Connect with us

Headlines

Toleransi Soal Dana Kampanye, KPU Buka Lebar Pintu Korupsi !

ICW dan Perludem mendesak agar KPU berhenti mengobrak-abrik regulasi pemilu

Published

on

Dok. Ilustrasi Gelap Dana Kampanye

Membumi.com

Jakarta – Pelaporan dana kampanye dalam Pilkada serentak 2024 kemungkinan besar akan dilakukan secara tidak serius dan tidak mengedepankan aspek kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.. Hal ini difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang lagi-lagi mengutak-atik peraturan dana kampanye, membuat gelaran pemilu semakin jauh dari prinsip integritas.

Dalam uji publik dua Peraturan KPU (PKPU) mengenai kampanye dan dana kampanye pada Jumat 2 Juli 2024 lalu, KPU mengumumkan bahwa ketentuan pemberian sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye akan dihapus.

KPU berdalih bahwa ketentuan ini bertentangan dengan UU nomor 6/2020 (UU Pilkada) yang hanya mengatur sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang menerima sumbangan terlarang, bukan terhadap pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye.

Padahal mayoritas anggota KPU hari ini adalah sebelumnya adalah penyelenggara pemilu di daerah yang pernah menyelenggarakan Pilkada yang pada waktu itu memberlakukan sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye. 

Argumentasi tersebut menunjukan bahwa KPU sebagai penyelenggara tidak menganggap pelaporan dana kampanye sebagai hal yang krusial dan bermanfaat bagi pemilih. Laporan dana kampanye baik dalam bentuk Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) LPSDK, dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) sangat penting bagi pemilih untuk memberikan informasi mengenai aktor yang menyumbang, untuk apa sumbangan tersebut digunakan, serta untuk menjaga integritas pemilu.

Sebelumnya, PKPU nomor 5/2017 Pasal 54 secara tegas memberikan sanksi diskualifikasi atau pembatalan sebagai pasangan calon bagi yang tidak menyampaikan LPPDK sampai batas waktu yang sudah ditentukan. Sedangkan, rancangan PKPU dana kampanye terbaru untuk Pilkada Serentak 2024, pada Pasal 65 Ayat (4), hanya memberikan sanksi tidak ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah terpilih sampai pasangan calon menyampaikan LPPDK. 

Pada sisi lain, rancangan PKPU terbaru hanya memberikan sanksi administrasi bagi pasangan calon yang tidak menyampaikan LADK sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam bentuk: peringatan tertulis dan dilarang untuk melakukan kegiatan kampanye (Pasal 65, Ayat (1), (2), dan (3)).

Dalam rancangan PKPU terbaru, KPU memberikan toleransi waktu tujuh hari pasca batas akhir penyampaian LADK dan peringatan tertulis bagi pasangan calon yang belum menyampaikan LADK. Jika setelah diberikan kesempatan selama tujuh hari tidak kunjung menyampaikan LADK maka dikenakan sanksi larangan untuk melakukan kegiatan kampanye.

Sanksi ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip integritas pemilu yakni transparansi dan akuntabilitas karena KPU tetap memberikan toleransi kepada pasangan calon untuk tetap menjadi peserta pemilu. 

Lebih jauh, tersajinya informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang disampaikan dalam laporan dana kampanye oleh pasangan calon, paling tidak dapat memberikan gambaran mengenai asal usul dan peruntukan pendanaan politik dalam pemilihan kepala daerah. Pelaporan dana kampanye ini misalnya, dapat meminimalisir masuknya hasil tindak pidana termasuk korupsi dalam pusaran pendanaan.

Lebih dalam, upaya preventif terhadap konflik kepentingan yang berujung korupsi politik di kemudian hari juga dapat dilakukan dengan mendeteksi sejak awal sumber-sumber utama pendanaan pasangan calon dalam laporan dana kampanye di Pilkada.

Pelaporan dana kampanye menjadi instrumen penting yang keberadaannya tidak dapat dikompromi. Terlebih jika melihat praktik dalam pilkada sebelumnya, pelaporan dana kampanye juga belum berjalan dengan maksimal atau hanya sekedar pemenuhan administrasi semata.

Pemantauan dana kampanye yang dilakukan ICW pada Pilkada 2020 di 30 daerah menunjukan terdapat tiga pasangan calon dengan LADK kosong dan dua pasangan calon yang tidak melampirkan dokumen LADK. Dalam pemantauan LPSDK pun serupa, terdapat lima pasangan calon dengan LPSDK kosong. 

Bukti bahwa pelaporan dana kampanye yang masih sebatas formalitas juga dapat dilihat dari temuan dalam riset KPK terkait pendanaan pilkada tahun 2015. Berdasarkan riset tersebut, diketahui sebanyak 20 persen responden dari 286 pasangan calon yang gagal terpilih mengaku tidak membuat LPPDK. Terdapat juga LPPDK yang diserahkan dan melanggar batas besaran sumbangan. 

Fakta-fakta ini menunjukan bahwa pelaporan dana kampanye dari penyelenggaran pilkada periode-periode sebelumnya tidak mendapat perhatian serius dari para peserta pemilu. Dengan situasi yang demikian, pengawasan dan pemberian sanksi justru harus dipertegas. Sebab, adanya aturan untuk memberikan diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan dana kampanye ternyata belum cukup untuk memaksa terselenggaranya mekanisme pelaporan yang mengedepankan aspek kejujuran. 

Alih-alih menghilangkan sanksi dalam PKPU, pemberian sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK yang justru perlu terus untuk dioptimalkan implementasinya. Terlebih justifikasi bahwa sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK tidak diatur dalam UU Pilkada adalah suatu kesesatan berpikir.

UU Pilkada melalui ketentuan Pasal 187 ayat (7) dan ayat (8) bahkan mengatur penyampaian keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye, serta menerima sumbangan namun tidak melaporkannya, termasuk ke dalam tindakan yang diganjar dengan sanksi pidana.

Artinya  KPU seharusnya mengakomodir semangat yang sama dalam PKPU dana kampanye. Semangat UU Pilkada tersebut dalam konteks kewenangan KPU sesungguhnya justru dapat ditegakkan melalui adanya ketentuan diskualifikasi bagi pasangan calon yang mangkir dari kewajiban tersebut.

Rencana penghapusan ketentuan diskualifikasi ini juga menunjukan bahwa KPU telah mengabaikan kepentingan pemilih untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai dana kampanye dan lebih berpihak pada kepentingan peserta pemilu.

Dalam rancangan PKPU dana kampanye yang baru, bukannya mendapat diskualifikasi, pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK justru tetap bisa terpilih, hanya saja penetapannya akan ditunda hingga yang bersangkutan menyampaikan LPPDK. Ini telah menunjukan adanya toleransi berlebih yang diberikan KPU terhadap pasangan calon yang minim integritas.

Berdasarkan hal di atas, ICW dan Perludem mendesak agar KPU berhenti mengobrak-abrik regulasi pemilu dan mencederai integritas pelaksanaan proses pemilihan. KPU wajib menempatkan kepentingan pemilih dan memastikan prinsip demokrasi dijadikan sebagai landasan utama dalam menyusun peraturan teknis sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pilkada.

Source : Indonesia Corruption Watch (06/08/24)

.

Headlines

Ekspor Pasir Laut Menambah Dosa Ekologis Rezim Jokowi di Penghujung Jabatan

24 aksi protes masyarakat terhadap aktivitas penambangan laut selama 10 tahun terakhir.

Published

on

By

Dok. GI / Koalisi Save Spermonde menggelar aksi dengan membawa Monster Oligarki raksasa ke kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar, Sulawesi Selatan

Membumi.com

Jakarta – Pemerintahan Presiden Joko Widodo resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut seluas-luasnya setelah 20 tahun dilarang, melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 yang diteken Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.

Aturan ini semakin menambah daftar panjang kebijakan pemerintahan Jokowi yang jauh dari semangat pelindungan lingkungan dan lebih mementingkan kepentingan oligarki dan pengusaha.

Greenpeace Indonesia menolak keras keputusan pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut tersebut karena hanya akan merusak ekosistem laut dan pesisir, serta mengancam kehidupan nelayan serta masyarakat pesisir.

“Sejak tahun lalu ketika Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang membolehkan pengisapan pasir laut ataupun sedimennya di luar wilayah pertambangan, sudah banyak kritik yang disampaikan oleh masyarakat, nelayan, akademisi hingga peneliti. “

” Sudah kami prediksi dari awal bahwasanya rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” kata Afdillah.

Baca : Sah! RI Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Aturannya Berlaku Bulan Ini

Keputusan membuka kembali ekspor pasir laut diteken oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) lewat dua peraturan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor; dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. 

Menurut Afdillah, Permendag tersebut memperlihatkan wujud asli Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 (PP 26/2023) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pemerintah mengklaim PP 26/2023 dibuat untuk memulihkan ekosistem laut yang terdampak oleh sedimentasi.

“Dari awal kami sudah curiga bahwasannya peraturan ini adalah upaya tipu-tipu pemerintah untuk menyelubungi upaya mereka mengekspor pasir ke luar negeri,” kata dia.

Penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob. Hal ini terlihat dari kasus penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, lepas pantai Makassar pada 2020, di mana kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands, melakukan pengerukan pasir laut yang merusak wilayah tangkapan nelayan.

Pengerukan pasir laut berisiko merubah struktur dasar laut, yang akan mempengaruhi pola arus laut dan memperbesar gelombang. Selain dampak lingkungan, penambangan pasir laut juga mengancam keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir.

PP 26/2023 berpotensi memicu konflik antara masyarakat terdampak dengan perusahaan tambang, seperti yang terjadi dalam 24 aksi protes masyarakat terhadap aktivitas penambangan laut selama 10 tahun terakhir.

Baca : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

“Penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan,” kata Afdillah.

Afdillah mengkritik PP 26/2023 sebagai bentuk greenwashing atau pembungkusan kebijakan yang merusak dengan label pemulihan lingkungan. Meskipun tujuannya diungkapkan sebagai pemulihan ekosistem laut, nyatanya sebagian besar isi regulasi justru lebih banyak mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir dari pada pemulihan lingkungan.

“Sampai hari ini kita belum melihat bagaimana wujud upaya pemulihan lingkungan yang digadang-gadang sebagai tujuan utama dari peraturan tersebut, justru kita disuguhi oleh aturan-aturan yang malah melancarkan proses usaha ekspor pasirnya, bukan pemulihan lingkungannya,” jelasnya.

Lebih lanjut dalam rilies Greenpeace Indonesia Afdillah menegaskan, bajwa regulasi tersebut bukan solusi bagi pemulihan lingkungan, melainkan langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite dan berisiko memperburuk krisis ekologis serta ketidakadilan sosial. 

Pemerintah harus segera mencabut peraturan ini dan fokus melindungi lautan kita, serta berhenti mengeksploitasi lautan kita secara serampangan seperti yang terjadi selama ini. 

Source : greenpeace indonesia

.

Continue Reading

Figur

Pameran Usai, Pengunjung Kain Nusantara Capai 7.243 Orang

” Menata Warna Nusantara “

Published

on

By

Dok. Ilustrasi / Yoserizal Zein Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau

Membumi.com

Pekanbaru  –  Pameran Kain Nusantara yang dibuka sejak tanggal 28 Agustus lalu cukup menyedot perhatian sejumlah masyarakat yang didominasi oleh warga Kota Pekanbaru. 

Hingga hari ini (15/09) total kunjungan ke lokasi pameran yang bertempat di kompleks Dinas Kebudayaan Provinsi Riau tercatat sebanyak 7.243 orang. Hal ini tidak terlepas dari antusias serta apresiasi masyarakat terhadap wastra maupun kain tradisional yang terus meningkat.

Sebagaimana diungkapkan Kadisbud Riau bahwa untuk mendukung keragaman ekspresi budaya serta mendorong interaksi budaya dalam memperkuat kebudayaan yang inklusif, selalu memerlukan respon yang baik dari berbagai pihak.

“ Pameran Kain Nusantara yang kita bentang bersama 33 Museum se Indonesia adalah bentuk semangat persatuan dan kebersamaan dalam mewujudkan pemajuan kebudayaan nasional,” kata Raja Yoserizal.

Baca : Tampilkan Koleksi Kain Khas dari 32 Museum Seluruh Indonesia, Provinsi Riau Jadi Tuan Rumah Pameran Kain Nusantara 2024

Dipertegas Kadisbud, budaya di setiap daerah adalah bagian dari budaya bangsa yang patut dikembangkan. Karena budaya berkait erat dengan karya yang mengasah kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Begitu pula dalam proses berkarya seseorang akan terhubung dengan keadaan dan hal-hal yang mempengaruhinya. 

“Maka tidak berlebihan dapat kami katakan, Menata Warna Nusantara yang diusung sebagai tema tahun ini adalah upaya untuk pengembangan diri dalam melestarikan dan mencintai budaya bangsa,” lanjut Raja Yoserizal.

Diketahui, pameran ini merupakan program tahunan Museum se Indonesia yang dilaksanakan secara bergilir di tiap-tiap provinsi di seluruh Indonesia. Di tahun ini bersama 33 Museum se Indonesia, Provinsi Riau selaku Tuan Rumah telah memamerkan koleksi warisan kain tradisional yang beragam rupa dengan keasliannya.

Baca : Museum Sang Nila Utama Riau Gelar Pameran 32 Kain Khas Tradisional Nusantara

“Kami berterimakasih kepada seluruh pengunjung dan semua pihak yang telah menyukseskan pameran ini. Hingga hari terakhir (Ahad red) jumlah pengunjung cukup ramai. Kami melihat daftar kunjungan hingga 7.243 orang, itu membuktikan tingginya minat masyarakat khususnya Pelajar terhadap Sejarah, khususnya kain Nusantara dari 33 museum di Indonesia,” kata Raja Yoserizal menutup keterangannya.(rls)

Source : Yoserizal Zein

.

.

Continue Reading

Headlines

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Serukan Naikan Status ke ” Garuda Biru “

Jangan sampai pansel membuat KPK bunuh diri berkali-kali dan justru menghadirkan ‘boneka baru’

Published

on

By

Dok. TI Indonesia

Membumi.com

Jakarta (11/09/24) – Proses seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029 memasuki babak baru. Panitia Seleksi (Pansel) telah mengumumkan 20 nama yang lolos uji kompetensi pada Rabu, 11 September 2024 pukul 14.30 WIB. Nahasnya, dalam mencari manusia ‘setengah dewa’ ini, Pansel masih meloloskan nama-nama yang jelas memiliki rekam jejak buruk dan tidak memiliki prinsip antikorupsi.

Sebut saja, Ibnu Basuki Widodo dari kontingen hakim yang pernah melarang jurnalis untuk meliput kasus megakorupsi E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto; atau Irjen Pol. Sang Made Mahendra Jaya yang merupakan Pj Gubernur Bali diduga kuat memerintahkan pembubaran dan intimidasi terhadap panitia People’s Water Forum tahun 2024 dengan melibatkan ormas.

Kedua sosok itu yang masih diloloskan pansel dalam uji kompetensi ini jelas menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan dan ketidakseriusan untuk memilih figur yang berintegritas dalam proses pemilihan capim-dewas KPK ini.

Sangat terlihat jelas bahwa pansel hanya memilih berdasarkan keterwakilan kontingen (APH, Internal KPK, PNS), dan tidak melihat berdasarkan rekam jejak setiap kandidat sejara objektif. 

Foto : Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi / TI Indonesia

Baca : SP3 kan Surya Darmadi, Dewas KPK Diminta Periksa Semua Pimpinan KPK

Pansel sepatutnya tegas memangkas nama-nama yang sudah jelas memiliki rekam jejak buruk yakni tidak patuh hukum, tidak lapor LHKPN, termasuk kinerja pada jabatan sebelumnya.

Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia menegaskan proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas ini hanyalah bentuk kompromi politik bukan profesionalitas. Jangan sampai pansel membuat KPK bunuh diri berkali-kali dan justru menghadirkan ‘boneka baru’ untuk jadi alat politik rezim ke depan”, pungkasnya.

Hal ini terbukti dari 20 kandidat Capim dan Dewas KPK yang lolos seleksi hanya menunjukkan keterwakilan saja tetapi tidak menyasar pada integritas, kemampuan dan keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi.

Julius Ibrani, Ketua PBHI sekaligus mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, menegaskan bahwa “Kita patut mengapresiasi 0,1% kinerja Pansel yang tidak meloloskan Nurul Ghufron. Tetapi selanjutnya, Pansel seharusnya transparan dalam berbagai hal, dalam segi keterbukaan timeline, dan alasan mengapa meloloskan kandidat dengan rekam jejak bermasalah. Pansel seharusnya berpihak pada kepentingan publik, bukan titipan elit”.

Julius menambahkan di saat yang sama, Pansel jangan justru menjadi komprador para penguasa dan koruptor. “Kedua puluh nama kandidat Capim-Dewas yang diloloskan harus diperiksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ” 

” karena banyak dari pada kandidat yang kenaikan harta kekayaannya tidak wajar. Selain itu, masih ada nama-nama dengan rekam jejak kinerja buruk yang korup, harusnya dicoret sejak awal proses!” tegasnya.

Baca : Capim KPK Diminta Perioritaskan Isu Korupsi Ekologis dan Korporasi

Wanda Hamidah, Pegiat Antikorupsi, menjelaskan bahwa, “Sebetulnya kita semua patah hati karena KPK berusaha dimusnahkan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. “ 

” Presiden terpilih, Prabowo Subianto harus tegas mengembalikan KPK ke jalan yang benar, untuk menunjukan bahwa kepemimpinannya bukan hanya perpanjangan tangan Jokowi. Dan jangan sampai kita dejavu pada pemilihan Capim-Dewas KPK periode lalu yang menghasilkan pemimpin terpilih yang memiliki track record yang buruk”.

Natalia Soebagjo, Pansel Capim Dewas KPK 2015-2019, menegaskan bahwa, “Pengalaman saya waktu menjadi pansel saat itu tentunya tidak bisa jadi patokan pansel sekarang, tapi ada poin yang penting yang harus dinilai pansel, yaitu integritas. Melihat KPK saat ini dimana sudah kehilangan independensinya dan integritasnya, kita harus mengawal 20 nama yang lolos ini sejauh mana individu ini mandiri dalam cara berpikir, bersikap.

Oleh karena itu, Natalia menggarisbawahi harus mengawal terus proses seleksi capim dan dewas KPK ini. Meskipun keberpihakan KPK saat ini tidak terlihat integritasnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

” Kita harus tetap mengawal namun kita juga harus realistis menyadari bahwa siapapun pimpinan KPK nantinya, kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan KPK seperti dahulu, sebelum adanya TWK”.

Baca : Toleransi Soal Dana Kampanye, KPU Buka Lebar Pintu Korupsi !

Sementara Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas, menyebutkan bahwa, “Saya merasa KPK sudah masuk list coret sebagai lembaga yang tidak bisa diharapkan lagi. Karena seluruh rancang bangun pembentukan KPK dirusak oleh Presiden Joko Widodo, tidak hanya dengan UU yang bermasalah tapi juga menempatkan orang-orang yang bermasalah.

Proses seleksi ini tidak akan pernah dianggap layak, yang dikhawatirkan dari 20 nama yang muncul, sama ketika kita dibujuk rayu dengan nama-nama di Dewas KPK yang berintegritas. Tapi nyatanya tetap saja Dewas jadi Dewas yang saat ini tidak bisa kita harapkan. Tidak ada keterbukaan dan pertanggungjawaban ketika memilih figure tertentu”.

Praswad Nugraha yang mewakili Ketua IM57+ menegaskan bahwa “Selalu ada Presiden dibalik setiap proses pemilihan Capim dan Dewas KPK ini, karena Pansel hanya bekerja di ranah teknis saja. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pemilihan calon pemimpin KPK ke depan, hal ini terlihat saat Pansel tidak meloloskan nama-nama yang kita tahu betul bahwa mereka adalah pegiat antikorupsi.”

Oleh karena itu, jika proses seleksi masih hanya menekankan pada keterwakilan semata, Pansel tak kunjung membuka mata dan telinga pada rekam jejak kandidat yang dipilih, sudah dapat dipastikan KPK akan dicengkram oleh orang-orang tamak, culas dan hanya berpihak pada kepentingan elit tanpa niat membenahi masalah di internal KPK dan serius dalam pemberantasan korupsi.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menaikan garuda biru di udara sebagai wujud mengawal proses seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang terancam ditunggangi.

Source : TI Indonesia

.

Continue Reading

Trending