Menyoal Netralitas ASN Ketika KSN Dibubarkan Jelang Pemilu 2024 (I)
Hilangnya KASN akan membuka lahan subur bagi praktik jual-beli jabatan terkait promosi, mutasi, dan demosi jabatan pimpinan tinggi dan/atau ASN di lingkup Pemda sebagai salah satu modus korupsi kepala pada era otda-pasca reformasi.
Jakarta – Dalam rilis yang dikeluarkan Indonesia Coruption Watch (10/10/23) terkait hilangnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam revisi UU ASN merupakan langkah mundur reformasi birokrasi. Tak hanya itu, dibubarkannya KASN juga merupakan bentuk pengabaian terhadap rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang telah diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada September 2023 yang lalu.
Adapun Tim yang dibentuk oleh Kemenko Polhukam tersebut merekomendasikan penguatan peran KASN untuk mengawasi seleksi pejabat publik daerah. Kebijakan baru ini membuat persoalan terkait dengan ASN dan birokrasi makin jauh dari perbaikan.
Persoalan tersebut misalnya terkait fenomena jual beli jabatan hingga netralitas ASN yang rawan dipolitisasi, utamanya menjelang dan dalam perhelatan pemilu. Pembubaran ini menguatkan politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik, persoalan yang mengemuka pada pemilu selama ini.
Hilangnya KASN akan membuka lahan subur bagi praktik jual-beli jabatan terkait promosi, mutasi, dan demosi jabatan pimpinan tinggi dan/atau ASN di lingkup Pemda sebagai salah satu modus korupsi kepala pada era otda-pasca reformasi.
Dalam upaya reformasi birokrasi, KASN mempunyai peran penting dan strategis. Sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik, KASN berperan mengawal netralitas ASN dan berwenang mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi.
KASN selama ini tidak dibekali dengan kewenangan yang mumpuni dalam menjalankan tugas dan fungsinya. KASN sekadar memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Apabila tidak ditindaklanjuti oleh PPK, maka KASN bisa memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan sanksi kepada kepada PPK yang tidak menindaklanjuti Keputusan KASN.
Karena itu, Revisi UU ASN seharusnya memperkuat kewenangan KASN dan sistem pengawasan-pembinaan terhadap kinerja kepala daerah sebagai PPK, bukan menghilangkan KASN.
.
Hilangnya KASN juga menjadi semakin krusial mengingat model birokrasi Indonesia yang menempatkan pejabat politik sebagai atasan birokrasi menjadi faktor pendorong politisasi ASN. Fungsi Pengawasan dan menjaga meritokrasi terlalu besar jika hanya dilekatkan kepada Kemenpan. Self Evaluation tidak memadai, perlu pengawas independen untuk mencegah pemanfaatan ASN bagi kepentingan politik tertentu atau Menjadi mesin politik bagi penguasa.
Seleksi terbuka yang dikawal KASN untuk memberi kesempatan kepada yang berkompeten menempati posisi sesuai bidangnya memperkecil adanya praktek kolusi, kompromi dan nepotisme. Dengan dibubarkannya KASN maka penjamin pelaksanaan sistem merit yang mengedepankan kualifikasi dan kompetensi dalam rekrutmen akan melemah. Kualifikasi dan Kompetensi menjadi kunci dalam pelayanan publik.
Ketika Kepala Daerah terpilih mempunyai kewenangan dan/atau kekuasaan dalam rekrutmen, penugasan, transfer, maupun promosi ASN, akan menempatkan posisi ASN yang tidak secure. Banyak kasus menunjukkan intervensi pada rekrutmen dan penempatan ASN.
Tahun 2022, Laporan KASN menyebut menerima pengaduan 2073 atas netralitas KASN. KASN membantu mengembalikan ratusan ASN ke jabatan semula/setara karena penonjoban yang tidak sesuai peraturan perUU oleh PPK. Gangguan dan intervensi Politik pada ASN akan berpengaruh pada kinerja dalam memberikan pelayanan publik.
Fragmentasi dalam Birokrasi jika terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan politik akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik harus adil dan dapat diakses oleh semua kelompok dan golongan dalam Masyarakat “ Spoil System” menjadikan Pelayanan Publik menjadi mahal dan rawan korupsi.
Bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyayangkan jika pembubaran itu dilakukan menjelang Pemilu 2024. Sebagaimana dikutip dari detik.com Direktur Jenderal Otonomi Daerah ( Otda ) Akmal Malik dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan dan Persiapan Pengawasan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Serta Penetapan Daftar Calon Tetap Dalam Pemilu yang digelar Bawaslu RI di Hotel Aston, Denpasar, Bali, Rabu (27/9/2023).
Dok. Zainul Akmal, Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau
Membumi.com
Pembiaran oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap Intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh petugas PT MEG kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Rempang kembali terjadi Rabu, 18 Desember 2024. Padahal sebulan yang lalu pada bulan September juga terjadi kekerasan. Setelah satu tahun permasalahan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City kembali memanas.
Sebelumnya pada September 2023, aparat gabungan TNI, Kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL-PP) hingga pengamanan BP Batam memaksa masuk ke perkampungan MHA. Tujuan untuk memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Pemasangan patok dilakukan di atas tanah MHA.
Saat itu MHA melakukan penolakan dan terjadilah kekerasan. Gas Air Mata masuk ke Sekolah Dasar, dan para siswa yang masih anak-anak menjadi korban. Disisi lain ada upaya pengosongan Puskesmas dan pembebas tugas tenaga kesehatan di Pulau Rempang. Pemaksaan Relokasi terhadap MHA pada September 2023 telah mengakibatkan luka yang mendalam.
Apakah demi PSN Rempang Eco City, Negara melupakan kewajibannya ?
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) Pasal 28I ayat (4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah”. Tidak terkecuali MHA di Rempang, Pemerintah harus bertanggung jawab. APH yang melakukan kekerasan mental dan fisik terhadap MHA adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Baik kekerasan disengaja atau tidak disengaja oleh APH tetap merupakan pelanggaran HAM.
Disini saya ingatkan bahwa pembiaran terhadap suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh bukan APH juga merupakan pelanggaran HAM oleh APH. Dalam hal ini seharusnya APH berkewajiban melindungi HAM, namun faktanya diam. Oleh sebab itu, tindakan pembiaran ini juga merupakan pelanggaran HAM.
Selain UUD, negara juga sudah membuat pengaturan lebih lanjut terkait HAM. Indonesia sebagai negara hukum demokrasi mustinya sudah memberikan kepastian. Adapun berbagai peraturan perundang-undangan terkait HAM sudah ditetapkan. Seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).
Apakah sama relokasi dengan pelanggaran HAM ?
Selain kategori dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada MHA di Rempang, patut diduga juga terjadi Pelanggaran HAM Berat, yaitu Relokasi adalah pemindahan tempat, Relokasi terhadap MHA di Rempang oleh pemerintah adalah pemidahan tempat tinggal MHA yang semula di Rempang ke tempat lain. Ditambah kebijakan relokasi ini terlihat ugal-ugalan, tanpa ada rasa kemanusian. Pemerintah tidak memiliki kejelasan instrumen hukum dan instrumen faktual terkait relokasi tersebut.
Pada UU Pengadilan HAM mengkategorikan dua bentuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan adalah “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. “
Kondisi MHA di Rempang satu tahun yang lalu (2023), tidak ubahnya diusir atau dipindahkan secara paksa. Oleh sebab itu terjadilah pristiwa September Berdarah. MHA mengalami penyiksaan dan kekerasan baik mental dan fisik. Suasana ketegangan dan mencekam menyelimuti pulau Rempang dan Galang.
Pemerintah dan MHA harus bagaimana ?
Tragedi september di Rempang tidak boleh tenggelam. Pemerintah yang berwenang yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), perlu melakukan penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat di Rempang. Penyelidikan harus dilaksanakan dan Kejaksaan Republik Indonesia harus menindak lanjuti atas nama negara hukum.
Pemerintah baik pusat dan daerah yang berwenang melaksanakan PSN Rempang Eco City harus menghentikan kebijakannya. Selaku negara demokrasi yang berketuhanan, harusnya mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam membentuk dan melaksanakan kebijakan. Rakyat adalah unsur penting negara yang harus dimakmurkan dan disejahterakan. Penyelenggara Negara harus ingat tujuan terbentuknya suatu negara yaitu melindungi rakyatnya.
Dalam kesempatan ini saya menekankan bahwa Masyarakat Hukum Adat harus aktif untuk mendapatkan keadilan. Upaya hukum dan bukan hukum harus dilakukan. Komunikasi dan koordinasi dengan KOMNAS HAM tidak boleh terputus. Selain itu, MHA harus berkoordinasi dengan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah harus betul-betul di awasi, agar tidak terjadi kembali hal-hal yang melanggar hukum di Rempang.
Penulis : Zainul Akmal, Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau.
SS YouTube Biro Setneg / Pabrik Pengolahan Nikel Kab. Konawe
Membumi.com
Transparency International Indonesia (TI Indonesia) pada Senin (26/2) mendiseminasikan kajian kritis terbarunya atas kebijakan hilirisasi pertambangan yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
TI Indonesia mengungkapkan bahwa kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan, khususnya nikel sangat perlu untuk dievaluasi karena terindikasi mengingkari prinsip keadilan sosial-ekologis serta marak dengan praktik korupsi dalam aspek tata kelolanya.
Realita ini bertolak belakang dengan imaji kesejahteraan yang dicita-citakan pemerintah lewat jargon hilirisasi yang terpotret oleh tim peneliti TII ketika melakukan riset lapangan terkait dengan awasan pertambangan nikel di kawasan Halmahera Timur dan dan Halmahera Tengah.
Peneliti TI Indonesia Gita Ayu Atikah mengungkapkan bahwa riset ini merupakan upaya untuk mengkroscek implementasi kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan di tingkat tapak (desa), terutama komoditas nikel yang saat ini menjadi komoditas ekspor utama Indonesia di pasar global.
“ Riset ini ditujukan untuk melihat gap dari implementasi kebijakan hilirisasi di pertambangan nikel, seperti apa realitas yang dihadapi masyarakat lokal yang hidup di kawasan lingkar tambang nikel, baik di Halmahera Timur dan Tengah.
Apakah nilai manfaat dari sumberdaya nikel yang terkandung di tanah leluhurnya dapat mereka nikmati atau justru mereka tersingkirkan akibat praktik-praktik koruptif yang hanya menguntungkan segelintir orang,” papar Gita Ayu dalam diskusi yang berlangsung di bilangan Cikini.
Indonesia dikenal sebagai salah satu kawasan dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Saat ini, tercatat bahwa cadangan nikel yang telah dieksplorasi di Indonesia mencapai 5,2 miliar ton, dengan mayoritas berasal dari wilayah Sulawesi dan Gugus Kepulauan Halmahera.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kebijakan hilirisasi untuk nikel, ekspor nikel Indonesia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 2015 hingga saat ini. Posisi strategis Halmahera dalam rantai pasok industri nikel di Indonesia menjadi titik tolak mengapa riset ini penting.
Tak dapat dipungkiri sektor pertambangan yang bernilai ekonomi tinggi berimplikasi terhadap tingginya praktik korupsi. Keterlibatan aktor di level nasional dan lokal mengindikasikan kuatnya pengaruh kekuasaan dalam terhadap kebijakan pertambangan.
Potensi korupsi di sektor pertambangan ini yang kemudian menjadi concern dalam advokasi TI Indonesia salah satunya melalui riset studi kasus di tingkat tapak (desa). Danang Widoyoko, Sekjen TI Indonesia mengkritisi gagalnya upaya pemerintah mencegah kasus korupsi di sektor pertambangan.
“ Upaya pemerintah dalam mencegah praktik korupsi dalam perizinan di sektor tambang terbukti gagal, yang terjadi justru penyempitan terhadap ruang akuntabilitas dan memperlemah aspek-aspek integritas,” ungkap Danang Widoyoko, Sekjen TI Indonesia dalam pembukaannya.
Kebijakan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah pada kenyataannya memberikan privilege dan “ kenyamanan ” dalam investasi tambang, khususnya nikel. Bahkan untuk memastikan kebijakan tersebut dijalankan, sejumlah pejabat penting di tingkat pusat maupun daerah terlibat aktif dalam menyokong aktivitas bisnis pertambangan nikel.
TI Indonesia mengidentifikasi 5 (lima) lingkar aktor yang saling berkelindan didalam gurita dan relasi kuasa elit politik dan oligarki nikel di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, sebagai berikut; (1) Aktor di Lingkaran Istana; (2) Aktor di level Menteri-Menteri; (3) Aktor Lingkaran Mantan Jendral Hingga Mantan Wakil Presiden; (4) Aktor Lingkaran Konglomerat dan Politisi; dan (5) Aktor Dari Pejabat Daerah.
Pandangan pesimis terhadap implementasi kebijakan hilirisasi pertambangan juga diungkapkan oleh Eko Cahyono, salah satu peneliti yang dikirim oleh TII untuk melihat secara langsung kondisi industri pertambangan nikel di Kawasan Halmahera Timur dan Tengah menyatakan bahwa alih-alih menjadi solusi energi terbarukan, tambang nikel di kawasan tersebut justru merampas ruang hidup komunitas masyarakat lokal dengan modus isu-isu lingkungan dan konservasi (green grabbing).
Selain itu beragam dampak negatif mulai bermunculan semenjak industri tambang nikel berkembang secara masif di kawasan ini, dari mulai krisis sosial-ekologis, konflik agraria, hingga pelanggaran HAM.
“ Masifnya ekspansi pertambangan nikel di Halmahera Timur dan Tengah telah membuka babak baru perubahan kehidupan politik, sosial-budaya dan ekonomi masyarakat di kawasan ini. Perubahan ini telah berdampak pada daur hidup masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, terjadi perubahan cara pikir, cara tindak, dan perilaku politik-ekonomi massal di kawasan terdampak ekspansi Nikel, terlebih di desa-desa lingkar tambang di Halteng dan Haltim,” ungkap Eko Cahyono yang dalam paparannya Senin (26/2).
Desa Sagea di Halmahera Tengah merupakan salah satu desa lingkar tambang nikel yang ditinjau langsung oleh tim peneliti TII. Di desa tersebut terdapat sebuah aliran sungai yang dulunya jernih kini berubah menjadi kecoklatan dan berlumpur.
Hamparan lahan pertanian yang dulunya menjadi sumber pangan masyarakat adat kini gagal panen, tertimbun lumpur luapan banjir dampak dari aktivitas pertambangan nikel.
Masyarakat adat dipaksa menyingkir dari ruang hidupnya seiring dengan ekspansi pertambangan nikel di kawasan ini. Politik energi baru dan terbarukan melalui kebijakan ekspansi pertambangan nikel terpotret nyata menimbulkan kerugian bagi lingkungan hidup dan manusia.
Secara sosial, pencemaran dan kerusakan lingkungan telah menambah beban bagi perempuan di sektor domestik maupun publik. Seorang ibu rumah tangga di Desa Sagea mengatakan, “ Saya melawan, bukan hanya karena sumber air bersih di desa kami yang sangat vital buat masak dan kehidupan harian, kini mulai tercemar. Juga bukan hanya karena Sungai Segea sebagai sumber ikan kami juga tercemar.
Lebih dari itu, ini sikap saya untuk memastikan nasib anak cucu saya kedepan bagaimana ? Maka, saya melawan terus sekuat tenaga, dengan resiko apapun, itu untuk menjaga alam dan isinya bagi masa depan anak cucu kelak. ”
Bagi masyarakat adat, ekspansi pertambangan nikel telah menghancurkan warisan komunitas adat mereka. Mereka kini dikepung oleh puluhan korporasi nikel. Komunitas adat semakin kehilangan ruang hidup yang mereka jaga turun temurun. Kondisi yang hampir sama juga ditemukan oleh tim peneliti TII di Halmahera Timur.
Penyerobotan tanah ulayat melahirkan konflik dengan perusahaan nikel. Pemberian izin kepada perusahaan nikel ditenggarai sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam masyarakat adat, Suku Tobelo Dalam.
Mereka dipaksa menyerahkan tanahnya dengan menggunakan aturan yang hanya menguntungkan korporasi. Ketika masyarakat melawan, berbagai intimidasi dilakukan dengan menggunakan kekuatan apparat yang mengarah pada praktek etnogenosida. Komunitas suku ini pun kini semakin terpinggirkan baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
Narasi ethnografis yang dimunculkan dalam riset ini ditujukan untuk menggambarkan kepada pembaca tentang dampak yang diterima masyarakat lokal di lingkar tambang akibat praktik korupsi dan perampasan ruang hidup atas nama cita-cita semu kebijakan hilirisasi sektor pertambangan di Indonesia.
Selain menganalisa gap implementasi kebijakan hilirisasi pertambangan nikel riset ini juga menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengoreksi paradigma politik kebijakan hilirisasi SDA agar lebih berkeadilan dan berkelanjutan sesuai dengan pinsip – prinsip anti korupsi dan penegakan HAM.
Jakarta (2/2/24) – Dunia internasional memperingati hari lahan basah yang tahun ini temanya adalah Lahan Basah dan Kesejahteraan. Lahan basah memiliki peranan penting sebagai ginjal bumi, yang mampu memurnikan air, melindungi pantai, hingga menyimpan karbon. Nilai jasa lingkungan inilah yang bisa menyejahterakan manusia.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tipe ekosistem lahan basah yang lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah. Dengan kepemilikan luasan sebesar 13,4 juta hektare, Indonesia menjadi pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia.
Namun, saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi.
Sepanjang tahun 2023, BRIN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan The Nature Conservancy melakukan analisis biofisik untuk mendapatkan potensi luas area restorasi gambut di seluruh Indonesia.
“ Hasil kajian kami menunjukkan bahwa kita berpotensi untuk merestorasi 6 juta hektare lahan gambut yang terdegradasi. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk memperkuat regulasi restorasi gambut lebih efektif, ” ujar Nurul Silva Lestari, Peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dikutip untuk peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, Jumat 2 Februari 2024.
Dari hasil kajian diketahui bahwa enam juta lahan ini separuhnya berada di area konsesi perkebunan dan kehutanan.
Adapun prioritas daerah berlahan gambut yang harus segera direstorasi secara berurutan adalah Provinsi Riau (2,4 juta ha), Provinsi Kalimantan Tengah (1 juta ha), dan Provinsi Sumatra Selatan (0,9 juta ha).
Sisanya tersebar mulai dari Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Penelitian bersama itu dimuat dalam Jurnal Restoration Ecology dengan judul “ Opportunities and risk management of peat restoration in Indonesia : Lessons learned from peat restoration actors, ” pada November 2023.
Selama ini kewenangan merestorasi lahan basah ada di tangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Lembaga ini mendapatkan mandat untuk merestorasi lahan gambut seluas 1,2 juta hektare.
Model-model restorasi lahan gambut yang dilakukan di Indonesia antara lain pembasahan ulang (rewetting), penanaman kembali ( revegetasi ), dan revitalisasi penghidupan masyarakat yang mendukung restorasi.
Dari hasil kajian analisis data yang ada, prioritas restorasi adalah lahan bekas terbakar. Restorasi perlu dilakukan untuk mencegah kebakaran berulang dan memperlambat degradasi gambut.
Pada lahan gambut yang rusak dan berada di area konsesi, tentu tidak memungkinkan dilakukan penanaman kembali (revegetasi) lantaran lahannya sudah berubah menjadi perkebunan atau hutan tanaman.
Praktik yang mungkin dilakukan adalah manajemen muka air gambut melalui pembuatan sekat kanal. Proses restorasi juga perlu mempertimbangkan Kesatuan Hidrologis Gambut ( ekosistem gambut yang pada umumnya terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa ).
Pengelolaan lahan dalam satu KHG ini akan saling mempengaruhi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. “ Kami menyediakan pilihan-pilihan area restorasi berdasarkan 3 variabel utama yaitu luas jaringan kanal, area bekas kebakaran, dan lahan yang berstatus kritis,” kata Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim YKAN Nisa Novita yang menjadi bagian dari peneliti restorasi lahan gambut ini.
Isu terbesar yang perlu diperhatikan dalam asesmen risiko dalam restorasi masih menyangkut permasalahan teknis, manajemen dan sosial. Nisa menjelaskan bahwa temuan ini menunjukkan pelaku restorasi gambut perlu serius menyoroti masalah teknis seperti kejadian kebakaran, serta ketinggian muka air pada musim kemarau dan hujan.
Kemudian, ia melanjutkan, pada konteks manajemen, para pelaku restorasi harus berkolaborasi untuk menyelaraskan program mereka yang saling berhubungan serta ketiadaan program restorasi gambut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. “ Supaya sukses, restorasi gambut ini perlu dikerjakan bersama lintas sektor dan lintas wilayah, ” ujar Nisa.
Kesuksesan restorasi gambut, akan mempercepat tercapainya target komitmen iklim Indonesia yang termuat dalam Dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional ( Nationally Determined Contribution-NDC ) khususnya pada sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya.
Berdasarkan penelitan YKAN dan mitra, restorasi gambut berpotensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca hingga 172 juta ton CO2/tahun. Momentum peringatan Hari Lahan Basah sedunia ini kiranya membangkitkan semangat kolaborasi bersama guna menjaga dan mengupayakan restorasi lahan basah termasuk gambut guna kelestarian Indonesia.
Source : Siaran Pers Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)