Connect with us

Headlines

RUU Polri Akan Menambah Daftar Panjang Praktik Legislasi Anti Demokrasi

Koalisi menilai RUU ini jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kepentingan kekuasaan.

Published

on

Dok. Ilustrasi Aparat Kepolisian

Membumi.com

Jakarta – Penerbitan Surpres RUU Polri menunjukkan arogansi Presiden Joko widodo dalam penyusunan regulasi. Lagi-lagi Presiden Jokowi kembali mengabaikan prinsip konstitusi  dan  kedaulatan rakyat dalam penyusunan undang-undang.

Proses perencanaan dan penyusunan RUU Polri oleh DPR yang sembunyi-sembunyi, tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik yang jelas-jelas melanggar aturan main demokrasi dan konstitusi justru disambut mesra oleh Presiden dengan dukungan surat Presiden.

Pada akhirnya, proses pembahasan RUU Polri di DPR hanya akan  mengukuhkan praktik Legislasi Otoriter dan melegitimasi kepentingan politik pemerintahan jokowi untuk memperkuat kekuasaan dan  kendali terhadap ruang publik masyarakat.

Koalisi menilai RUU ini jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kepentingan kekuasaan. RUU ini juga bukan untuk melakukan koreksi terhadap institusi kepolisian yang bermasalah dan gagal dalam mereformasi institusi paska reformasi.

Jika nantinya disahkan hanya akan menjadi legitimasi upaya paksa negara melalui aparat kepolisian kepada rakyat seperti penyadapan,  memata-matai rakyat bahkan kriminalisasi termasuk politisasi dan multifungsi kepolisian.  

Betapa tidak, ditengah brutalitas dan buruknya kinerja kepolisian untuk melindungi rakyat yang nampak dalam berbagai kasus. DPR RI dan Presiden yang akan berakhir masa jabatannya pada Oktober 2024 nanti justru akan memberikan berbagai hadiah kewenangan baru kepada Kepolisian RI, bahkan tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang memadai. Padahal, kewenangan besar tanpa kontrol hanya akan melahirnya korupsi dan kesewenang-wenangan.

Selasa, 8 Juli 2024. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa pihaknya telah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), salah satu di antaranya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). Meski belum menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) beleid, Dasco menyampaikan bahwa proses pembahasan akan segera dilanjutkan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa diterbitkannya Surpres RUU Polri tersebut lagi lagi adalah wujud penelantaran terhadap berbagai kritik publik yang  gencar menyorot proses legislasi yang sembunyi-sembunyi dan bermasalah. Terlebih  substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elit.

Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ini patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi. Langkah Presiden dan DPR RI selain telah mengerdilkan cara-cara demokratis dengan memaksakan terbitnya Surpres dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU Polri ini, juga dipastikan sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik dan tidak memiliki intensi untuk melakukan perbaikan fundamental bagi Polri.

Hal tersebut ditandai dengan proses yang  terburu-buru, di masa lame duck (politikus yang segera berakhir masa jabatan), hal mana RUU ini tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, tidak melalui perencanaan dan penyusunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga pada gilirannya mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).

Sebelum mengirimkan Surpres ke DPR RI, seharusnya Presiden Joko Widodo membuka mata dan telinga terhadap kritik dan penolakan terhadap RUU Polri yang disuarakan berbagai elemen masyarakat sipil. Semestinya, Presiden meninjau kembali rancangan undang-undang usulan DPR yang sarat masalah baik formil maupun substansi dengan mengakomodasi tuntutan publik, bukan justru bersikeras menerbitkan Surpres.

Terlebih lagi RUU Polri ini akan memberi kewenangan yang demikian besar dan luas kepada institusi yang dalam beberapa tahun terakhir justru tengah ramai disorot publik dan sarat dengan masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Sehingga langkah Presiden ini justru hanya kian menunjukan praktik-praktik legislasi otoriter “unjuk kuasa” dengan mengabaikan kritik publik.

Baca : Presiden dan DPR RI Gagal Jalankan Mandat Konvensi Anti Penyiksaan

Merujuk pada berbagai pertimbangan diatas, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian berpandangan sebagai berikut:

Pertama, RUU Polri digarap secara senyap, tidak transparan, terburu-buru, nir-urgensi, tanpa memberi ruang partisipasi yang bermakna bagi publik. Dalam konteks ini, jelas proses pembentukan tersebut telah mengabaikan kaidah konstitusional yang telah digariskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation) dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Bahkan RUU Polri sebelumnya tidak termasuk dalam Prolegnas DPR RI 2020-2024. Ini menunjukkan bahwa RUU Polri merupakan bentuk penyelundupan legislasi.

Apabila nantinya disahkan, RUU Polri hanya akan menambah daftar panjang praktik dan produk legislasi yang antidemokrasi dan anti kepentingan rakyat selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Penyelundupan legislasi ini memiliki daya rusak yang serupa dengan revisi UU KPK yang telah terbukti melemahkan penegakan hukum tindak pidana korupsi, maupun RUU Minerba, revisi UU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang melegitimasi perusakan lingkungan, perampasan lahan, pelemahan perlindungan buruh, marginalisasi masyarakat adat, dan rakyat pada umumnya.

Kedua, substansi dalam RUU Polri yang saat ini beredar, sama sekali tidak menyentuh persoalan fundamental di tubuh Polri. Beleid tersebut bahkan hanya fokus pada pasal-pasal baru yang justru akan memperbesar dan memperluas kewenangan Polri dengan mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap kepolisian (oversight mechanism) yang efektif, serta menegasikan pengarusutamaan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pemolisian.

Apabila nantinya disahkan, substansi yang ada di dalam rancangan tersebut dikhawatirkan hanya akan memperburuk atau kian memperparah kondisi yang telah ada sebelumnya, yakni institusi Polri yang menurut kajian dan catatan berbagai elemen masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara independen (state auxiliary bodies) menempatkannya sebagai aktor dominan pelanggaran HAM, maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga praktik-praktik korupsi.

Ketiga, dikeluarkannya Surpres tentang RUU Polri menunjukkan tidak adanya sensitivitas (insensitivitas) Presiden atas permasalahan-permasalahan kewenangan dan kultur Polri yang mengemukat, terutama yang berlangsung belakangan ini. Sejak RUU Polri ini dibahas pada Mei 2024, sejumlah tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan Polri masih kerap terjadi di masyarakat.

Sedikitnya misal, di Padang, polisi bertanggung jawab atas kematian seorang anak berusia 13 tahun bernama Afif Maulana yang ditengarai menjadi korban penyiksaan termasuk belasan anak-anak lainnya yang telah dipastikan mengalami penyiksaan oleh anggota kepolisian.

Dalam prosesnya pun, polisi cenderung menutup-nutupi kasus tersebut dengan mengaburkan fakta, menyembunyikan rekaman CCTV, dan bahkan memburu orang yang membuat viral kasus ini alih-alih memproses serius kasus penyiksaan tersebut.  

Ketiadaan pengawasan yang komprehensif sehingga menyebabkan rentannya rekayasa kasus juga terlihat di kasus Pegi Setiawan yang dituduh menjadi dalang pembunuhan kasus Vina di Cirebon. Pada hari Senin, 8 Juli, Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan praperadilan dan menyatakan bahwa penangkapan dan penyidikan Pegi Setiawan tidak sah.

Hal ini menunjukkan bahwa, bahkan dalam penyidikan kasus yang sudah berjalan delapan tahun pun, polisi bertindak sembrono sehingga melakukan salah tangkap. Belum termasuk deretan momok dan “riwayat hitam” kepolisian.

Semisal tragedi pembunuhan Brigadir “J” yang kerap dikenal sebagai “Kasus Sambo”, keterlibatan Irjen Teddy dalam perdagangan gelap narkotika, kematian massal ratusan warga di tragedi Kanjuruhan, skandal “konsorsium 303”, brutalitas kepolisian sepanjang aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, tragedi di Rempang Batam, peristiwa di Bangkal Seruyan, dan deretan tragedi kemanusiaan serta praktik-praktik koruptif lainnya yang melibatkan kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, kami mendesak agar Presiden RI dan DPR RI segera menghentikan proses pembentukan RUU Polri dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Presiden RI segera menarik Surpres terkait dengan RUU Polri;

2. Presiden dan DPR RI segera menghentikan pembahasan tentang RUU Polri, khusus rancangan usul inisiatif Badan Legislasi DPR saat ini;

3. Presiden dan DPR RI harus memprioritaskan perbaikan-perbaikan krusial dan fundamental yang selama ini menjadi permasalahan Polri sebagai bagian dari ikhtiar reformasi kepolisian yakni persoalan luasnya kewenangan serta transparansi dan akuntabilitas pengawasan terhadap kewenangan kepolisian;

4. Presiden dan DPR RI memprioritaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara dan/atau ketentuan penegakan hukum, dengan tetap memastikan adanya proses legislasi yang demokratis, transparan dan membuka lebar ruang partisipasi publik yang bermakna.

5. Presiden dan DPR RI  berhenti untuk mempertontonkan praktik otoritarianisme dalam penyusunan legislasi;

.

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK REFORMASI KEPOLISIAN

AJAR (Asia Justice and Rights), AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen), Amnesty Internasional Indonesia , Centra Initiative, ELSAM, HRWG (Human Rights Working Group), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), IJRS (Indonesia Judicial Research Society), IM57+ Institute, Imparsial, KontraS, Kurawal Foundation, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), Lokataru Foundation, PBHI Nasional, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), Themis Indonesia, TII (Transparansi Internasional Indonesia), Yayasan Pikul, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Remotivi, WeSpeakup.org – Jakarta, 9 Juli 2024

.

.

Figur

Pemangku Adat Kuansing Sampaikan Surat Terbuka untuk Prabowo

Limbago Adat Nogori (LAN) Kuansing merupakan wadah para datuk, ninik mamak dan suluh bendang yang berjumlah 1.640 orang.

Published

on

By

Dok. Limbago Adat Nogori (LAN) Kuansing / Dt. Panglimo Dalam Suhardiman Amby

Membumi.com

Taluk Kuantan – Soal kisruh pergantian Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Kuantan Singingi, hari ini (20/11/24) dihalaman komplek Rumah Godang Kenegerian Taluk Kuantan Pemangku adat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau menyampaikan surat terbuka untuk Prabowo Subianto. 

Ada tiga poin yang menjadi penekanan para pemangku adat Kuansing tersebut.

Pertama, mereka mempertanyakan persoalan yang terjadi di Partai Gerindra Kuansing. Sebab, mereka mengaku ikut membesarkan Partai Gerindra di Kuansing.

“Kami merasa ikut membesarkan partai Gerindra, dari empat kursi menjadi sembilan kursi di DPRD Kuansing,” kata Datuk Sirajo yang mewakili Limbago Adat Nogori (LAN) Kuansing.

Baca : Dicopot sebagai Ketua Gerindra Kuansing karena Tidak Patuh? Ini Kata Muhammad Rahul

Kedua, LAN Kuansing mempertanyakan proses pergantian Ketua DPRD Kuansing yang baru seumur jagung.

“Tidak ada angin, tidak ada badai, tiba-tiba Gerindra melakukan pergantian Ketua DPRD,” kata Datuk Sirajo.

Poin ketiga yakni, mempertanyakan penyebab pergantian Ketua DPC Gerindra Kuansing Suhardiman Amby yang merupakan Bupati Kuansing dan juga Ketua Umum LAN Kuansing. 

“Kami mohon perhatian yang sesungguhnya dari Bapak Prabowo Subianto terhadap kondisi Gerindra Kuansing saat ini,” kata datuk Sirajo.

Baca : Suhardiman Amby Ikhlas Dipecat Gerindra, Daripada Berbuat Zalim

Surat terbuka untuk Ketua Gerindra Prabowo Subianto dilakukan para pemangku adat Kuansing yang tergabung dalam LAN. LAN merupakan wadah para datuk, ninik mamak dan suluh bendang yang berjumlah 1.640 orang.

“Mudah-mudahan, Pak Prabowo mendengar dan menjadi perhatian beliau terhadap persoalan Kuansing saat ini,” kata Datuk Sirajo.***

Source : Dt. Wery 

.

.

Continue Reading

Headlines

Pneumonia Ancaman Serius Bagi Anak-anak

Data WHO 2021 menunjukkan pneumonia menyebabkan 740.000 kematian pada anak di bawah usia 5 tahun

Published

on

By

Dok. Kemenkes RI / Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono

Membumi.com

Jakarta (18/11/24) – Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono mengatakan, pneumonia seringkali dicap sebagai pembunuh senyap karena menyerang paru-paru, melelahkan napas, dan bahkan menyebabkan kematian terutama pada anak.

“Pneumonia ini terus menjadi ancaman serius bagi anak-anak di dunia. Kematian akibat pneumonia itu terjadi setiap 43 detik. Ini berarti 700 ribu anak meninggal setiap tahunnya karena pneumonia, sebuah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah,” ucap Prof. Dante pada Puncak Hari Pneumonia Sedunia di Kantor Kemenkes, Jakarta, Senin (18/11).

Pneumonia merupakan peradangan paru-paru akibat infeksi akut pada saluran pernapasan, yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur. Pada balita, gejala yang paling dominan atau sering muncul adalah batuk, kesulitan bernapas, dan tanda pneumonia berat seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernapas.

Penyebab yang paling berpengaruh lainnya adalah paparan asap rokok. Kepada orang tua yang masih merokok di rumahnya, Prof. Dante mengingatkan, rokoknya tidak hanya berbahaya untuk kesehatan diri sendiri, tetapi juga bisa melemahkan kondisi paru-paru anaknya.

“Data statistik menunjukkan anak-anak yang ada di lingkungan orang tuanya perokok lebih gampang terkena pneumonia dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok,” ungkap Prof. Dante.

Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr. Yudhi Pramono, MARS mengatakan pneumonia merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian terbesar pada balita di Indonesia.

Data WHO tahun 2021 menunjukkan pneumonia menyebabkan 740.000 kematian pada anak di bawah usia 5 tahun, atau setara dengan 14% dari total kematian balita di seluruh dunia.

“Ini menunjukkan bahwa pneumonia ancaman nyata bagi kesehatan anak-anak,” tutur dr. Yudhi.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2023, pneumonia menempati peringkat pertama sebagai penyakit dengan biaya pengobatan tertinggi, yaitu Rp 8,7 triliun, diikuti oleh tuberculosis (TB), penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, dan kanker paru.

Pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung tujuan SDGs, yaitu memastikan kehidupan sehat dan kesejahteraan bagi semua usia. Untuk itu, pemerintah menargetkan penurunan angka kematian balita akibat pneumonia serta pengurangan insiden pneumonia pada balita hingga 70% secara nasional.

Prof. Dante menambahkan, Hari Pneumonia Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 12 November, menjadi momentum penting untuk melindungi anak-anak dari pneumonia dan melawan pneumonia pada anak. Sebagai bagian dari transformasi kesehatan, khususnya pada layanan kesehatan primer, pemerintah terus berupaya mencegah terjadinya pneumonia pada anak-anak melalui berbagai langkah.

Hal itu dilakukan dengan upaya pencegahan dengan vaksinasi dan menjaga lingkungan tetap sehat.

“Namun imunisasi hanyalah salah satu bagian kecil dari upaya mengatasi pneumonia. Upaya lainnya adalah memenuhi kualitas gizi pada anak-anak supaya kekebalan tubuhnya meningkat, di antaranya dengan memberikan ASI eksklusif serta penyediaan nutrisi yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak,” ujar Prof. Dante.

Source : pressrelease.id

.

.

Continue Reading

Business

Sebaran Abu Vulkanik Erupsi Gunung Lewotobi Mereda, Layanan Penerbangan Kembali Normal

Evakuasi wisatawan telah berlangsung sejak tanggal 10 hingga 18 November 2024

Published

on

By

Dok. Antara Foto / Aditya PP

Membumi.com

Flores (18/11/24) – Sejumlah bandara dan penerbangan di sekitar wilayah erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah kembali beroperasi normal menyusul berkurangnya penyebaran abu vulkanik.

Hingga Senin (18/11), beberapa bandara yang sebelumnya sempat ditutup telah kembali beroperasi, antara lain Bandara Frans Sales Lega Ruteng dan Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende, Bandar Udara Soa Bajawa, Bandara Komodo Labuan Bajo, Bandara Wunopito Lembata, Bandara Gewayantana Larantuka, Bandara Waingapu, Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima, dan Bandar Udara Lede Kalumbang Tambolaka. Sedangkan bandara yang masih belum beroperasi yakni Bandara Fransiskus Xaverius Seda, Maumere.

“Aktivitas sejumlah penerbangan di bandara yang telah dibuka juga sudah kembali normal. Di Bandara Komodo Labuan Bajo, misalnya, maskapai penerbangan melayani penumpang dengan normal,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Budi Rahardjo, di Jakarta, Senin (18/11).

Di samping itu, kondisi pelayaran di sekitar wilayah erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki juga terpantau aman. Hal ini terlihat dari kondisi gelombang, angin dan arus serta jarak pandang yang aman untuk pelayaran.

Terkait dampak erupsi gunung Lewotobi Laki-laki, evakuasi wisatawan telah berlangsung sejak tanggal 10 hingga 18 November 2024, dengan jumlah penumpang 5.282 orang dan dilayani 132 kapal. “Saat ini KNP. Chundamani sandar Labuan Bajo untuk standby keadaan kedaruratan,” imbuh Budi.

Adapun untuk angkutan penyeberangan rute Larantuka – Kupang pada kurun 1 – 11 November 2024 telah memberangkatkan 1.538 orang, 74 unit kendaraan roda dua, 21 unit kendaraan roda empat dan 33 unit kendaraan roda enam yang dilayani 5 kapal. Lalu rute Kupang-Larantuka pada periode 3-14 November 2024 memberangkatkan 1.798 orang, 96 unit kendaraan roda dua, 30 unit kendaraan roda empat dan 54 unit kendaraan roda enam, yang dilayani oleh 5 kapal.

Source : pressrelease.id

.

.

Continue Reading

Trending