Connect with us

Hukum dan Keadilan

Kasi Intel Bantah Tudingan kegiatan Sosper DPRD Pekanbaru Fiktif

Published

on

Membumi.com

Pekanbaru –

Senin (14/2/2022), sejumlah Mahasiswa atas nama Pemerhati Hukum Riau (FMPH-R) mendatangi Gedung Kejari Pekanbaru dengan maksud mempertanyakan kejelasan soal dugaan kasus Sosialisasi Peraturan Daerah ( Sosper ) dan Reses yang diduga melibatkan 45 anggota DPRD Pekanbaru tahun 2021 yang lalu.

Tak biasanya, aksi ini langsung disambut oleh Kasi intel Lasargi Marel yang justru malah membantah, bahwa kegiatan tersebut diduga fiktif sebagaimana selama ini sering beritakan, ” Gak ada fiktif, kegiatannya berjalan. Hanya saja, ada sejumlah kesalahan administrasi berupa kwitansi dan kelebihan bayar, ” bantah Marel.

Baca : FMPH-R Turun Ke Jalan, Desak Kejari Usut Dugaan Reses Dan Sosper Fiktif DPRD Pekanbaru

Sebagaimana persoalan ini juga menjadi perhatian dari sejumlah pihak, maka kamipun mencoba menelusuri kebenaran soal tudingan tersebut. Sejumlah anggota dewan yang juga kami hubungi juga mengatakan bahwa hal tersebut sudah diaudit oleh BPK dan hal tersebut bukanlah fiktif, dan kami juga hanya menjalankan apa yang sudah disiapkan.

Lebih lanjut ketua LP KPK Riau yang juga kami mintai tanggapannya mengatakan, ” bahwa dugaan Skandal Tindak Pidana Korupsi puluhan Milyar dimasa Plt Sekwan BR tahun 2020 yang kini sedang bergulir di Kejari Pekanbaru mustinya juga mendapat atensi oleh segenap element mahasiswa, ” ungkapnya. Nah (*thd)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Headlines

Mahkamah Internasional : Pendudukan Israel Melanggar Hukum Internasional (II)

Kehadiran Israel secara terus-menerus di wilayah Palestina adalah ilegal !

Published

on

By

Dok. Istana Perdamaian / Mahkamah Internasional Den Haag

Membumi.com

Istana Perdamaian (19/7/24) – Selanjutnya dinyatakan bahwa sehubungan dengan pendudukan berkepanjangan di wilayah Palestina yang telah berlangsung selama lebih dari 57 tahun, dan pengambilalihan kekuasaan, dan wewenang yang dikuasai secara efektif merupakan situasi sementara, dan pendudukan tidak dapat mengalihkan hak kedaulatan.

Oleh karena itu dalam pandangan Mahkamah Internasional, fakta bahwa suatu pendudukan berkepanjangan tidak dengan sendirinya mengubah status hukumnya berdasarkan hukum humaniter internasional. 

Pendudukan terdiri dari pelaksanaan kendali efektif oleh suatu Negara di wilayah asing. Oleh karena itu, agar dapat diperbolehkan, pelaksanaan pengendalian yang efektif harus selalu konsisten dengan peraturan mengenai pelarangan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap penguasaan wilayah.

Mengenai kebijakan pemukiman Israel Mahkamah Internasional menegaskan kembali mengenai Konsekuensi Hukum Pembangunan Tembok di wilayah Palestina tanggal 9 Juli 2004 bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta rezim yang terkait dengannya, telah didirikan dan dipertahankan dengan melanggar hukum internasional. 

Mahkamah Internasional dengan penuh keprihatinan mencatat laporan bahwa kebijakan pemukiman Israel telah berkembang sejak Pendapat Penasihat Pengadilan tahun 2004.

Sehubungan dengan aneksasi wilayah Palestina, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa upaya untuk memperoleh kedaulatan atas wilayah Palestina, seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan dan praktik yang diadopsi oleh Israel di Timur Yerusalem dan Tepi Barat, bertentangan dengan larangan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional dan prinsip wajarnya yaitu tidak mengakuisisi wilayah dengan kekerasan.

Mahkamah Internasional kemudian memeriksa tentang konsekuensi hukum yang timbul dari penerapan undang-undang dan tindakan diskriminatif yang dilakukan Israel, dan menyimpulkan bahwa beragam undang-undang yang diadopsi dan tindakan yang diambil oleh Israel dalam kapasitasnya sebagai Kekuatan pendudukan memperlakukan warga Palestina secara berbeda berdasarkan dasar yang ditentukan oleh hukum internasional. 

Mahkamah Internasional juga mencatat bahwa pembedaan perlakuan ini tidak dapat dibenarkan dengan mengacu pada kriteria yang masuk akal dan obyektif maupun pada tujuan publik yang sah.

Oleh karena itu, Mahkamah Internasional berpandangan bahwa rezim pembatasan komprehensif yang diberlakukan oleh Israel terhadap warga Palestina di wilayah Palestina merupakan diskriminasi sistemik berdasarkan, antara lain, ras, agama atau asal usul etnis, yang melanggar Pasal 2, ayat 1, dan 26 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 2 ayat 2 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Pasal 2 Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Dalam hal kebijakan dan praktik Israel terhadap pelaksanaan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, Mahkamah Internasional berpandangan bahwa konsekuensi yang berlangsung selama beberapa dekade tersebut telah melanggar hukum karena merampas hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Terkait status hukum legalitas praktik dan kebijakan Israel sebagai negara, kekuasaan pendudukan Mahkamah Internasional berpandangan bahwa penegasan kedaulatan Israel dan pencaplokannya atas bagian-bagian tertentu wilayah tersebut merupakan pelanggaran terhadap larangan pengambilalihan wilayah secara paksa. 

Pelanggaran tersebut mempunyai dampak langsung terhadap legalitas kelanjutan kehadiran Israel, sebagai Kekuatan pendudukan, di wilayah Palestina, dan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Israel tidak berhak atas kedaulatan atau menjalankan kekuasaan kedaulatan di bagian mana pun di Wilayah Palestina.

Mahkamah lebih lanjut mengamati bahwa dampak dari kebijakan dan praktik Israel, serta penerapan kedaulatannya atas bagian-bagian tertentu wilayah Palestina merupakan penghalang bagi rakyat Palestina untuk melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Dampak dari praktik kebijakan Israel, termasuk pencaplokan wilayah Palestina, merupakan perampasan hak rakyat Palestina untuk menikmati sumber daya alam di wilayah tersebut, dan yang merugikan Palestina dalam haknya untuk mencapai pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.

Mahkamah Internasional berpendapat bahwa pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap larangan perolehan wilayah dengan kekerasan dan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri mempunyai dampak langsung terhadap legalitas kelanjutan kehadiran Israel sebagai Kekuatan pendudukan.

Mahkamah Internasional menyatakan bahwa praktik dan kebijakan Israel terhadap wilayah dan hak rakyat Palestina adalah melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan menjadikan Israel sebagai negara yang tidak bertanggung jawab, dan kehadirannya di wilayah Palestina adalah melanggar hukum.

Pengadilan menyimpulkan bahwa kebijakan dan praktik Israel yang dimaksud telah melanggar hukum internasional. Adapun mempertahankan kebijakan dan praktik ini merupakan tindakan melanggar hukum yang bersifat berkelanjutan dan memerlukan tanggung jawab internasional Israel.

Pengadilan juga menyatakan bahwa kehadiran Israel secara terus-menerus di wilayah Palestina adalah ilegal. Oleh karena itu, Pengadilan membahas konsekuensi hukum yang timbul dari kebijakan dan praktik Israel, termasuk Amerika Serikat.

Tentang Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional (ICJ) adalah badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengadilan ini didirikan berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Juni 1945 dan memulai kegiatannya pada bulan April 1946. Pengadilan ini terdiri dari 15 hakim yang dipilih untuk masa jabatan sembilan tahun oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Mahkamah ini berkedudukan di Istana Perdamaian di Den Haag (Belanda). Mahkamah mempunyai peran ganda: pertama, menyelesaikan, sesuai dengan hukum internasional, sengketa hukum yang diajukan oleh Negara; dan, kedua, untuk memberikan pendapat penasehat mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum yang dirujuk oleh organ-organ dan lembaga-lembaga PBB yang berwenang dalam sistem tersebut.

Source : Siaran Pers Mahkamah Internasional (19/7/24)

.

.

Continue Reading

Headlines

Mahkamah Internasional : Pendudukan Israel Melanggar Hukum Internasional (I)

Israel juga berkewajiban melakukan perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan

Published

on

By

The Hague, International Court Of Justice (ICJ) / WAFA Images

Membumi.com

Den Haag (19/7/24) – Mahkamah Internasional akhirnya memberikan pendapatnya sehubungan dengan konsekuensi hukum yang timbul dari praktik pendudukan Israel di wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Umum PBB, Mahkamah Internasional dalam siaran persnya menyimpulkan bahwa, kehadiran berkelanjutan Israel di wilayah Palestina adalah melanggar hukum dan Israel mempunyai kewajiban untuk mengakhiri kehadiran melanggar hukumnya di wilayah Palestina secepat mungkin.

Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Israel berkewajiban untuk segera menghentikan semua aktivitas pemukiman baru, dan mengevakuasi semua pemukim dari wilayah Palestina. Israel juga mempunyai kewajiban untuk melakukan perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan pada semua orang atau badan hukum yang bersangkutan di wilayah Palestina.

Lebih lanjut juga dinyatakan bahwa semua Negara mempunyai kewajiban untuk tidak mengakui situasi yang timbul akibat kehadiran Israel yang melanggar hukum di wilayah Palestina, termasuk tidak memberikan bantuan dalam menjaga situasi yang diciptakan terus-menerus atas kehadiran Israel di wilayah Palestina.

Mahkamah Internasional juga meminta agar organisasi-organisasi internasional berkewajiban untuk tidak mengakui situasi yang timbul dari kehadiran Israel yang melanggar hukum diwilayah Palestina sebagai hal yang sah, dan meminta PBB termasuk Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan modalitas yang tepat serta tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk mengakhiri secepat mungkin kehadiran Israel yang melanggar hukum di wilayah Palestina.

Terkait pertanyaan yang diajukan Majelis Umum PBB mengenai kapasitas Mahkamah Internasional dalam memberikan pendapat atau tidak dalam kasus tersebut, ICJ menyimpulkan bahwa pihaknya mempunyai Yurisdiksi dalam membahas dan memberikan pendapat dalam kasus tersebut.

Secara khusus, Mahkamah Internasional juga telah mengkaji mengenai pendudukan yang berkepanjangan, kebijakan pemukiman Israel diwilayah Palestina sejak tahun 1967, dan penerapan legislasi serta kebijakan dan tindakan yang dilakukan Israel serta kewajibannya berdasarkan hukum humaniter Internasional.

Hingga berita ini diterbitkan, dukungan dari sejumlah negara kepada Mahkamah Internasional mulai mengalir 

Bersambung…

Source : Siaran Pers Mahkamah Internasional (19/7/24)

.

.

Continue Reading

Headlines

Penghapusan Pasal Larangan TNI Berbisnis, Menghapus Profesionalisme TNI

Pengalaman historis Orde Baru : tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengacaukan profesionalisme militer sendiri

Published

on

By

Dok. FB TNI AD

Membumi.com

Jakarta (11/7/24) – Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro dalam keterangannya di forum “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” yang diselenggarakan Kemenko Polhukam di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, mengusulkan untuk menghapus larangan prajurit TNI terlibat dalam bisnis sebagaimana diatur dalam Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”). 

Kami memandang usulan Kababinkum TNI tersebut merupakan pandangan keliru  serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun.

Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis. 

Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer tetapi juga akan berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan.

Militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukkan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang bukan kemudian untuk berbisnis dan berpolitik.

Sekian banyak anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat digunakan untuk belanja Alutsista sepenuhnya ditujukan agar tentara profesional dalam bidangnya menjaga pertahanan negara bukan untuk berbisnis dan berpolitik. Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI  adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri.

Selain itu, politik hukum dimasukkannya Pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh  UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru, dimana tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu–bahkan mengacaukan– profesionalisme militer sendiri masa itu.

Dampak lainnya, bahkan hingga mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. Karena itu ketika reformasi 1998 bergulir, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara. Oleh karena itu DPR  dan Pemerintah harus segera menghentikan pembahasan  revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya  akan memundurkan jalanya reformasi tubuh TNI.

Salah satu permasalahan profesionalisme TNI adalah mengenai bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara serta pengamanan proyek-proyek pemerintah. Penghapusan Pasal tersebut dapat melegalkan dugaan Praktik Bisnis Keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam. Sebut saja pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, Pengamanan PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, Pengamanan PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), Pengamanan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024).

Termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumatera Utara (2020), Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City, Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme, Sumatera Utara (2024).

Contoh lainya adalah dalam temuan Penelitian Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya (2021)” ditemukan adanya hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai penambahan prajurit TNI di Intan Jaya dengan pengamanan perusahan-perusahaan di sana. 

Praktik pengamanan ini menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil akan meletakan Prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan, tidak jarangan praktik pengamanan menimbulkan kekerasan. 

Sudah sepatutnya, yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis bagi prajurit TNI, tetapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara bukan dengan memberikan ruang Prajurit TNI untuk berbisnis.

Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan 

(Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP)

Source : YLBHI

.

Continue Reading

Trending