Connect with us

Headlines

Pemerintah Dinilai Tidak Serius Mendukung Pengembangan Energi Terbarukan

Published

on

Greenpeace Indonesia projecting a message to a hill, before G20 Summit at Melasti beach in Bali, on 14 November 2022. The message is addressed to G20 leaders who are in a conference discussing 3 main pillars, one of which is about energy transition and partnership. It is known that the G20 Summit will agree on one of the energy transition projects in Indonesia, and most of it is to retire coal-fired power plants early.

Membumi.com

Jakarta (05/02/25) – Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyebut program pensiun dini PLTU jangan dipaksakan karena keterbatasan anggaran justru menunjukkan komitmen pemerintah yang setengah hati dalam mempercepat transisi energi. Pensiun dini PLTU adalah langkah krusial untuk mengurangi emisi dan mencapai target net zero.

“Jika pemerintah serius dengan transisi energi, maka seharusnya anggaran negara dan kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, bukan terus memberi subsidi pada batu bara”, ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Selama ini, berbagai insentif untuk industri batu bara, termasuk royalti nol persen dan skema DMO (Domestic Market Obligation), justru memperpanjang usia PLTU Batubara. Selain itu, pajak karbon yang seharusnya diberlakukan untuk PLTU telah dibatalkan berkali-kali oleh Pemerintah. Hal ini sangat disayangkan mengingat pemberlakukan pajak karbon bisa menjadi sinyal keseriusan Pemerintah dalam melakukan transisi energi.  

Lebih dari itu, keterbatasan anggaran negara semakin memperjelas bahwa transisi energi di Indonesia yang membutuhkan biaya besar ini perlu didukung oleh pembiayaan swasta. Namun, dengan pernyataan yang kontradiktif ini hanya akan memberikan sinyal yang membingungkan bagi lembaga keuangan global yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mendukung transisi energi Indonesia. Sikap tidak konsisten ini dapat merusak kepercayaan para investor dan semakin memperlambat laju investasi bagi transisi energi.

Selain itu, pernyataan membingungkan lainnya juga disampaikan oleh Menteri ESDM yang menyebut bahwa Indonesia perlu mengikuti langkah negara maju khususnya Amerika Serikat yang akan keluar dari Perjanjian Paris pada 2025. Sebaliknya, situasi ini justru harus menjadi pemicu bagi Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen terhadap transisi energi.

“Alih-alih menjadikan keluarnya AS sebagai alasan untuk memperlambat transisi energi, Indonesia harus mengambil peluang untuk mencari dukungan lebih besar dari negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen untuk dekarbonisasi sektor energi, seperti Uni Eropa, Jepang, bahkan China”, tegas Bondan.

Pernyataan Menteri ESDM justru berlawanan dengan pesan yang disampaikan Presiden Prabowo di forum G20. Pada forum tersebut, Presiden menegaskan bahwa transisi energi merupakan prioritas bagi Indonesia.. Jika pemerintah ingin mempertahankan kredibilitasnya dimata dunia, maka kebijakan transisi energi harus dijalankan dengan konsisten, bukan dengan sinyal yang membingungkan.

Pemerintah seharusnya tidak hanya menunggu pendanaan dari luar, tetapi juga berani mengambil langkah-langkah kebijakan yang progresif untuk mendorong pensiun dini PLTU Batubara. Ini termasuk mengalihkan subsidi energi fosil ke energi bersih, memperketat standar emisi bagi PLTU, mempercepat reformasi di sektor kelistrikan agar lebih kompetitif bagi energi terbarukan, serta memastikan transisi energi yang adil bagi masyarakat terdampak.

Jika pemerintah terus memberikan pernyataan dan aksi yang bertentangan dengan komitmen transisi energi Indonesia yang telah disampaikan di forum internasional, maka transisi energi di Indonesia hanya akan menjadi janji kosong, sementara dampak krisis iklim dan polusi udara terus memburuk dan merugikan masyarakat.

Source : Greenpeace Indonesia

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *