ucapkan Terima Kasih
-
Figur2 tahun ago
Sah, Benny Fernando Pimpin Komnas PA Riau
-
Business3 tahun ago
Aksi 11/4, Aliansi Mahasiswa Riau Sampaikan 5 Tuntutan Rakyat
-
Entertainment3 tahun ago
Varian Delta Dominasi 2 juta Kematian Dunia hanya dalam 166 hari
-
Headlines1 tahun ago
DPW Pekat IB Provinsi Riau Dibekukan, Ini Tanggapan Pengurus