Seorang perempuan memegang payung menunggu dievakuasi tim penyelamat di atas rakit bambu di depan rumahnya yang terendam banjir di Desa Sungai Raya, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Banjir yang disebabkan oleh curah hujan tinggi musiman dan pembukaan lahan besar-besaran untuk pertambangan kelapa sawit dan batu bara di Kalimantan Selatan mengakibatkan ketinggian air naik hingga dua meter, menggenangi ratusan rumah dan memaksa ribuan warga meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di tempat yang lebih tinggi.
Jakarta (26/06/24) – Industri pertambangan yang digadang sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia ternyata belum mampu menciptakan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama yang tinggal di desa sekitar wilayah pertambangan. Hal ini terungkap dalam riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) yang berjudul Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif.
Riset tersebut menemukan bahwa desa-desa yang menjadikan sektor pertambangan sebagai sektor utama perekonomiannya kerap menghadapi tantangan besar untuk mengakses kesejahteraan seperti memiliki pendidikan yang lebih rendah, kesulitan mendapatkan air bersih dan akses ke layanan kesehatan, rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan, hingga mengalami hambatan pengembangan usaha kecil dan mikro. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa sektor industri ekstraktif, utamanya pertambangan, membawa dampak sosial dan lingkungan yang tak bisa diabaikan.
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, di mana pendekatan kuantitatif menggunakan analisis panel data dan logit. Penelitian ini menggunakan data dari survei Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 dan 2021 yang mencakup total 1.027 desa dari 14 provinsi di Indonesia dan secara khusus menyoroti 200 desa yang memiliki mata pencaharian utama di sektor pertambangan.
Hasil penelitian ini mendukung hipotesa adanya dampak negatif sektor pertambangan terhadap pendidikan di desa yang sektor utamanya adalah sektor pertambangan. Desa-desa dengan sektor utama tambang cenderung memiliki jumlah sekolah formal yang lebih sedikit dibandingkan desa-desa bukan tambang. Data BPS tahun 2021 yang diolah dalam penelitian ini menunjukkan, desa tambang rata-rata memiliki 3.04 unit sekolah formal dari jenjang SD hingga SMA di setiap desa. Jumlah ini hanya setengah dari rata-rata sekolah formal di desa non tambang, yaitu 6.11 unit.
Desa dengan sektor utama tambang pun mempunyai kesulitan yang lebih tinggi terhadap air minum bersih dibanding desa yang mengandalkan sektor selain tambang. Hasil olahan dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa desa di dekat wilayah tambang memiliki potensi air dan tanah tercemar limbah yang lebih tinggi dibanding desa lain.
Sementara itu, desa-desa di sekitar wilayah tambang memiliki potensi mengalami bencana alam seperti banjir dan kebakaran lahan yang lebih tinggi dibanding desa yang berada jauh dari tambang. Data Podes yang diolah Greenpeace Indonesia dan Celios menunjukkan 1 dari 2 desa dengan sektor utama tambang mengalami kebanjiran di tahun 2018, sementara hanya 1 dari 4 desa non tambang yang mengalami kebanjiran di tahun tersebut.
Masyarakat yang tinggal di desa sekitar tambang pun lebih sulit mengakses layanan kesehatan. Sebagai ilustrasi, sebanyak 37,19% desa di wilayah tambang di tahun 2018 dalam penelitian ini mengalami kesulitan mengakses rumah sakit terdekat. Angka ini pun meningkat menjadi 41,36% di tahun 2021 lantaran akses infrastruktur yang semakin rusak akibat aktivitas pertambangan di desa dan kawasan desa tersebut. Hal ini membuat pengeluaran kesehatan masyarakat desa dekat tambang lebih besar dibanding masyarakat yang tinggal jauh dari tambang.
Dari sisi ekonomi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan mikro (IKM) di desa sekitar tambang relatif lebih rendah dibanding desa jauh dari tambang. Dari data BPS yang diolah dalam penelitian ini, desa dekat tambang hanya memiliki 19,66 unit IKM di tahun 2021, sementara desa jauh dari tambang memiliki 35,77 unit IKM. Rendahnya jumlah IKM di desa yang bergantung pada sektor tambang ini disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi pada aktivitas pertambangan dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Nailul Huda, Ekonom Celios, mengatakan: “Tak bisa dipungkiri, sektor pertambangan dan penggalian memang memegang peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia. Meski begitu, sektor ini pun membawa dampak negatif yang besar pula bagi masyarakat dan lingkungan. Sudah saatnya kita mengadopsi kebijakan ekonomi baru yang mendukung pelestarian alam serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.”
Huda juga mengatakan, momentum pergantian pemerintahan ini bisa digunakan untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan sektor ekonomi hijau, diantaranya memperbaiki tata kelola sektor pertambangan, mengembangkan sektor-sektor ekonomi alternatif, terutama di desa pertambangan, seperti pertanian modern dan industri kreatif, meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat lokal untuk beradaptasi, termasuk mengembangkan inisiatif pengembangan komunitas (community development).
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak pun menambahkan, pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan mulai menjabat pada Oktober nanti perlu memiliki komitmen kuat untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi hijau sehingga Indonesia bisa segera beralih dari ekonomi ekstraktif.
“Aktivitas ekonomi ekstraktif memaksa Bumi melampaui batasan yang dimilikinya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk bisa hidup sejahtera. Untuk itu, perlu ada komitmen politik yang kuat dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengurangi ketergantungan terhadap industri ekstraktif dan beralih ke ekonomi hijau untuk mengatasi krisis lingkungan dan sosial dari industri pertambangan saat ini,” tutupnya.
Hingga berita ini diterbitkan, kami masih belum mendapatkan tanggapan dari Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terkait persoalan tersebut.
Jakarta –Pasca Harvey Moeis divonis pidana penjara 6,5 tahun dengan putusan yang mengharuskan korporasi mengganti kerusakan lingkungan akibat korupsi timah, muncul intimidasi kepada ahli perkara tersebut.
Dalam putusan Harvey Moeis terungkap adanya kerugian kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun akibat aktivitas PT Timah Tbk dan 5 perusahaan lainnya. Nilai tersebut muncul dari penghitungan kerugian negara disektor lingkungan yang dilakukan oleh ahli bernama Prof. Bambang Hero.
Menjawab soal Bambang Hero dilaporkan oleh Kantor Hukum Andi Kusuma Law Firm yang mengaku sebagai perwakilan elemen masyarakat Bangka Belitung ke Polda Bangka Belitung yang dituduh memberikan keterangan palsu dengan melakukan perhitungan kerugian lingkungan yang tidak sesuai.
Dalam rilies Transparansi internasional Indonesia (TII) menyebutkan bahwa Pelaporan kepada Bambang Hero patut dilihat sebagai upaya judicial harassment atau intimidasi melalui jalur hukum. Serangan dan intimidasi rentan muncul terhadap ahli yang memberikan keterangan untuk mendukung pengungkapan kasus korupsi.
Ironisnya, pelaporan ini bukan merupakan upaya kriminalisasi pertama yang dihadapi Bambang Hero. Pada 2018, Bambang Hero pernah digugat secara perdata bersama dengan Basuki Wasis saat keduanya menjadi ahli dalam perkara korupsi. Mereka digugat oleh terdakwa kasus korupsi pengeluaran izin pertambangan yang dilakukan oleh mantan Gubernur Sultra Nur Alam.
Keterangan ahli yang diberikan dimuka persidangan, sebagaimana dilakukan oleh Bambang Hero, merupakan aktivitas akademik yang dilindungi hukum. Hal yang disampaikan ahli merupakan bagian tak terpisahkan dari kemampuan atau karya akademis, baik berupa penelitian, pengajaran, dan publikasi yang telah dilahirkan sebagai kewajiban yang dipenuhi oleh seorang akademisi. Adapun karya-karya akademis dapat menjadi pertimbangan hakim untuk dihadirkan dalam persidangan, sebelum disumpah.
Lebih lanjut disampaikan bahwa keterangan ahli yang diberikan Bambang Hero dimuka persidangan merupakan hasil pemikiran yang didasarkan metode ilmiah yang telah ia yakini. Dalam proses persidangan, tentunya hakim, pengacara, atau jaksa dalam kasus pidana memiliki hak untuk menguji keahlian saksi ahli.
Para pihak juga dapat menghadirkan ahli lain untuk menyandingkan, menguji argumen lainnya, bilamana dinilai keterangan ahli terkait tidak memuaskan atau dianggap tidak tepat.
Sehingga, bilamana keterangan Bambang Hero dianggap tidak tepat, keliru, atau bahkan mengandung unsur kebohongan, maka forum yang secara hukum disediakan adalah mengundang ahli lain untuk mengujinya dipengadilan untuk kemudian disimpulkan para pihak, termasuk hakim dalam mengambil putusan.
Sebagai aktivitas akademik, yang mana pemikirannya atas dasar metode ilmiah, maka untuk menguji keterangan ahli harus dikembalikan pada komunitas para ahli terkait, baik melalui institusi pendidikan tinggi yang bersangkutan ataupun melalui asosiasi akademik yang memungkinkan mengujinya atas dasar keahlian.
Hal inilah yang disebut ” Mekanisme Menguji dengan Keahlian Terkait, atau Peer Review Mechanism ” dalam menguji nalar atau argumen, metode, maupun hasil dari suatu pemikiran/penelitian akademis. Pihak yang dapat menentukan apakah keterangan ahli tersebut tidak tepat, keliru, berbeda atau bahkan mengandung unsur kebohongan, hanyalah peer review mechanism.
Bahwa Prof. bambang Hero hadir dan memberikan keterangan ahli dalam persidangan merupakan bagian dari kebebasan akademik sekaligus otonomi keilmuan, yang menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi ketiga, yakni Pengabdian Masyarakat.
Sebagaimana Pasal 47 UU Dikti, ayat (1): “ Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
” Sedangkan ayat (2) “ Pengabdian kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat.”
Berdasarkan sejumlah ketentuan diatas, pelaporan kepada Prof. Bambang Hero tidak layak ditindaklanjuti. Karena, kehadirannya serta pemberian keterangan ahli dimuka persidangan merupakan bagian dari Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan yang menjadi amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Secara hukum, apa yang dilakukannya dilindungi dan difasilitasi oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Sehingga, bila pelapor keberatan atas keterangan ahli Prof Bambang Hero, seharusnya keberatan itu diajukan melalui institusi Prof Bambang Hero, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Bukan melalui laporan kepolisian pemidanaan atau langkah hukum lain yang bukan bagian/proses dari menguji pertanggungjawaban akademik seorang akademisi.
Proses hukum yang sedang berlangsung, apalagi menghukum keterangan ahli yang disampaikan akademisi justru merendahkan posisi Universitas untuk ikut andil dalam mengembangkan upaya melindungi ilmu pengetahuan. Universitas itu sendiri, sebagai bastion libertatis, benteng kebebasan !
Oleh karenanya bila kasus yang menimpa Prof Bambang Hero tersebut tetap diproses hukum dan dinyatakan bersalah atas keterangan ahlinya atau hasil risetnya, jelas penggunaan hukum negara terlalu jauh masuk kedalam profesionalitas dan standar etika komunitas akademik. Kasus itu harusnya diselesaikan melalui forum akademik itu sendiri.
Kriminalisasi Bambang Hero = Pelanggaran Perlindungan Pejuang Lingkungan
Pelaporan terhadap Bambang Hero juga patut diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum bagi Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (PermenLHK 10/2024).
Dalam hal ini, akademisi dan atas pendapatnya melakukan penghitungan kerugian kerusakan lingkungan masuk sebagai subjek yang dilindungi aturan tersebut. Pasal 2 peraturan tersebut menyatakan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Dalam aturan lainnya juga dijelaskan bahwa menghitung kerugian kerusakan lingkungan perlu berpedoman pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup (Permen LHK 7/2014).
Merujuk pada Pasal 4, perhitungan kerugian lingkungan hidup dapat dilakukan oleh ahli bidang pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan/atau valuasi ekonomi lingkungan hidup. Aturan tersebut juga memberi pedoman penghitungan kerugian lingkungan dengan membagi kerugian lingkungan dalam kawasan hutan dengan luar kawasan hutan.
Aduan yang disampaikan oleh pihak pelapor kepada kepolisian mengenai Bambang Hero tidak memiliki dasar dalam melakukan penghitungan kerugian negara merupakan kekeliruan.
Penghitungan kerugian tersebut pun sudah diakomodasi oleh pihak BPKP sebagai bagian dari valuasi terhadap kerugian keuangan negara sekitar Rp. 300 triliun. Kami meyakini bahwa proses perhitungan yang dilakukan BPKP telah didasarkan pada prinsip due proportional care, yang mana perhitungan ini kemudian telah diakui oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tipikor yang memeriksa dan mengadili perkara ini.
Selain itu, kejadian yang dialami oleh Bambang Hero merupakan upaya intimidasi kepada pihak yang terlibat dalam upaya melawan pelaku perusak lingkungan. Berdasarkan data ICW dari 2015-2024, terdapat 50 kasus intimidasi terhadap 123 pegiat antikorupsi, 20 kasus diantaranya adalah upaya judicial harassment.
Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia dapat menikmati layanan pemeriksaan kesehatan gratis meskipun bukan peserta BPJS Kesehatan. Menkes menegaskan hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan akses layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Karena pemeriksaan kesehatan gratis ini merupakan program pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia,” ujar Menkes Budi pada pertemuan dengan media nasional di Kantor Kemenkes, Jakarta, rabu (22/1).
Meskipun kepesertaan BPJS Kesehatan tidak diwajibkan untuk memperoleh layanan pemeriksaan kesehatan gratis, pemerintah tetap menganjurkan masyarakat untuk mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Keanggotaan BPJS menjadi penting jika diperlukan tindakan medis lanjutan berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan gratis.
Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas dr. Maria Endang Sumiwi mengatakan BPJS Kesehatan aktif akan memudahkan proses rujukan dan penanganan lebih lanjut jika ditemukan masalah kesehatan.
Program pemeriksaan kesehatan gratis hanya mencakup layanan skrining awal. Namun, jika hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi medis tertentu, misalnya gangguan fungsi ginjal atau penyakit kronis lainnya, pasien mungkin perlu dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Dalam situasi seperti ini, kepesertaan BPJS Kesehatan yang aktif dapat membantu mengurangi beban biaya perawatan.
Untuk membantu masyarakat dalam memeriksa status keanggotaan BPJS Kesehatan, pemerintah telah menyiapkan fitur pengingat melalui aplikasi Satu Sehat Mobile. Pengingat ini akan dikirimkan 30 hari sebelum tanggal ulang tahun pengguna, yang juga merupakan waktu ideal untuk memastikan keaktifan BPJS Kesehatan.
“Jika BPJS Kesehatan belum aktif, masyarakat bisa segera mengaktifkannya. Mengingat proses aktivasi BPJS membutuhkan waktu hingga 14 hari, maka pemberitahuan 30 hari sebelumnya sangat membantu,” lanjutnya.
Pemerintah berharap langkah ini dapat memastikan bahwa masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan lanjutan dapat dilayani tanpa hambatan administratif atau finansial. Pemerintah juga mengimbau masyarakat segera mengunduh aplikasi Satu Sehat Mobile guna memanfaatkan fitur pengingat tersebut.
Selain itu, Menkes Budi menekankan pentingnya sosialisasi agar program ini dapat menjangkau masyarakat lebih luas.
Masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan pemeriksaan kesehatan gratis ini sebagai langkah awal menjaga kesehatan.
Jakarta (24/01/25) – Di tengah masa reses pada (20/1/2025), Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara kilat dan tidak partisipatif, menyelenggarakan rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Dalam rilies nya ICW juga mengungkapkan sejumlah keganjilan, bahwa dalam hitungan jam setelah rapat panitia kerja tertutup untuk menyusun RUU, digelar rapat pleno tertutup untuk memutuskan bahwa RUU Minerba 2025 menjadi inisiatif DPR.
Selain dari proses penyusunannya yang inkonstitusional karena secara terang menabrak judicial order Mahkamah Konstitusi tentang partisipasi bermakna diseluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki dua catatan terhadap sejumlah pasal yang ada dalam draf RUU Minerba yang beredar pada 20 Januari 2025.
1. Kentalnya Nuansa Politik Patronase di Balik Perluasan Subjek Penerima Izin Pertambangan
Melalui Pasal 51 ayat (1), 51A ayat (1), dan 75 ayat (2), subjek penerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diperluas sehingga dapat diberikan kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan dan perguruan tinggi melalui badan usaha yang dimilikinya. RUU ini hendak melegitimasi substansi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 yang sebelumnya memberikan penawaran prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas keagamaan.
ICW menilai, motivasi dibalik rancangan ketentuan di atas kental dengan nuansa politik patronase atau sekadar untuk “bagi-bagi kue” bagi loyalis pemerintah sebagai bentuk balas budi. Sebab, sama sekali tidak ada urgensi untuk memberikan hak mengelola tambang bagi Ormas keagamaan maupun perguruan tinggi yang jelas-jelas tidak memiliki kompetensi maupun pengalaman di sektor pertambangan.
Terlebih, apabila kita membaca bagian penjelasan dari RUU Minerba 2025, hanya disinggung bahwa perlu adanya akselerasi keterlibatan dari dua di antaranya perguruan tinggi dan Ormas Keagamaan dalam upaya meningkatkan nilai tambah.
Tidak sulit untuk membayangkan skenario di atas jika merujuk hasil penelusuran dan catatan kritis ICW terkait upaya revisi UU Minerba pada 2020 lalu yang berhasil mengungkap bahwa sejumlah substansi pasalnya– khususnya terkait jaminan perpanjangan lisensi kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B), hanya menguntungkan segelintir elite-elite kaya di balik sejumlah perusahaan batu bara.
Pola korupsi pembajakan negara dalam bentuk regulatory capture atau state capture semacam ini merupakan hal yang telah lama marak terjadi. Dengan demikian, apabila RUU Minerba baru ini disahkan, hal tersebut hanya akan memperluas aktor pemburu rente dalam sektor ekstraktif.
2. Potensi Besar Korupsi dalam Prioritas Pemberian Izin Tambang
Melalui Pasal 51A, 51B, dan 75, WIUP mineral logam atau batu bara, WIUP mineral mineral logam atau batu bara dalam rangka hilirisasi, dan IUPK diberikan dengan cara prioritas. Dengan kata lain, izin tambang melalui RUU Minerba 2025 dapat diberikan tanpa melalui proses lelang sebagaimana diatur sebelumnya.
Tanpa adanya indikator yang jelas serta terukur dalam penentuan prioritas tersebut, ICW melihat potensi besar terjadinya korupsi. Misalnya, agar dapat diprioritaskan, nantinya akan sangat mungkin badan usaha– baik itu swasta, Ormas keagamaan, maupun perguruan tinggi, yang hendak mendapatkan izin akan berdagang pengaruh atau bahkan memberikan suap pada kepala daerah maupun pihak kementerian yang mengurus perizinan tambang.
Dengan skema lelang seperti sekarang pun, risiko korupsi di sektor pertambangan sudah sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelusuran ICW dari penindakan kasus oleh aparat penegak hukum, sejak 2016–2023 saja, negara sudah merugi sekitar Rp24,8 triliun dari kasus korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam secara umum.
Ketimbang menambah risiko korupsi dengan menghilangkan proses lelang dan memperluas pemberian izin tambang ke perguruan tinggi ataupun Ormas keagamaan, lebih urgen bagi pemerintah untuk mengevaluasi total tata kelola sektor pertambangan, khususnya pada titik-titik rentan saat proses lelang WIUP atau WIUPK.
Berdasarkan dua catatan di atas, ICW mendesak DPR agar menghentikan seluruh proses revisi RUU Minerba 2025 yang disusun secara ugal-ugalan.